PART 9

6.4K 386 105
                                    

HAPPY BIRTHDAY TO ME.
YANG MAU UCAPIN SELAMAT, SILAKAN KOMENTAR DI SAMPING. HEHE... ➡️➡️➡️

💌💌💌💌💌💌💌💌💌💌💌💌💌💌💌

Cup

"Hei, gimana kabar anak kita?" Itu suara Torra yang datang mendekat ke arah brankar tempat Inna berbaring, dan sempat mengejutkan istrinya.

Berbalik dari posisi tidur menyampingnya, Inna kini memilih untuk kembali terlentang, memandangi wajah suaminya. Dengan sedikit rasa gelisah yang ditutupi, Inna bertanya sembari melihat ke arah bungkusan di meja nakas, "Mas? Sama siapa malam-malam begini?"

Arah pandang Torra pun ikut menatap objek yang sama, lalu keluarkan sejumlah penjelasan panjang lebar dari bibirnya, "Itu Soto Ayam. Aku makan di dekat kampus Unika situ, terus nggak sengaja lihat tulisan Soto Ayam di daftar menunya. Lagian ini sudah subuh, In. Jadi aku nggak mungkin ajak Papa atau Vero ke sini. Em, maaf ya aku baru datang. Acara deklarasi pasangan calonnya baru kelar malam banget. Aku mau buruan ke sini, nggak enak sama anggota partai yang lainnya. Kamu udah tidur ya tadi? Dia nggak nakal-nakal kan, Sayang?"

Dari kata demi kata Torra yang masukkan ke indera pendengaran Inna, isi kepalanya menangkap sebuah kejanggalan di sana. Tak urung batinnya pun bertanya, "Sayang? Habis makan apa dia? Tumben aku dipanggil say--"

"Inn... Kamu sakit?" Namun Torra tanpa sengaja memotong pertanyaan Inna dalam hati, sebab pria itu sempat dibuat sedikit kebingungan oleh tingkah laku istrinya.

Perbuatan dosa yang Torra dan Laura lakukan, membuat pria itu beberapa kali menghembuskan napas kasarnya, "Egh! Enggak kok, Mas. Tadi Mas nanya apa?"

"Anak kita, In. Dia baik-baik aja kan?" Bahkan pergi meninggalkan Laura di pagi buta, pun bagian daripada kesalahan yang baru Torra sadari di kemudian waktu.

Sepanjang perjalanan pulang ke Kabupaten Kupang, yang ada dalam isi kepala pria berperawakan tinggi besar itu hanyalah Inna dan juga calon buah hatinya, "Oh, si Dedek. Dia baik, Mas. Em, aku minum vitaminnya rutin kok. Susu Vanilanya juga selalu habis. Kali ini nggak dia muntahin lagi kayak waktu trimester pertama kemarin."

"Baguslah. Mas lega dengarnya. Bertahan dulu untuk sementara di sini ya, In? Dokternya bilang harus sepuluh harian biar benar-benar sembuh, baru kamu pulang ke rumah. Aku juga sering ke tempat proyek sama urusan partai, jadi biar deh kamu di sini dulu ya?" Dan Inna pun tak jauh berbeda. Perhatian yang Torra berikan terasa aneh, juga menjadi seperti sebuah beban berat untuknya.

"Iya, Mas. Em, itu. Sebenarnya, bisa nggak kita tinggalnya di tempat lain aja, Mas? Maksudku ya biar mandiri aja." Namun Inna tak punya pilihan lain selain ikut dalam arus yang Torra ciptakan.

Telapak tangan Inna yang digenggam Torra, ternyata membawa efek buruk dan menghasilkan butiran peluh di kening datar Inna, "AC-nya nggak nyala ya, Sayang? Kok keringetan gitu? Aku malah kedinginan."

"Mungkin karena gerah belum mandi berapa hari ini, Mas. Cuma dibersihkan aja badanku sama susternya." Untung saja Inna dengan sigap menjawab ucapan Torra, menggunakan alasan yang masuk di akal.

"Oh, gitu. Ya ampun kasihan. Kalau gitu kita belum bisa tinggal sendiri dong, Sayang. Kan pulang ke rumah harus bedrest lagi sampai satu bulan lebih gitu. Kalau aku ke lokasi atau urusan partai di Kupang, masa kamu harus kutinggal sama pembantu. Kecuali pembantunya Mbok Darmi, sih, nggak apa-apa. Tapi Mama pasti nggak akan ngelepasin Mbok Darmi yang sudah lama ikut sama dia gitu 'kan? Jadi, nanti aja pindah rumahnya pas sudah sembuh benar ya, Sayang?"

"Iya, deh. Nanti aja pindah rumahnya kalau aku udah melahirkan. Biar si dedek pas besar nggak bikin Eyangnya senewen. Ya kan, Mas?" Sehingga obrolan yang baik dan berkesinambungan itu pun dapat terjadi di sana.

Torra merasakan hatinya mulai menghangat dengan cerita yang digadang-gadangkan oleh Inna, "Maafkan aku, In."

"Mas, ma..af untuk apa? Memang kamu punya salah ap-- Hemphhh..." Lalu Torra pun tak kuasa untuk menahannya lagi. Ia menumpahkan sedikit kegundahan dalam hati dengan cara bangkit berdiri dan mencium bibir ranum milik istrinya.

"Sialan! Kenapa pagi-pagi gini dia udah nongol, sih?!" Membuat ledakan amarah Aldi terjadi di sana. Kantong plastik berisi makanan yang dipesan Inna, kini menjadi sasaran Aldi juga, "Oh... Aku tahu, Inna Bastari! Apa yang kamu mau sebenarnya, Sayang? Heh, kamu sengaja memintaku datang dengan alasan lapar 'kan?! Padahal yang kamu mau adalah mempertontonkan ini biar aku menjauh!" Dan satu kesalahpahaman juga ikut bergelayut manja di isi kepala Aldi.

Nasi Padang di tangan Aldi, tak lama kemudian masuk ke dalam tempat sampah yang berada tak jauh dari pintu ruangan rawat inap tersebut. Dokter obygn itu melangkah cepat menuju  ke pelataran parkir, bersama dengan kekesalannya yang masih sama.

"Mas, aku masih sakit." Sedangkan Torra sendiri, sedikit membaik selepas berbagi bibir dengan istrinya.

Rona merah di wajah Inna, mencubit kembali rasa yang sempat menjauh dari Torra ketika Laura berada di dekatnya, "Mas nggak minta sekarang, Sayang. Mas cuma pengen cium kamu aja. Nggak boleh emangnya?"

"Em... Boleh, sih. Tapi kan nanti..."
    
"Nanti apa, Sayang? Kita udah menikah 'kan? Kenapa harus grogi, hem?"
    
"Ih, Mas Torra..."
    
"Apa, Sayang. Sini Mas peluk lagi." Dan sesungguhnya hal itulah yang menjadi senjata untuk Inna Bastari, versi seorang Torra Mahardika.

Laura yang begitu vokal saat melontarkan segala keinginan tanpa memedulikan, menjadi salah satu alasan terkikisnya sejumlah rasa dalam diri Torra, ketika jarak ikut mengambil bagian di antara keduanya. Seharusnya wanita berpendidikan tinggi sepertinya tahu akan hal itu, namun tak mudah untuk meruntuhkan egonya.

Hanya saja Torra tak pernah mengatakan pada siapa pun mengenai isi hatinya, membuat Laura dan Theresa tetap merasa di atas, saat keduanya di hadapakan dengan Inna Bastari.

Masih dengan rasa yang bertumpuk, Torra kini sudah memeluk tubuh kecil Inna sembari tak berhenti mengoceh, "Mas, nanti ada yang datang gimana?"
   
"Emangnya kenapa kalau ada yang masuk? Kita udah nikah kali." Torra mencoba untuk memperbaiki sikap, daripada harus mendapatkan hal buruk sekali lagi.

"Iya, tapi--"

"Ngomong sekali lagi, aku telanjangi kamu di sini, In. Diem aja jangan banyak gerak. Nanti aku jadi semakin sakit, Sayang. Bisa, kan?"

"Hem... Naik ke sini aja yuk, Mas? Kamu belum tidur dari tadi 'kan?"

"Badanku besar, Sayang. Memangnya cukup tempat tidurnya?"

"Kita tidur menyamping, Mas. Masa nggak muat, sih? Tempat tidur di kosan aku dulu kan kecil juga. Tapi Mas tidurnya malah sampai ngorok."

"Kamu nakal ya? Kenapa masih diingat aja? Sayang ya sama Mas?"

"Mas sendiri bagaimana? Suka bikin aku nangis, tapi panggil sayang-sayang."

"Masih marah?"

"Enggak. Aku cuma nanya. Jawab dong."

"Mau jawaban jujur apa bohong."

"Kalau bohong nanti hidung Mas makin panjang kayak Pinokio."

"Haha... Kamu tuh paling bisa aja dari dulu. Ya aku sayang beneran dong sama kamu, In. Kalau nggak sayang, ngapain dinikahin? Sampe sempat dibenci Mama, aku tetap aja nekat. Kalau nggak sayang, itu namanya apa?"

"Tanggung jawab, Mas. Bisa jadi kayak gitu juga 'kan?"

"Kalau hanya sekedar itu, aku nggak mungkin mengeras kayak gini, Sayang. Oh, shit! Sekarang ayo tidur yang baik. Jangan banyak bergerak, atau kita akan berakhir dengan banjir keringat seperti biasanya, Sayang."

"Mas--"

"Ssttt... Cukup. Aku sayang sama kamu, Inna. Aku butuh kamu yang bagiku udah seperti candu buatku. Ingat itu." Kehilangan adalah bagian yang sangat dibenci oleh Torra sepanjang tiga puluh dua tahun ia hidup di dunia. Tidak mudah membuka hati untuk seorang Torra Mahardika dan bagi Inna Bastari sendiri, ia mencoba bersikap setenang mungkin.

Tak mudah menahan air matanya untuk tidak tumpah atas kesalahannya beberapa jam lalu dengan Aldi, dan semoga waktu menolongnya kini.

***

Tolong, Ceraikan Aku! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang