"Tifus?"
"Hm," gumam Nugi.
"Belum sadar?" Ali mengamati tubuh yang terbaring di hadapannya dengan jeli.
"Udah tadi. Cuma sebentar terus tidur lagi."
Sesuatu dalam suara Nugi membuat dokter bedah itu menoleh. Ia meletakkan sebungkus makanan di atas nakas, lalu ikut duduk di samping Nugi.
"Selamat."
Nugi mendengkus, namun tidak mengatakan apapun. Ia sedang berdamai dengan detak jantungnya saat ini.
"Asumsi gue udah mengarah kemana-mana waktu lo bilang ada darah di mulut. Ternyata apa? Itu luka di bibirnya, bukan dari saluran napas atau kerongkongan atau lambung seperti dugaan awal gue." Ali bersedekap. "Tapi kondisinya juga nggak bisa dibilang baik. Dia dehidrasi berat. Itu bahaya."
Nugi merinding hebat.
"Bahaya," ulang Nugi pelan sekali demi menyamarkan getar dalam suaranya. "Apa maksud lo dengan 'bukan kondisi yang bisa berkompromi sama waktu'?"
"Serius? Lo nggak ngerti maksud gue?" tanya Ali tidak percaya. "Tifus bisa jadi mematikan kalau terlambat ditangani. Tahap terminal bisa sampai perdarahan internal dan pecah usus, Gi. Keadaannya aja udah seburuk ini. Bayangkan kalau dia terlambat dapat penanganan sedikit aja."
Nugi mengurut pangkal hidungnya dan memejamkan mata. Dia tahu. Tentu saja dia langsung mengerti kata-kata Ali. Dia hanya tidak mau menyimpulkannya. Sebab kesimpulan itu, membuatnya takut.
"Dia memang punya kebiasaan gigit-gigit bibir," celetuk Nugi untuk mengalihkan topik.
"Iya? Kalau cemas, gitu?"
Nugi mengangguk. "Dari awal kami ketemu lagi, gue perhatiin dia selalu gigit bibir kalau ngerasa kurang nyaman."
"Apa BFRB?" Ali mulai menebak-nebak. "Gangguan ini memang cukup merusak. Cukup masuk akal kalau sampai bibirnya berdarah, gitu."
"Bisa jadi," gumam Nugi. Lelaki itu menatap Abel yang masih terbaring. Menggigit bibir hingga berdarah ketika badan terasa sakit, agaknya cukup masuk akal bagi Abel yang selalu menggigit bibirnya tanpa sadar ketika cemas. Tapi waktu membuka pintu tadi, wajah itu tidak hanya menyiratkan rasa sakit. Ada sesuatu yang lain di sana, sesuatu yang membuatnya menatap Nugi dengan nanar.
Rasa takut.
Apa? Apa yang bikin lo takut, Bel?
"Dehidrasi berat," gumam Ali. "Berapa kali dia mutah sama BAB? Makan apa aja seminggu terakhir? Ada riwayat makan di luar? Di tempat-tempat kurang higienis, gitu?"
Nugi menggelengkan kepala. "Ini pertama kalinya gue lihat dia lagi."
"Oh?" Ali mengangkat alis. "Kenapa? Kalian marahan sampai nggak mau ketemu? Imut amat."
Nugi mengelus pelipisnya, benar-benar lelah untuk meladeni Ali.
"Proyek Comma selesai. Nggak ada alasan kita ketemu," ucap Nugi. "Tapi Manda mau rebranding Athlas dan dia minta tolong gue buat nemuin Abel lagi. Paham?"
"Ah..." Ali nyengir lebar. "Begitu rupanya."
Sungguh, Nugi membenci cengiran itu. Namun ia memutuskan untuk tidak bicara apapun.
"Gimana tadi di jalan?" Ali memecah lamunan Nugi. "Ketemu kendala selain diri lo sendiri?"
Nugi menggertakkan gigi, yang diabaikan Ali. Lelaki itu justru berdiri dan mendekati Abel. Ia meletakkan tangannya di dahi gadis itu.
Nugi ikut berjalan di sampingnya.
"Demamnya cukup tinggi," ucap Ali menarik tangannya. "Tadi pasti sakit sekali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Colour Palette [Published]
Romanzi rosa / ChickLitKetika Abel tidak bisa menyebutkan nama-nama rimpang dengan benar, Abel sadar dirinya bukanlah menantu idaman Leah. Tapi, bukankah cinta selalu tentang perjuangan? Setelah kekurangan-kekurangan yang ia miliki, ia tidak bisa membiarkan kekurangan...