BAB 3

964 221 53
                                    


Assalamualaikum. Hallo, miss you so bad, Gais🥺

"Boleh jadi Allah timpakan musibah sebagai kode yang meminta kita untuk jangan melupakan rasa syukur."


      

☂️☂️☂️

Terhitung sudah sebulan Hilya bekerja di rumah makan milik Bu Maya. Perempuan itu tersenyum memandangi amplop di tangannya. Itu adalah gaji pertamanya. Rencananya, Hilya akan menyisihkan  25 persennya untuk ditabung. Sedangkan sisanya akan ia gunakan untuk membeli keperluan sehari-hari juga untuk ayahnya. Semoga saja, dengan uang ini hati Umar sedikit terketuk dan mau menerima kehadiran dirinya.

Jarum jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Perasaan cemas melanda Hilya sebab sejak tadi tak ada satu pun angkutan umum ataupun ojek yang melintas. Biasanya, ia pulang bersama Wulan. Namun, hari ini Wulan tidak masuk kerja.

Pandangan Hilya teralihkan pada sosok laki-laki yang tengah berdiri tak jauh darinya. Laki-laki itu terlihat tengah mengobrol dengan beberapa orang.

"Dia...."

Hilya meneguk salivanya dengan susah payah. Keringat dingin mulai menjalar membasahi pelipisnya yang tertutup hijab. Tidak, pasti ia salah lihat. Untuk apa laki-laki itu ada di sini? Pikirnya.

"Butuh tumpangan?"

Hilya terperanjat saat seorang lelaki berjaket kulit berwarna hitam dengan motor ninja berhenti di depannya. Ia menyipitkan matanya untuk memastikan siapa orang yang wajahnya tertutup oleh helm full face itu.

"Ini saya, Manaf," ungkap lelaki tersebut seraya membuka kaca helmnya.

Hilya tersenyum kikuk. Manaf lagi. Untuk yang ke sekian kalinya, laki-laki itu menolongnya. Jujur saja, Hilya merasa tidak enak. Keluarga Bu Maya sudah terlalu banyak menolongnya. Ya, terkecuali Zafran. Sampai saat ini, ia masih belum mengerti. Mengapa Zafran begitu membencinya? Amat berbanding terbalik dengan sikap rendah hati yang dimiliki oleh Manaf.

"Enggak deh, Mas. Saya nunggu angkot aja, terima kasih." Hilya menolaknya dengan halus.

Manaf diam sejenak. Ah, sepertinya ia melupakan sesuatu. Tentu saja Hilya menolak ajakannya. Perempuan itu begitu menjaga jarak dengan lawan jenis. Tak kehilangan akal, Manaf segera merogoh ponsel dalam saku celananya.

"Gini, deh. Saya hubungi taksi langganan buat antar kamu pulang, ya? Bahaya seorang perempuan sendirian di malam hari begini."

Tiba-tiba, Hilya teringat sesuatu. Ia terus mengedarkan pandangannya ke setiap penjuru. Hendak memastikan apa yang ia lihat tadi. Sayangnya, orang itu telah menghilang. Cepat sekali perginya, pikir Hilya.

"Gimana? Mau, kan?" Manaf kembali mengulang perkataannya karena Hilya tak kunjung merespon.

Hilya kembali menoleh pada Manaf. "Em... boleh, Mas. Kalau enggak merepotkan," sahut Hilya dengan sungkan.

Manaf sudah menghubungi taksi. Sementara itu, keduanya kembali terdiam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tak lama, sebuah taksi muncul di depan mereka. Manaf langsung mempersilakan Hilya untuk masuk.

"Pak, saya titip perempuan ini, ya? Jangan diculik lho ya," seru Manaf memancing gelak tawa sang supir.

"Ah, Mas Manaf bisa aja," timpalnya.

"Sekali lagi, terima kasih ya, Mas. Saya jadi enggak enak karena terlalu sering merepotkan."

Manaf membalasnya dengan seulas senyum yang cukup membuat jantung Hilya berdetak tidak karuan. Laki-laki itu mulai men-starter setang motornya. Kemudian, mulai melesat dengan kecepatan normal. Sedangkan Hilya langsung masuk ke mobil.

Pantaskah Dicinta-Nya?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang