Seorang pemuda murid Padepokan Kilat Buana melaporkan pada gurunya yang bernama Ki Pagut Geni tentang kehadiran beberapa orang tokoh persilatan dan seorang yang berpakaian indah seperti seorang saudagar. Mereka tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti, Ki Bagong Udeg, Ki Tabong, Ki Ageng Sela, Ki Waskita, dan Ki Dawang Rejo. Dan kini, Ki Pagut Geni menerima mereka di ruang utama padepokan itu.
"Akulah Ki Pagut Geni. Ada kabar apa kalian menemuiku?" kata Ki Pagut Geni memperkenalkan diri dan sekaligus bertanya-tanya.
Sebenarnya, Ki Pagut Geni bukanlah keturunan orang yang terpelajar. Sejak muda wataknya terkenal berangasan. Sehingga tidak heran kalau tidak mengenal sopan-santun. Dalam pembicaraan pun terlihat kalau dia tak suka berbasa-basi. Begitu juga saat ini. Tanpa mempersilakan tamunya duduk, dia sudah langsung menanyakan tujuan mereka sambil berdiri.
Rangga hanya tersenyum kecut, sambil melirik ke arah rekan-rekanya. Meski merasakan kalau sambutan Ki Pagut Geni terkesan kurang sopan, namun pemuda itu berusaha untuk memahaminya.
"Ki Pagut Geni, kedatangan kami di sini sekadar hendak bergabung denganmu, untuk menghadapi si Peri Peminum Darah," jelas Rangga.
"Hm, Peri Peminum Darah? Ya! Aku juga baru saja mendapat laporan dari muridku. Tapi ada apa dengannya sehingga kalian perlu repot-repot ke sini?" tanya orang itu seperti tidak merasa mendapat masalah oleh berita ini.
"Orang itu berbahaya, dan..."
"Tunggu dulu!" Potong Ki Pagut Geni langsung.
Orang tua itu memandang Rangga dengan tajam. Sementara, Rangga jadi terdiam dan juga langsung memandang tajam pada Ki Pagut Geni. "Hm, aku tahu. Kalian meremehkan kemampuanku, bukan?"
"Kami tidak mengerti maksudmu, Ki?" tanya Rangga dengan wajah heran.
"Kalian kira si Peri Peminum Darah sedemikian hebat, sehingga kalian pikir aku tidak mampu mengatasinya? Lalu kalian datang bermaksud mengulurkan bantuan?!" kata Ki Pagut Geni mulai tersinggung.
"Jangan berpikir begitu, Ki. Tentu saja kami tahu kehebatanmu Tapi..."
"Cukup! Sekarang jawab pertanyaanku. Siapa kau, sehingga berani merendahkanku?! Aku tahu dan memang kenal keempat kawanmu. Demikian pula pada hartawan ini, serta kedua pengawalnya. Tapi, aku tidak mengenalmu! Lantas, orang-orang seperti kaliankah yang akan membantuku?!"
"Ki Pagut Geni! Pemuda inilah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti," jelas Ki Bagong Udeg. Sejak tadi Ketua Padepokan Merak Emas ini diam menahan kesal melihat sikap Ketua Padepokan Kilat Buana yang terlihat sombong. Dia berharap, dengan begitu sikap Ki Pagut Geni bisa sedikit lunak. Sebab untuk saat ini, siapa yang tidak kenal si Pendekar Rajawali Sakti?
Tapi apa yang diharapkan Ki Bagong Udeg, agaknya bertolak belakang. Begitu mendengar siapa pemuda itu sebenamya, dia malah tertawa lebar. "He he he...! Benar, saat ini aku tengah berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi apa kau mesti memandang rendah padaku, sehingga berpikir aku butuh pertolonganmu? Apakah kau sudah sedemikian hebat menyandang nama kosong itu?" kata orang tua ini sinis.
Rangga yang sejak tadi berusaha sabar kini mulai kesal. "Aku sama sekali tidak berpikiran seperti itu, Ki. Tapi urusan si Peri Peminum Darah adalah urusan semua orang. Paling tidak, harus ada yang berbuat sesuatu untuk menghentikan perbuatannya yang keji. Jadi jangan hanya persoalan harga diri yang ada di benakmu! Ini masalah keselamatan banyak orang!" kata Pendekar Rajawali Sakti, tenang.
"Jangan mengguruiku, Bocah! Kau tahu, sebelum kepalamu keluar melihat isi dunia ini, aku telah malang melintang dalam dunia persilatan. Jadi jangan menganggap remeh kalau hanya menghadapi bajingan busuk yang kau takutkan. Hanya keledai keledai dungu yang takut dengan perempuan!" desis Ki Pagut Geni menyindir.
Mendengar ejekan itu, rasanya darah dalam dada Ki Tabong mulai mendidih telah naik ke ubun-ubun. Dia hendak maju untuk balas memaki Ketua Padepokan Kilat Buana itu, namun keburu ditahan Ki Bagong Udeg. Sementara Ki Pagut Geni hanya menatap tajam ketika melihat gerakan Ki Tabong. Seakan hendak ditelannya bulat-bulat tubuh Ki Tabong lewat sorot matanya yang menggiriskan.
"Ki Tabong! Rupanya kau punya harga diri juga, heh?! Kau boleh tunjukkan kejantanan di sini. Jangan berhadapan denganku dulu. Karena banyak muridku yang siap meladenimu sendiri!" dengus Ki Pagut Geni geram.
Dengan kata-katanya itu, jelas sekali kalau sebenarnya Ki Pagut Geni menganggap remeh Ki Tabong. Sehingga membuat orang tua bertubuh gemuk pendek itu semakin geram saja. Meski Ki Bagong Udeg dan yang lain berusaha menahan, namun dengan kasar ditepisnya tangan mereka. Langsung ditudingnya Ki Pagut Geni dengan sikap garang.
"Pagut Geni. Kau boleh tunjukkan kehebatanmu padaku!"
"Ki Tabong, sudahlah. Kedatangan kita ke sini bukan hendak mencari permusuhan. Kita harus mencari si Peri Peminum Darah. Kalau memang Ki Pagut Geni tidak bersedia bekerja sama, bukan suatu persoalan. Kita cari si Peri Peminum Darah itu di tempat lain," ujar Rangga berusaha menyabarkan Ki Tabong.
"Tidak! Orang ini sudah keterlaluan! Dia merendahkan kita, dan sama sekali tidak memandang sebelah mata. Dikira dirinya siapa?! Kalau dibiarkan terus, dia akan besar kepala!" sergah Ki Tabong.
"Tidak usah banyak bicara! Lawan dulu muridku. Kalau kau mampu mengalahkannya, aku mengaku kalah padamu!" desis Ki Pagut Geni garang.
"Phuih! Tidak perlu muridmu. Majulah kau sendiri!" sentak Ki Tabong.
"Ha ha ha...! Kau kira dirimu siapa? Menghadapi muridku saja, kau masih belum pantas. Apalagi mesti menghadapiku"
"Setan!" Ki Tabong menggeram. Langsung dia melompat menerkam Ketua Padepokan Kilat Buana. Sia-sia saja Rangga dan yang lain menahan amarah Ki Tabong yang agaknya tidak bisa disurutkan lagi.
"Yeaaat!" Mendadak seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun bertubuh kekar tadi kebetulan tak jauh dari situ langsung memapak serangan Ki Tabong.
"Ha ha ha...! Bagus, Satria! Meski dia tidak pantas menjadi lawanmu, tapi kau tidak perlu memberi hati. Tunjukkan, kalau dia sebenarnya bukan tandinganmu!" seru Ki Pagut Geni, sambil terkekeh lebar.
Pertarungan antara Ki Tabong dengan Satria Waksa murid utama Ki Pagut Geni itu memang tidak bisa terelakkan lagi. Ki Tabong memang panas betul mendengar kata-kata Ketua Padepokan Kilat Buana tadi. Sehingga tidak tanggung-tanggung lagi segenap kemampuannya dikerahkan untuk menjatuhkan Satria Waksa. Ingin segera dibuktikannya kalau dirinya tidak bisa dipandang sebelah mata.
Namun apa yang dibayangkan ternyata tidak sesuai keadaan. Ternyata kepandaian Satria Waksa tidak bisa dipandang ringan. Hal ini tidak mengherankan, sebab Ki Pagut Geni mempertaruhkan harga dirinya.
Plak!
"Hiiih!"
Beberapa kali Ki Tabong mengeluh tertahan, setiap kedua tangan mereka beradu. Tenaga pemuda itu kuat luar biasa. Dan kegesitannya dalam bergerak amat mengagumkan. Bahkan orang tua itu pelan-pelan terlihat mulai terdesak hebat.
"Yeaaa!"
Satria Waksa berteriak lantang menggelegar. Kemudian kaki kanannya dikibaskan ke arah pinggang Ki Tabong. Namun orang tua itu cepat melompat ke belakang menghindarinya. Maka dengan berpijak pada sebelah kakinya, murid utama Ki Pagut Geni itu mencelat mengejar. Langsung dihantamnya perut Ki Tabong dengan satu tendangan keras. Ki Tabong berusaha menangkis, karena untuk berkelit sudah tak mungkin.
Plak!
Benturan keras terjadi, membuat Ki Tabong meringis kesakitan. Sekujur tangannya yang digunakan untuk menangkis terasa nyeri bukan main. Dan belum juga dia bersiap, kaki Satria Waksa yang sebelah lagi cepat menghantam pinggangnya.
Des!
"Aaakh...!" Orang tua itu mengeluh tertahan. Tubuhnya nyaris terjungkal ke kanan, namun cepat menguasai keseimbangan. Namun Satria Waksa seperti tidak memberi kesempatan. Belum juga Ki Tabong bersiap kembali, pemuda itu telah berputar dengan satu tendangan susulan. Begitu cepat gerakannya, sehingga...
Duk!
"Hugkh!" Ki Tabong kontan mengeluh tertahan, seraya mendekap perutnya yang terasa mual bukan main. Tubuhnya langsung terjungkal tiga langkah ke belakang, tepat di depan Ki Bagong Udeg. Tampak mulutnya meringis merasakan sakit yang hebat.
"Ha ha ha...! Ternyata dugaanku benar! Kalian memang hanya keledai-keledai dungu yang bertingkah hendak menjadi pahlawan!" ejek Ki pagut Geni.
Sementara itu Ki Waskita sudah hendak turun tangan menghajar Satria Waksa, namun Ki Bagong Udeg mencegahnya. "Sudahlah. Apa yang dikatakan Rangga memang benar. Kita jangan mencari keributan di sini," ujar Ki Bagong Udeg seraya mengangkat tubuh Ki Tabong.
"Tapi orang ini sudah kelewat menghina kita?!" kilah Ki Waskita.
"Biarlah. Tidak usah dibesar-besarkan...," sahut Ki Bagong Udeg, masih berusaha menyabarkan sahabatnya.
"Ha ha ha...! Kata-kata itu memang sepatutnya keluar dari mulut orang-orang pengecut!" sindir Ki Pagut Geni sambil ketawa lebar.
Mau tidak mau, kata-kata penuh penghinaan ini membangkitkan kembali amarah Ki Waskita yang mulai surut. Dan bukan hanya orang tua itu saja yang tersinggung. Tapi, Ki Ageng Sela, Ki Bagong Udeg, Rangga yang sejak tadi diam, langsung menatap tajam pada Ki Pagut Geni.
"Kisanak! Sikapmu sudah di luar batas. Kau telah dengar, kedatangan kami ke sini bukan mencari keributan. Namun kau terus memancing kesabaran kami. Apa sebenarnya yang kau inginkan?" tanya Rangga, dengan suara bergetar berusaha menahan kemarahan.
"O, rupanya masih ada keberanian juga kau, Anak Muda! Hm.... Kau pun boleh tunjukkan, kalau bukan pengecut dengan melawan muridku ini," sahut Ki Pagut Geni enteng sambil menepuk-nepuk pundak muridnya yang tadi baru saja menjatuhkan Ki Tabong.
"Rangga! Biar dia kuberi pelajaran agar tidak besar kepala!" dengus Ki Waskita semakin geram.
Namun pemuda itu memberi isyarat dengan tangannya. Kemudian bibirnya tersenyum kecil. "Jangan mengotori tangan hanya untuk memuaskan orang sombong ini, Ki. Biarlah kau kuwakili untuk menghadapinya," kata Rangga, berusaha setenang mungkin.
"Nah, Satria. Kau dengar itu? Kali ini Pendekar Rajawali Sakti yang akan menjajalmu. Apakah kau takut mendengar nama besarnya?" tanya gurunya.
"Aku tidak pernah takut pada siapa pun, Guru. Walau dedemit yang berada di mukaku!" sahut murid Ki Pagut Geni tegas, disertai senyum sinis.
Rangga tersenyum seraya melangkah tiga langkah ke kiri. Sedang Satria Waksa mengikutinya sambil memandang dengan sorot mata tajam. Kini dia mulai memasang kuda-kuda. "Kepandaianmu hebat, Sobat. Dan gurumu pun konon kata orang juga hebat. Maka jangan permalukan dia di depan orang banyak...." sindir Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau tidak perlu mengajariku, Kisanak!" dengus Satria Waksa geram.
"Hm, mungkin saja. Tapi agaknya kau masih perlu belajar banyak untuk mengendalikan kesombonganmu..."
"Tutup mulutmu! Yeaaa...!" Secepat kilat Satria Waksa melompat disertai bentakan nyaring melengking. Dia melakukan tendangan tipuan dengan kaki kanan untuk mengecoh. Dan Rangga cepat menundukkan kepala. Maka sekonyong-konyong, Satria Waksa menarik tendangan. Dan dengan tubuh berputar, dilepaskannya tendangan dengan kaki kiri ke arah dada.
Wuuut!
Tapi Pendekar Rajawali Sakti menyadari. Segera tubuhnya melenting cepat bagai kilat, sehingga tendangan Satria Waksa hanya mengenai tempat kosong. Begitu habis berputaran, tahu-tahu Pendekar Rajawali Sakti meluruk deras dengan satu kepalan tangan menyodok ke arah muka. Satria Waksa terkesiap. Serta merta dia mendoyongkan tubuhnya ke samping sambil menangkis.
Sehabis menangkis, kaki kanan Satria Waksa hendak melayang ke arah perut Pendekar Rajawali Sakti, namun belum lagi dilakukannya, tubuh Rangga telah merapat dekat disertai pukulan keras ke perut.
Begkh!
"Ugkh"
Satria Waksa kontan mengeluh tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, untung masih bisa menguasai keseimbangan tubuhnya.
"Hati-hati! Dan jaga setiap pertahananmu...!" kata si Pendekar Rajawali Sake disertai senyum manis. Matanya tak lepas mengawasi lawannya.
"Keparat!" Satria Waksa menggeram. Tanpa mempedulikan sakit yang diderita, dia kembali melompat menerkam Rangga.
"Yaaat!"***
KAMU SEDANG MEMBACA
135. Pendekar Rajawali Sakti : Peri Peminum Darah
ActionSerial ke 135. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.