BAGIAN TIGA PULUH TUJUH

27 3 0
                                    

TIDAK ada yang tahu saat ini perasaanku sangat kacau. Luka yang menjalar disetiap inci hatiku. Mencacati jiwa yang kutegakan sekuat baja. Semua kalimat paling brengsek itu masih terngiang jelas di telinga. Aku bertanya, apakah Fajar tahu letak kesalahannya? Atau dia pura-pura buta?

"Kalimat lo terlalu halus tapi nyakitin!" gumamku geram sampai tanganku mengepal kuat hingga tak sadar sampai memukul jok motorku. Ya, saat ini aku tengah menyendiri di parkiran. Hanya ditemani beberapa motor yang masih setia ditempatnya.

"Gue pikir lo berubah padahal nggak pernah!" kalimat kedua ini nyaris membuatku meneteskan air mata. Seolah-olah ada Fajar didepanku dan kami sedang bertengkar lagi.

"Apa katanya tadi? Menjadi orang asing adalah keputusan yang tepat? Hah! Dia pikir selama ini nggak pernah asing? Dia pikir selama berpacaran selalu baik-baik aja? Terlalu kalem isi pikirannya."

Aku duduk diatas jok motor dan menenggelamkan kepalaku ditumpukan lenganku di kepala motor.

"Seandainya kata menyesal itu nggak ada di mulut gue sekarang. Seandainya kata malu nggak ada disifat gue, mungkin sekarang harga diri gue jadi taruhannya!"

Suasana menjadi senyap sepi. Hanya semilir angin yang menerpa rambutku. Area parkiran memang lumayan dekat dengan sawah jadi tempat ini kerap dijadikan murid untuk mencari ketenangan. Salah satunya yaitu aku sendiri.

"Boleh gue disini?"

Aku segera mengangkat kepalaku. Kinan membuatku terkejut. Sial! Dia sudah terlanjur melihat wajah kesedihanku.

Mulutku hanya mengangga tak jelas. Sungguh, rasanya sangat kaku. Aku tidak tahu harus berkata apa padanya. Yang pasti, aku tidak mau Kinan tahu masalahku saat ini.

Tiba-tiba Kinan menjatuhkan kedua kakinya. Merunduk, menyembunyikan wajah yang kurasa dia sedang dilanda sesuatu yang begitu berat untuknya.

"Lo ngapain?!" aku menarik tangan Kinan untuk bangkit tapi dia menepis tanganku kasar. Kemudian terdengar tangisan lirih darinya.

"Kenapa lo nggak pernah jujur sama gue?!" teriaknya membuatku bingung. Jujur tentang apa? Dia ingin aku jujur tentang fakta yang mana?

"Zel, seharusnya lo nggak lupa sama janji kita dulu! Berjanji nggak ada rahasia diantara kita. Lo nggak lupa, 'kan?!"

Aku semakin bingung dengan sikapnya. Aura Kinan terlihat mencekam dan menakutkan. Untuk pertama kalinya aku melihat Kinan jadi semengerikan ini. Dia dingin dan kaku. Masih dengan posisi merunduk dan isak tangisnya yang semakin pilu.

"Jujur sama gue, apa benar Ibu gue selingkuhannya Ayah lo? Jujur, Zel!"

Mataku terbelalak. Tidak kusangka dia benar-benar mendengarkan obrolanku bersama Ibunya pagi tadi. Meskipun ini yang kumau tapi entah kenapa aku jadi terkejut mendengarnya.

Tapi aku harus bisa melewati ini semua. Kinan sudah terlalu lama hidup dalam kepalsuan Ibunya. Semua yang ia anggap kebahagiaan pada akhirnya itulah kelemahannya.

Dengan setegar mungkin, aku menjawab "Iya."

Jawabanku seperti racun untuknya. Dia tercengang dan langsung menatapku tajam. Perlahan dia bangkit, matanya sedikitpun tidak bergerak kemana-mana selain menatapku tepat di mataku. Aku berusaha tidak tegang berhadapan dengannya yang sedingin itu.

Tapi sedetik kemudian matanya melemah. Genangan air dipelupuk matanya merosot mengaliri pipinya.

"Gue bakal tanggung jawab. Gue rela kalau lo mau jauhin gue, Zel. Seperti apa yang gue lakukan sama lo dulu. Ninggalin lo tanpa alasan yang jelas."

Aku menggelengkan kepala dan mengikuti arah pandangan Kinan yang mulai tidak terarah. Tanganku sudah mencengkram bahunya kuat.

"Jangan merasa bersalah atas kesalahan yang nggak lo lakukan. Semakin lo terlarut semakin lo kalut. Gue nggak mau lo terlarut sama masalah orang tua kita, Nan."

Tapi Kinan menolak argumenku. Dia menepis cengkramanku kasar dan membalikan tubuhnya membelakangiku. Dia masih menangis tanpa bisa aku melihatnya.

"Sebagai anak gue kecewa. Sebagai teman gue malu. Gue malu sama lo, Zel!"

Aku berjalan mendekatinya dan kembali menghadapkan wajahnya untuk menatapku. Wajahnya benar-benar dibanjiri air mata. Entah kenapa aku tidak tega. Aku tahu seharusnya aku marah padanya yang nyatanya aku sendiri pun tidak mampu untuk melakukannya. Kinan terlalu berharga dalam hidupku.

"Itu masalah orang tua kita dan kita sebagai anak nggak usah ikut campur." ujarku lembut tanpa adanya tekanan didalamnya,  "Lebih baik kita fokus sama kehidupan kita sendiri. Supaya hati kita nggak sedih. Gue pikir manusia akan selalu bahagia kalau mereka inget sama diri sendiri. Belum tentu juga, 'kan orang lain selalu membuat kita tersenyum?"

Kinan menggenggam erat tanganku dan menatapnya nanar, "GUE MARAH TAPI KENAPA LO NGGAK MARAH? KENAPA LO MENYEPELEKAN MASALAH INI?"

Kurasa Kinan salah besar mengenai diriku. Aku tak pernah menyelepekan masalah besar ini. Setiap kali aku mengingat, semakin terluka hatiku. Mungkin aku bisa menerima adu mulut diantara orang tuaku. Tapi untuk berkhianat? Rasanya tidak ada kata maaf untuk itu.

Akhirnya hanya senyumanlah yang bisa kuberikan untuknya. Kuharap Kinan mengerti apa arti senyuman ini. Senyuman penuh luka dari seorang anak yang sedang menjaga air matanya agar tidak keluar dari persembunyiannya.

"Apapun itu masalahnya nggak akan membuat kita berpisah lagi. Gue terima semuanya, Nan, gue terima dengan lapang dada. Jadi, lo nggak boleh marah ataupun sedih lagi. Oke?"

Bibir Kinan bergetar hebat. Tanpa bisa dia tahan, pelukan kami tercipta diikuti isakan tangisnya yang semakin mendera.

"Maafin gue, Zel." bisiknya lirih. Nada bicaranya sangat kalut, sedih, kecewa, marah yang menjadi satu. Aku tahu sekali bagaimana rasanya saat rasa itu semua berpadu dan sangat gaduh di hati.

Aku mengangguk mantap. Mataku terpejam cukup lama. Dadaku bergejolak hebat. Sekuat tenaga aku menyimpan air mataku. Ini semua demi keutuhan jiwa ragaku yang semakin hari semakin hilang bagiannya.

Selepas berpelukan aku mengajak Kinan untuk pulang bersama. Dia menerima dan kami pun sudah pergi dengan motor yang melaju di tengah padatnya jalan raya saat siang hari ini.

***

Sepulang dari rumah Kinan membuatku diam dalam ribuan kata yang membusuk di hati. Ingin kukatakan yang sebenarnya pada Kinan tentang apa yang kurasa tapi hanya dengan melihat air matanya membuatku tidak tega.

Sudahlah, lupakan saja. Lagipula sudah terlewat. Tidak baik memikirkan masalah sampai berlarut-larut. Takutnya aku akan depresi lagi.

Dan langkahku terhenti ketika mataku menangkap pemandangan tidak enak. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Disana, Fajar tengah berdiri kaku didepan Ayahku.

Mau apalagi dia kesini?!

Aku berlari mendekatinya dan berhasil menggapai tangannya. Fajar terkejut melihat kedatanganku.

"Mau apa?" tanyaku geram padanya yang masih saja memberanikan diri datang ke rumahku.

Sebelum Fajar mengatakan alasannya, Ayah lebih dulu menjawabnya, "Kamu nggak usah khawatir," kata Ayah sambil menatapku kemudian menatap Fajar, "Mari masuk dulu."

Sebelah alisku naik. Kenapa Ayah begitu kalem saat tahu ada Fajar didepannya? Apakah Ayah sudah menerima Fajar?

-<<<FAJAR>>>-

FAJAR [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang