BAGIAN 2

268 16 0
                                    

Sebenarnya, Ki Ageng Sela bukanlah tokoh silat papan atas. Namun demikian kepandaiannya cukup tinggi sehingga dia juga cukup disegani. Hanya saja dia lebih suka hidup menyendiri, menjauhi urusan dunia luar. Dan belakangan ini, Ki Ageng Sela malah lebih suka mengurus padepokannya. Dan karena Ki Bagong Udeg yang kini menjadi Ketua Padepokan Merak Emas adalah sahabatnya, maka undangan itu tidak kuasa ditolaknya. Meski mengetahui apa maksudnya, namun sudah bisa diduga kalau urusan tidak jauh dari persoalan rimba persilatan.
Kini Ki Ageng Sela telah berada di dalam kereta yang ditarik seorang kusir bersama Nila Dewi. Di kiri dan kanan kereta, tampak dua orang ikut mengiringi dengan kuda yang selama ini sudah dianggap sebagai anak sendiri. Mereka adalah Sumaji dan Birowo yang usianya tidak terpaut jauh. Sejak kecil, mereka memang telah ikut bersama orang tua itu.
"Kalau Eyang kurang berkenan mencampuri urusan rimba persilatan, kenapa harus memenuhi undangannya...?" tanya Nila Dewi, memecah keheningan.
"Seorang sahabat tetaplah sahabat. Bahkan bisa menjadi seperti saudara. Kesulitannya adalah kesulitanku juga, Nila," sahut Ki Ageng Sela dengan suara pelan.
"Apakah menurut Eyang, Ki Bagong Udeg mengalami kesulitan?"
"Entahlah. Mungkin dia sekadar ingin mencari jalan keluar yang terbaik. Atau juga, sekadar ingin beramah-tamah karena kami sudah lama tidak bertemu," kilah Ki Ageng Sela.
"Tapi kalau beliau ingin beramah-tamah, tidak semestinya mengundang Eyang. Beliau tentu bisa datang sendiri. Kecuali kalau memang ada acara besar atau istimewa yang sedang dilakukannya," pancing gadis itu.
"Kau benar. Mungkin juga ada sesuatu yang lebih dari sekadar istimewa, sehingga beliau tidak datang sendiri... "
"Maksud, Eyang?"
"Mungkin ada keadaan genting yang dialami...," sahut Ki Ageng Sela menduga.
"Keadaan genting bagaimana, Eyang?" tanya Nila Dewi ingin tahu.
"Yang pasti, menyangkut urusan dunia persilatan."
"Apa tidak merisaukan Eyang? Karena yang kutahu, Eyang telah lama tidak ikut campur dalam rimba persilatan," tanya Nila Dewi khawatir.
Ki Ageng Sela tersenyum seraya memeluk cucunya. "Yang kukhawatirkan di dunia ini adalah kehilanganmu. Jika kau sedih, maka akan sedih pula hatiku. Jika pergi atau menghilang, maka itu bagai kematian bagiku..."
"Eyang...." Nila Dewi tersenyum seraya menyandarkan kepala di pundak orang tua itu.
Dan baru saja Nila Dewi melepaskan rasa kasihnya pada Ki Ageng Sela, mendadak kusir kereta menghentikan laju kudanya. Cepat Ki Ageng Sela membuka tirai jendela kereta. Sementara Sumaji pun mendekah jendela kereta.
"Ada apa?" tanya orang tua itu.
"Seseorang menghadang perjalanan kita, Guru," sahut Sumaji.
"Siapa?"
"Entahlah. Kami tidak tahu, Guru. Tampaknya orang bertopeng hitam itu bermaksud tidak baik terhadap kita," duga Sumaji sambil melayangkan matanya ke arah depan.
"Hm, biar kulihat...," kata orang tua itu seraya membuka pintu kereta.
"Guru, biar kami selesaikan. Guru dan Adik Nila Dewi diam saja di dalam kereta," ujar Sumaji langsung menggebah kudanya ke depan.
Sementara di depan pada jarak lima belas langkah, berdiri tegak seseorang bertubuh tegap terselimut kain hitam sampai ke kepalanya. Yang terlihat hanya sepasang mata yang menyorot tajam dari dua buah lubang pada bagian wajah. Dari caranya berdiri di tengah jalan sudah pasti kalau orang bertopeng itu memang sengaja mencegat.
"Kisanak, menepilah! Kami sedang terburu-buru...!" ujar Sumaji lantang.
"Hm..." Orang bertopeng itu hanya mendengus sinis, dengan mata tetap menatap tajam pada Sumaji.
"Kisanak! Apa yang kau inginkan, sehingga mencegat perjalanan kami?"
"Berikan gadis yang dalam kereta itu padaku!" sahut orang bertopeng itu dingin.
"Apa?!" tanya Sumaji dengan wajah berang.
"Berikan orang itu!" ujar orang bertopeng itu, kini suaranya terdengar lantang.
"Kurang ajar! Agaknya kau sejenis hidung belang yang tidak tahu diri. Enyahlah! Dan jangan sampai kami bertindak keras kepadamu!" gertak Sumaji, mulai kesal.
"Hi hi hi..! Keledai dungu! Kau kira bisa berbuat apa padaku? Berikan apa yang kumau kalau kalian tidak ingin celaka!" sahut si Orang Bertopeng seraya tertawa nyaring.
"Setaaan! Kau kira bisa berbuat seenaknya, heh?! Rupanya orang sepertimu memang perlu dihajar!" Sumaji agaknya tidak bisa menahan diri. Dan dia sudah langsung melompat menyerang orang bertopeng hitam itu.
"Huh, cari penyakit!" Begitu serangan mendekat. Orang bertopeng itu hanya mengibaskan tangan kirinya, menangkis kepalan Sumaji.
Plak!
Bahkan dengan gerakan tak terdengar, kepalan tangan kanan orang itu cepat bagai kilat menyodok ke arah dada Sumaji.
Duk! Krak!
"Aaakh...!"
Terdengar suara berderak dari tulang dada Sumaji yang patah. Pemuda itu sendiri kontan memekik setinggi langit. Tubuhnya terjungkal ke tanah persis di depan kereta kuda, dan tewas beberapa saat setelah meregang nyawa. Tulang dadanya remuk, melesak ke dalam sehingga jantungnya pecah. Tampak darah meleleh dari mulutnya.
"Sumaji...?!" seru Birowo kaget. Demikian juga kusir kereta itu.
Sementara Ki Ageng Sela dan Nila Dewi buru-buru keluar begitu mendengar suara ribut-ribut. Ki Ageng Sela dan Nila Dewi berseru kaget, ketika melihat mayat Sumaji tergeletak dengan keadaan menyedihkan. Mereka segera menghampiri dan memeriksa tubuh kaku yang tidak berdaya itu. Kemudian dengan wajah berang orang tua itu memandang ke arah orang bertopeng yang berdiri angkuh delapan tombak di depannya.
"Kisanak! Kau telah bertindak kejam pada orangku. Apa sebenarnya yang kau inginkan?"
Orang bertopeng itu tidak langsung menjawab, pandangannya yang tajam malah di arahkan ke Nila Dewi. "Kau ikut aku!" ujar orang itu dingin tanpa menoleh pada Ki Ageng Sela.
"Aku? Apa yang kau inginkan?" dengus Nila Dewi garang.
"Jangan banyak tanya! Kalau tidak, akan jatuh korban lagi!"
"Aku tidak suka diancam! Dan jangan coba-coba berbuat seenakmu sendiri!" sahut Nila Dewi tegas.
"Gadis dungu! Jangan coba-coba bertingkah di hadapanku. Setahun lalu, kepandaianmu hanya seujung kuku. Dan apa kira kini telah maju pesat? Huh! Lebih baik menurut saja!"
Mendengar itu Nila Dewi tersentak. Setahun lalu? Apakah dia pernah bertemu orang bertopeng ini? Siapa dia sebenarnya?
"Siapa kau?" tanya Nila Dewi dingin.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku. Tapi yang perlu kau ketahui, aku cukup berbaik hati pada kalian dengan memberi kesempatan bicara banyak. Biasanya aku tidak pernah berbasa-basi mendapatkan korbanku. Nah, jangan berpanjang urusan. Ikut denganku atau kalian semua celaka!"
"Iblis keji! Kau tidak bisa berbuat sesuka hatimu!" Birowo yang sejak tadi tidak bisa menahan amarahnya, sudah melangkah lebar. Dia bermaksud menghajar orang bertopeng itu.
"Sabar, Birowo...," cegah Ki Ageng Sela, seraya merentangkan sebelah tangan menahannya.
"Tapi, Guru. Orang ini sungguh keterlaluan. Dia telah membunuh Kakang Sumaji. Dan kini, hendak meminta Adik Nila Dewi. Bukankah itu sangat keterlaluan?!" sergah Birowo. Agaknya darah mudanya telah telanjur menggelegak ke kepala.
Ki Ageng Sela kembali menahan ketika Birowo telah menghunus pedang dipunggungnya. Orang tua itu maju dua langkah langsung memandang tajam orang bertopeng di depan.
"Kisanak! Kau sungguh keterlaluan. Aku tidak bisa memenuhi keinginan gilamu itu. Dan karena kau telah membunuh muridku, maka terpaksa aku harus menghukum setimpal atas perbuatanmu!" kata Ki Ageng Sela dingin.
"Huh! Orang tua tidak tahu diri! Kau kira dirimu sudah hebat, heh?! Sepuluh orang sepertimu, belum tentu mampu menghadapiku!" dengus orang bertopeng itu bernada sombong.
"Kau boleh mencobanya...!" sahut Ki Ageng Sela tenang, seraya mencabut pedang dipinggang.
Sring!
"Huh!" Orang bertopeng itu hanya mendengus dingin. Langsung dia bersiap, menerima serangan.
"Bersiaplah kau, Kisanak... Yeaaat!"
Wuk! Wuk!
Pedang Ki Ageng Sela berkelebat cepat bagai kilat menyambar pinggang dan leher lawannya.
"Yeaaa!"
Namun dengan gerakan mengagumkan, orang bertopeng itu langsung melenting dan berjumpalitan, menghindari kelebatan pedang Ki Ageng Sela. Bahkan mendadak tubuhnya melesat gesit bagai seekor walet menyambar orang tua itu. Kaki kanannya menghantam ke muka. Dan bersamaan dengan itu, kepalan kirinya siap menyodok ke arah perut.
Wukkk!
Ki Ageng Sela cepat mengibaskan pedangnya. Namun cepat sekali orang bertopeng itu menarik tendangannya. Bahkan langsung menyodokkan kepalan tangannya keperut. Orang tua itu terkesiap. Dan dia berusaha menangkis dengan tangan kiri.
Plak! Des!
"Akh!" Ki Ageng Sela terpekik dengan tubuh terhuyung-huyung. Sungguh tak diduga kalau tenaga dalam orang itu demikian tinggi.
"Eyaaang...!" Nila Dewi berseru kaget. Buru-buru gadis itu menghampiri kakeknya yang terhuyung-huyung ke belakang begitu tangannya habis berbenturan.
"Yeaaa!" Dan belum lagi Ki Ageng Sela siap, orang bertopeng itu sudah kembali menyerang.
"Huh!" Nila Dewi mendengus. Cepat disadari kalau orang itu sudah melanjutkan serangan ke arah kakeknya. Cepat pedangnya dicabut hendak dipapas serangan itu.
Sring!
"Bangsat terkutuk! Lihat serangan... Yeaaat!" Nila Dewi langsung meluruk bagai panah lepas dari busur, sambil mengibaskan pedangnya dengan gerakan laksana kilat.
Wat Wut! Bet!
Pedang di tangan gadis itu seperti hendak mengurung gerak tubuh lawannya. Namun orang bertopeng itu terlihat mampu menghindari dengan meliukkan tubuhnya ke sana kemari. Gerakannya terlihat indah.
"Nila Dewi! Jangan membuatku kesal. Menyerahlah! Atau aku akan bertindak keras padamu!" hardik orang bertopeng itu mulai kesal. Agaknya dia telah mengenal betul dengan gadis itu.
"Huh! Siapa kau ini sebenarnya?! Kau tahu namaku, dan aku tak mengenalmu. Tapi jangan harap aku akan menyerah begitu saja!" dengus Nila Dewi tegas.
"Adik Nila Dewi, jangan khawatir! Biar kita hadapi si Keparat ini bersama-sama!" teriak Birowo seraya melompat menyerang sambil mencabut pedangnya yang tadi sudah tersimpan di pinggang.
Sret! Bet! Bet!
Pedang Birowo menyambar cepat ke arah lawan. Namun seperti tadi, orang bertopeng itu sama sekali tidak merasa terdesak dikeroyok seperti ini.
"Huh! Hanya buang-buang waktu saja!" dengus orang bertopeng itu geram seraya merubah gerak jurusnya.
Kali ini orang bertopeng itu mulai melompat ke belakang. Lalu dia kembali melayang ke muka, menyambut kedua lawannya yang terus mengejar. Gerakannya begitu gesit. Bahkan nyaris Birowo dan Nila Dewi tidak mampu melihat apa yang dilakukan orang bertopeng itu. Dan mendadak saja....
"Heaaat..!" Orang bertopeng itu cepat bagai kilat meluruk deras ke arah Birowo dan Nila Dewi. Tangan kanannya tertuju ke dada murid Ki Ageng Sela ini. Sementara, tangan kirinya melayang ke bahu Nila Dewi. Begitu cepat gerakannya sehingga...
Des! Tuk!
"Aaa...!"
"Oh...!"
Birowo memekik kesakitan begitu pukulan orang bertopeng itu mendarat di dadanya. Tubuhnya kontan terjungkal ke samping dengan pedang terpental entah kemana. Begitu ambruk di tanah tubuhnya menggelepar sesaat, kemudian tak bangun-bangun lagi. Mati. Apa yang dialaminya tidak jauh berbeda dengan Sumaji. Tulang dada di bagian kirinya melesak ke dalam, dan jantungnya langsung pecah.
Sementara Nila Dewi merasakan tahu-tahu saja pedangnya terlepas dari genggaman. Dan tubuhnya mendadak lemas karena tertotok. Orang bertopeng itu segera menghampiri Nila Dewi yang terbaring lemas. Langsung dibopongnya gadis itu, dengan sebelah tangan.
"Bangsat! Lepaskan aku!" teriak Nila Dewi.
Dan baru saja orang bertopeng itu hendak membawa lari Nila Dewi, mendadak....
"Lepaskan wanita itu!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, yang disusul oleh kelebatan sebuah bayangan putih yang cepat bagai kilat kearah orang bertopeng itu.
"Heh?!" Orang bertopeng itu terkesiap kaget. Cepat dia berbalik sambil mengebutkan tangan kirinya.
Namun bayangan putih itu agaknya sudah menduga. Maka tubuhnya langsung meliuk, seraya menyorongkan kaki kanannya ke wajah.
"Hih!" Orang bertopeng itu berusaha mengayunkan tubuh Nila Dewi dalam kepitannya, untuk dijadikan perisai. Namun bayangan putih itu cepat menarik pulang serangannya. Kakinya langsung ditekuk, dan seketika dilayangkan ke pinggang dengan gerakan tidak terduga. Gerakan ini membuat orang bertopeng itu terkejut bukan main. Terpaksa kepitan pada tubuh Nila Dewi dilepaskan, dan tangan kanannya bergerak menangkis.
Plak!
"Ukh...!"
Orang bertopeng itu mengeluh tertahan, begitu tangannya menangkis tendangan bayangan putih yang menjadi lawannya ini. Tubuhnya sempat terjajar beberapa langkah. Sungguh tak disangka kalau tenaga dalam lawannya sangat tinggi.
Sementara itu Nila Dewi yang sudah tergolek di tanah langsung disambar bayangan putih tadi. Setelah gadis itu berada di tempat aman, dia langsung berbalik menghadap ke arah lawannya.
"Huh! Kau rupanya ..!" desis orang bertopeng itu ketika mengetahui, siapa orang yang telah mencampuri urusannya.
Sedangkan Nila Dewi hanya terpana untuk sesaat, ketika menyadari kejadian yang demikian cepat. Bahkan dia sendiri baru sadar telah berada di tempat yang aman, dan melihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih yang telah menolongnya.
"Oh! Kau... Bukankah kau Pendekar Rajawali Sakti...?!" seru gadis itu.
Pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti itu memandang Nila Dewi beberapa saat. Kemudian bibirnya tersenyum kecil. "Hm... Nisanak! Rasanya kita pernah berjumpa. Di manakah itu?" Rangga malah balik bertanya sambil berusaha mengingat-ingat. Namun baru saja kata-kata Rangga kering, kesempatan itu digunakan orang bertopeng itu untuk berkelebat cepat.
"Kisanak! Orang itu melarikan diri...!" kusir kereta langsung berteriak memberitahu.
"Heh?!" Pendekar Rajawali Sakti jadi terkejut. Dan dia hanya sempat melihat sekelebatan bayangan hitam yang mencelat bagaikan kilat. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh orang itu. Sehingga Rangga tak sempat mengejar.
"Pendekar Rajawali Sakti! Belum saatnya kita berhadapan. Suatu saat, aku akan mencarimu untuk menyelesaikan hutang lama...!" Sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara orang bertopeng itu.
Pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih itu tercekat. Memang percuma Pendekar Rajawali Sakti mengejar, karena orang bertopeng itu telah hilang dari pandangan. Dia hanya tidak habis pikir, siapa orang itu sebenarnya? Dan hutang apa yang disebutkannya tadi?
"Pendekar Rajawali Sakti, kami mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Kalau tidak, entah bagaimana nasib cucuku ini...," ucap Ki Ageng Sela yang telah sehat kembali. Dihampirinya pemuda itu bersama Nila Dewi.
"Tahukah kalian, siapa sebenarnya orang bertopeng itu?" tanya Rangga.
"Entahlah. Dia tiba-tiba saja datang menghadang, lalu membunuh kedua muridku...."
"Apakah dia hendak merampok?"
"Dia menginginkan cucuku...
"Cucumu? Untuk apa?"
"Sudah pasti bisa ditebak, bajingan pemetik bunga sepertinya pasti sudah jelas maksudnya. Untuk apa dia menculik cucuku!" desis Ki Ajeng Sela masih terselip nada gusar dalam ucapannya.
"Siapa yang kau maksud bajingan pemetik bunga itu, Kisanak?" tanya Rangga bdak mengerti.
"Siapa lagi kalau bukan orang bertopeng itu!"
"Orang bertopeng itu? Mungkinkah seorang wanita melampiaskan nafsu setannya pada wanita pula? Hm. Barangkali mengidap kelainan jiwa," sahut Rangga, menjawab sendiri pertanyaannya.
"Wanita? Siapa yang kau maksud wanita itu?" Kali ini Ki Ageng Sela yang tampak bingung.
"Orang bertopeng itu. Dia seorang wanita. Apakah kalian tidak tahu?"
Ki Ageng Sela dan Nila Dewi terdiam dan saling pandang sejenak. Lalu terlihat orang tua itu mengangguk pelan. "Mataku memang telah lamur...," gumam Ki Ageng Sela seraya tersenyum kecut.
"Aku tidak tahu siapa dia. Namun agaknya orang itu mengenalku...," kata Pendekar Rajawali Sakti.
Pendekar Rajawali Sakti lalu berbalik. Sebentar dia terdiam, kemudian bersuit pendek. Tak lama dari kejauhan terlihat seekor kuda berbulu hitam berlari menghampiri. Begitu tiba di dekatnya, dia melompat ke atas punggung Dewa Bayu.
"Eh, Nisanak. Maafkan aku. Namun tolong beritahu di mana kita pernah ketemu..!" lanjut Rangga seraya tersenyum.
"Ingatkah peristiwa setahun lalu. Kau dulu pernah menolongku dan Roro Intan...?" tanya Nila Dewi seraya tersipu malu.
Rangga berpikir sejenak. Kemudian bibirnya tersenyum lebar seraya mengangguk kecil. "Ah, aku baru ingat! Ya, kaulah orangnya!" seru Pendekar Rajawali Sakti.
Nila Dewi tersenyum seraya menundukkan wajah.
"Nah, Kisanak dan kau juga Nisanak. Aku tidak bisa lama. Kudengar Peri Peminum Darah berkeliaran di sekitar daerah ini. Aku ada sedikit urusan dengannya!" lanjut Rangga seraya menggebah kudanya. Sebentar saja dia berlalu dari tempat itu, meninggalkan kepulan debu di jalan.
"Peri Peminum Darah? Siapa yang dimaksudkannya?" gumam Ki Ageng Sela bingung.
Tapi Nila Dewi dan kusir kereta mereka tidak kalah bingung. Untuk sesaat mereka membisu, sebelum akhirnya mengurus jenazah Sumaji dan Birowo.

***

135. Pendekar Rajawali Sakti : Peri Peminum DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang