The Only One

438 36 19
                                    

Hokuto mendesah pelan kala dirinya terhenti di hadapan Christmas Tree yang terletak di taman kota. Kenapa tungkai kakinya harus melangkah ke tempat ini lagi? Ada banyak tempat yang bisa dikunjunginya pada Christmas Eve, tapi kenapa Ia selalu berakhir di tempat ini lagi? Tempat yang menyimpan salah satu kenangan terburuknya. Tempat yang sangat ingin Ia lupakan semenjak dua tahun yang lalu. Tempat di mana Ia biasa menghabiskan malam menjelang natal bersama mantan kekasihnya, Kazuma Kawamura.

'Sadarlah, Hokuto! Ini sudah saatnya untukmu move on!' serunya dalam hati; meneriaki dirinya sendiri. Ditepuk-tepuknya kedua pipinya yang kini semakin memucat putih, efek dari suhu yang semakin mendingin.

Move on ya? Hokuto sedikit tertawa kecil. Andai move on bisa semudah itu. Bukan berarti Ia tidak pernah mencoba. Ia bahkan sempat berkencan dengan beberapa pemuda dan perempuan selama dua tahun belakangan ini, tapi tak ada satu pun dari mereka yang mampu membuat perasaannya teralihkan. Tak ada satupun dari mereka yang mampu membuatnya menghilangkan bayang-bayang seorang Kazuma Kawamura dari kepalanya. Tak ada satupun dari mereka yang seperti Kazuma.

Hokuto kembali menepuk kedua pipinya, kali ini sedikit lebih keras dari sebelumnya. "Berhenti memikirkan si bedebah itu, Hoku!" Orang-orang di sekitarnya langsung berbisik sebelum menjauh dari pemuda manis tersebut. Hokuto tersadar, menatap sekitar dan mendapati orang-orang memandangnya dengan tatapan aneh. Dia buru-buru membungkukkan badan dan meminta maaf.

'Bagus, gara-gara memikirkan si bodoh itu, orang-orang menyangka aku tidak waras,' gerutunya dalam hati. Bibirnya tampak sedikit mengerucut. Rasa malu masih menjalari tubuhnya.

"Hokuto 'kan?"

DEG! Hokuto meneguk ludah. Ia kenal betul dengan suara ini. Suara yang sangat familiar dengan telinganya. Suara yang begitu disukainya selama empat tahun mereka bersama. Suara yang sebenarnya selama ini dirindukannya.

Hokuto menggigit bibir. Ia kemudian memberanikan dirinya untuk berbalik dan menemukan orang yang sangat ingin dilupakannya tengah berlari tegopoh-gopoh menghampirinya. Kenapa? Kenapa mereka harus bertemu di sini?

Hokuto sebenarnya ingin langsung berlari dari sana. Ke mana pun, selama tidak ada pemuda yang satu itu. Tapi kedua tungkai kakinya terasa lumpuh, tidak mau bergerak walau barang sesenti.

"Sedang apa di sini?" tanya pemuda itu. Ia lantas buru-buru membuka syal rajut yang dikenakannya dan lantas melingkarkannya di leher Hokuto. Samar-samar Hokuto bisa mencium wangi maskulin dari parfum yang biasa dikenakan sang pemuda. Hokuto juga mengenal persis syal rajut tersebut. Itu adalah syal yang Ia rajut untuk pemuda tersebut sebagai hadiah natal lima tahun yang lalu.

"Dan kenapa kau tidak mengenakan apapun selain mantel tipis itu?" Sang pemuda kembali mengoceh. Ia lalu melepaskan topi serta sarung tangan yang dipakainya. Barang-barang hangat tersebut kini berpindah ke atas kepala serta kedua tangan Hokuto. "Tanganmu sampai sedingin ini. Kalau kena flu bagaimana?"

Hokuto buru-buru menepis tangan sang pemuda. "Aku bukan anak kecil," ketusnya.

"O—Oh, maaf." Pemuda itu kemudian menyunggingkan senyum. Sebuah senyuman yang justru terasa menusuk untuk Hokuto. Dia mengenal betul pemuda itu selama enam tahun lebih. Ia tahu, senyuman yang diberikan sang pemuda menyimpan rasa pahit di dalamnya. "Aku hanya megkhawatirkanmu,"

'Jangan tertipu, Hokuto. Dia yang sudah menyakitimu, berselingkuh dan memilih pemuda lain. Tidak ada lagi alasan baginya untuk mengkhawatirkanmu,'

Seolah memahami apa yang kini tengah ada di dalam pikiran sang mantan, pemuda itu kemudian berkata,"Tapi sepertinya kehadiranku malah mengganggumu ya? Kalau begitu, biar aku saja yang pergi." Ia kemudian berbalik. "Ah ya, aku senang melihatmu baik-baik saja, walau kau tampak sedikit lebih kurus sekarang. Aku harap kau makan dengan baik setelah ini. Selamat tinggal,"

Hoshi no PageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang