BAGIAN 1

484 18 3
                                    

Pagi hening dan berkabut saat ini menyelimuti Desa Karang Asem. Orang-orang sepertinya enggan keluar rumah. Jalanan terlihat lengang sepi. Sesekali terdengar lenguh pendek seekor sapi. Udara dingin yang menerpa begitu menggigit tulang sum-sum. Sehingga hewan ternak itu beberapa kali berputar-putaran di dalam kandangnya, kemudian merungkut di tumpukan jerami yang paling tebal.
Seorang laki-laki setengah baya bertubuh kurus tampak keluar dari pintu belakang rumah biliknya sambil membawa obor pendek di tangan. Diperhatikannya keadaan disekitar kandang. Diperiksanya tiga ekor sapinya, berikut beberapa ekor kambing, dan belasan ekor ayam. Kepalanya menggeleng lemah. Disertai dengusan kesal, dia kembali masuk ke dalam, lewat pintu dapur.
"Kasihan, mereka kedinginan," gumam laki-laki setengah baya itu pelan, begitu berada di dapur.
"Kenapa tidak dibuat perapian di sekitarnya...?" kata istrinya yang sedang merebus air di dapur.
"Oaaah...!" Orang tua berjenggot putih dan pendek ini menguap panjang seraya menggeliatkan tubuhnya. "Aku masih ngantuk..."
"Dasar pemalas!" gerutu istrinya.
Orang tua itu tidak peduli. Dia segera mendekati ranjang dan berbaring disitu. Diselimuti tubuhnya dengan sarung.
"Lasmi...!" teriak wanita itu.
Dari kamar depan, seorang gadis belia berkulit sawo matang buru-buru menghampiri.
"Ada apa, Bu!" sahut gadis berparas cantik itu seraya menggelung rambutnya yang panjang terburai.
"Coba bakar sampah di dekat kandang kambing dan kerbau itu."
"Bikin kopi Ayah dulu!" potong laki-laki setengah baya itu.
Gadis belia berwajah manis itu terdiam sesaat dengan wajah bingung.
"Sudah! Bakar sampah sana. Biar kopi ayahmu Ibu yang buatkan," kata ibunya menengahi.
Gadis itu mengangguk. Kemudian dia berlalu lewat pintu belakang setelah menyambar lampu dinding.
"Apa-apa harus si Lasmi yang mengerjakan. Lalu apa yang bisa kau kerjakan, Kang?" gerutu wanita itu sambil mengomel dan menuangkan air panas ke dalam cangkir berisi kopi.
Sementara itu, sang Suami duduk di tepi ranjang sambil membetulkan letak sarungnya. Tubuhnya menggeliat sebentar, kemudian tersenyum kecut.
"Badanku pegal-pegal sehabis menggarap ladang kemarin siang..."
"Baru kerja begitu Kakang sudah mengeluh...."
Laki-laki setengah baya itu tersenyum kecil, kemudian beranjak meraih kopinya. "Singkongnya belum direbus?" tanya sang Suami.
"Sebentar lagi matang...."
Laki-laki itu menyeruput kopinya, kemudian bangkit berdiri. Segera dia beranjak ke belakang. "Biar aku membantu si Lasmi...," kata laki-laki setengah baya itu seperti pada diri sendiri.
Istrinya menoleh sekilas, kemudian beranjak ke kamarnya. Laki-laki setengah baya yang dikenal dengan nama Kusno ini baru saja berada di ambang pintu ketika serangkum angin dingin menerpa. Subuh terasa masih gelap dengan kabut semakin tebal. Pada jarak lima langkah, yang terlihat hanya lampu yang dibawa Lasmi. Tapi tampak bergoyang-goyang!
"Ayaaah...!" mendadak Lasmi menjerit tertahan.
Ki Kusno terkesiap. Seketika dia melompat seraya menyambar cangkul yang berada di dekatnya.
"Ayaaah...!" Sekali lagi gadis belia itu menjerit. Lalu terlihat lampu di tangannya terlempar.
"Kurang ajar! Siapa kau?! He, tunggu...! Tunggu! Apa yang kau lakukan pada anakku?!" teriak Ki Kusno kalap ketika melihat sekelebat bayangan yang membuat tubuh anaknya seperti melayang tertiup angin.
"Lasmi! Lasmiii...!" Ki Kusno berteriak, langsung berlari kesana kemari mencari anaknya yang telah lenyap entah kemana.
Angin dingin berhembus menimbulkan bunyi desau menyayat. Kini Ki Kusno hanya tertunduk lesu sambil melangkah pelan. Dipungutnya lampu yang tergeletak ditanah. Nyala apinya mulai mengecil, lalu padam. Langkah laki-laki setengah baya itu gontai menuju pintu belakang.
"Kang, ada apa? Apa yang telah terjadi?! Mana Lasmi? Mana anak kita...?!" teriak Nyi Kusno sambil berlari tergopoh-gopoh menghampiri.
Ki Kusno hanya diam membisu. Sedikit pun tak ada suaranya. Tubuhnya berguncang ketika istrinya mulai kalap dengan mencengkeram bajunya.
"Mana Lasmi?! Mana dia...?! Lasmi! Lasmi...!"
Wanita setengah baya itu berteriak nyaring. Dia langsung berlarian ke sekitar halaman belakang rumahnya. Sementara, Ki Kusno masih diam mematung tanpa tahu apa yang harus dikerjakan. Istrinya tampak menghampiri dengan wajah pucat dan bibir bergetar. Sepasang matanya telah dibasahi air mata yang menetes jatuh membasahi pipinya yang mulai terlihat keriput.
"Anak kita, Kang...! Anak kita...," kata Nyi Kusno, lirih seraya mendekap wajahnya. Lalu dia duduk bersimpuh menumpahkan kesedihan.
Laki-laki setengah baya itu tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Dia juga tidak tahu apa yang harus dikatakannya untuk menghibur hati istrinya. Hatinya bagai hancur berkeping-keping atas kejadian yang menimpa dirinya. Anaknya telah hilang dicuri orang!

135. Pendekar Rajawali Sakti : Peri Peminum DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang