Cerita ini dibuat ulang dari legenda "Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari". Semua penulisan tidak bermaksud untuk mengurangi rasa hormat kepada sang penulis dan tokoh-tokohnya yang luar biasa.
Legenda Jaka Tarub adalah salah satu cerita rakyat yang diabadikan dalam naskah populer Sastra Jawa Baru, Babad Tanah Jawi.
Kisah ini berputar pada kehidupan tokoh utama yang bernama Jaka Tarub ("pemuda dari Tarub"). Setelah dewasa ia digelari Ki Ageng Tarub. Ki Ageng Tarub adalah tokoh yang dianggap sebagai leluhur dinasti Mataram, dinasti yang menguasai politik tanah Jawa - sebagian atau seluruhnya - sejak abad ke-17 hingga sekarang. Menurut sumber masyarakat di desa Widodaren, Gerih, Ngawi, peristiwa ini terjadi di desa tersebut. Sebagai bukti masyarakat setempat percaya karena terdapat petilasan makam Jaka Tarub di desa tersebut. Rata-rata masyarakat setempat yang sudah lanjut usia tahu jalan cerita Jaka Tarub dengan 7 bidadari. Nama desa Widodaren itu dipercayai masyarakat setempat berasal dari kata widodari yang berarti dalam bahasa Indonesia adalah bidadari. Di desa ini juga terdapat sendang yang konon dulu adalah tempat para bidadari mandi dan Jaka Tarub mengambil selendang salah satu bidadari.
- WIkipedia
Pagi itu suasana terasa ramai. Bukan karena obrolan masyarakat sekitar—sebagian dari mereka sudah berangkat ke sawah dan anak-anak mereka masih tidur—melainkan karena siulan burung di sekitar. Jaka sendiri sudah memasuki hutan sejak matahari baru terlihat puncaknya. Kawanan panah yang bergesekan di kantongnya semakin membangkitkan semangat Jaka untuk berburu. Ia berencana untuk mendapatkan rusa sebagai makan siangnya.
Sayangnya, sampai matahari bertakhta di atas kepalanya, tak seekor rusa pun Ia dapatkan. "Ah mengapa hari ini aku nampak sial sekali?" gerutu Jaka.
Semakin Ia masuk ke dalam hutan, semakin sunyi suasana sekitar. Tidak ada lagi siulan burung atau sekadar gemerisik rumput. Kabut putih mulai menguar. Jaka mulai gelisah, tetapi tak sedikitpun berniat untuk kembali.
Di tengah kesunyian, terdengar gelak tawa wanita. Awalnya satu, kemudian dua, kemudian bertambah lagi. Seakan terpanggil, pandangan Jaka mengabur, mengikuti tawa tersebut. Betapa kagetnya Jaka ketika mendapati bahwa suara itu berasal dari bidadari-bidadari yang sedang mandi di danau.
"Cantik sekali mereka ini. Andai aku bisa memperistri salah satu dari mereka," gumam Jaka.
Ia melihat bahwa mereka meninggalkan selendang mereka di bebatuan. Maka, sementara mereka bercengkerama dan mandi, Jaka diam-diam mengambil salah satu dari selendang itu. Ia pikir, tanpa selendang itu, salah satu dari mereka tidak dapat kembali ke kahyangan dan bisa Ia persunting.
Apa yang direncanakan Jaka pun berhasil. Salah satu dari bidadari itu kebingungan mencari selendangnya. Meski dibantu bidadari lain, Ia tak berhasil menemukannya. Bidadari-bidadari yang lain pun terpaksa pulang meninggalkan bidadari yang dipanggil Nengsih. Jaka yang sudah menyembunyikan selendang Nengsih pun mendekatinya dan memberikan pakaian bekas ibunya.
Nengsih sangatlah bahagia. "Karena kamu telah membantuku, aku rela menjadi istrimu." Jaka bingung mengapa Nengsih mengetahui niatnya, tetapi Ia tetap bahagia. Jaka juga menyetujui perintah Nengsih agar tidak membuka tutup wadah nasi jika Ia sedang menanak nasi.
Sepanjang perjalanan, Jaka terus memerhatikan Nengsih. "Pastilah tubuh para bidadari sangatlah ringan, sampai-sampai tidak ada sedikit pun jejak Ia tinggalkan," gumam Jaka. Entah perasaannya saja, tetapi Ia merasa banyak suara burung hantu mengikuti mereka.
"Aduh!" pekik Jaka tidak sengaja terantuk batu. Perasaannya mendadak tidak karuan, seperti ada rasa bahagia, marah, sedih, dan kecewa tercampur aduk.
"Apakah kamu tidak apa-apa, suamiku?" tanya Nengsih sembari mengulurkan tangan. Tepat ketika Jaka menyambut tangan Nengsih, ototnya seakan membeku. Ia merasa sekelebat bayangan muncul di belakangnya.
"Jangan," bisik bayangan itu. Bayangan lain ikut muncul. "JANGAN JANGAN JANGAN!"
Jaka menggelengkan kepalanya. Apa-apaan ini? Apakah diriku berhalusinasi? Akan tetapi, ketika melihat wajah Nengsih, hatinya berangsur-angsur lega. Wajah khawatir Nengsih terlihat seperti air terjun yang menyejukkan sementara rambut hitam bagai gelombang angin itu menenangkannya. Perlahan-lahan pikirannya kembali terbuai. Jaka tersenyum dan bangkit berdiri. Mereka pun melanjutkan perjalanan mereka, masih diiringi suara burung hantu.
Selama beberapa hari, lelaki itu bersukacita mendapati tempat tinggalnya menjadi lebih riang karena kehadiran Nengsih. Hanya satu yang menggelitik pikirannya. Perintah Nengsih agar tidak membuka wadah penanak nasi masih terngiang-ngiang dan membuat Jaka penasaran. Ada apa gerangan sampai-sampai Ia tidak boleh membukanya? Rasa itu semakin kuat, sampai-sampai Ia tak sadar sudah meraih pegangan tutup tersebut.
Belum sampai tutup itu terbuka sepenuhnya, semuanya berubah menjadi hitam. Jaka sudah tidak di rumah, tutup yang tadi dipegangnya menguap, dan perabotan rumah lenyap. Yang tersisa hanya hitam dan ... "Nengsih?" panggil Jaka kebingungan. Nengsih tidak menjawab, Ia hanya menangis sesegukan.
"Suamiku, mengapa engkau melanggar perintahku?" kata Nengsih. Jaka merasa bersalah, tetapi Ia segera waspada melihat perubahan drastis pada raut Nengsih.
Tangisan sesegukan tadi langsung berhenti dengan senyuman lebar. "Namun tidak apa-apa, Suamiku. Setidaknya ...," di belakang Nengsih, muncullah sosok yang Jaka kenali sebagai bidadari-bidadari lain.
"kami punya makanan."
Mereka semua tersenyum lebar memamerkan taring yang berkilat seram. Saking lebarnya, bibir mereka robek dan mengucurkan darah. Jaka berusaha berlari tetapi di situ hanya ada hitam. Tak ada ujungnya!
"KHUKHUKHU. Jaka, ayo ke sini!"
"Jangan malu-malu, Jaka. KHUKHUKHU!"
Tubuh Jaka limbung setelah kelelahan berlari. Gelak tawa para bidadari semakin kencang memekakkan telinga. Jaka hanya bisa berteriak ketika kakinya mulai ditarik dan digerogoti bidadari-bidadari yang kelaparan. Darah bercipratan ke mana-mana, menodai sekeliling. Pada tarikan terakhir nafasnya, Jaka menyadari bahwa suara yang mengiringi mereka pulang bukanlah dari burung hantu. Suara itu adalah gelak tawa dari para bidadari.
***
"Sungguh manusia adalah makhluk yang bodoh. Mereka pikir kita selemah itu sampai bergantung dengan selendang?" kata Warnangta, kakak Nengsih. Nengsih hanya tersenyum sambil mengelap sisa darah di bibirnya yang indah itu.
"Saudari-saudariku, bagaimana kalau kita pajang tulang-tulang ini di ruang tamu? Ruang tamu pasti menjadi lebih meriah."
selesai.
------------------------------
Aku senang sekali bisa kembali bersama kalian di sini. Ketahuilah kalau aku selalu memperhatikan kalian (not in a bad way) yang berbaik hati berkunjung. Terima kasih!
Jika kalian suka dengan tipe cerita remake dari dongeng dan legenda seperti ini, tinggalkan jejak dan berikan saran dongeng apa lagi selanjutnya. Sampai jumpa. Jangan lupa tutup lemarimu atau tulang-belulang itu akan menerjang keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keripik Rasa Pasta : Kumpulan Creepypasta dan Riddle Horror
Mystery / Thriller•dalam proses revisi semua part agar lebih rapi dan nyaman dibaca• [13+] mengandung unsur sadis, kekerasan, horor, dan konten tidak pantas untuk dibaca anak-anak. Jika merasa sudah cukup umur mohon agar tidak meniru adengan apapun dalam konten cerit...