BAGIAN TIGA PULUH DELAPAN

31 3 0
                                    

SUASANA ruang tamu menjadi begitu mencekam. Ingatanku masih tajam mengenai pertemuan antara kami bertiga disini. Ada yang berbeda, Ayah mengajak Fajar duduk bersamanya di sofa panjang. Aku heran dengan sikap Ayah yang menurutku adalah suatu kemustahilan.

"Kamu masih ingat sama kata-kata saya, 'kan?" tanyanya seraya menatap Fajar. Yang ditatap tidak berani membalas tatapan Ayah. Padahal tatapan Ayah kali ini tidak setajam biasanya.

"Ayah!" aku menyentaknya. Geram rasanya pada pria tua itu. Apa Ayah masih belum puas menyiksaku?

Ayah mengalihkan perhatiannya padaku, "Kamu bakal tahu sesuatu, Zel. Ayah mohon kamu diam sebentar."

Alisku semakin bertaut. Jantungku pun berdetak kencang. Was-was kalau sebentar lagi Ayah akan melayangkan pukulannya ke wajah Fajar seperti 6 bulan lalu.

Sedetik kemudian Fajar angkat bicara, "Saya masih ingat betul, Om. Saat itu anda mengancam saya untuk menjauhi Lala. Kalau nggak nurut, Lala bakal Om bawa ke Jogja dan saya nggak mau itu terjadi."

Aku tercengang mendengarnya. Jadi tanpa sepengetahuanku, selama ini Fajar takut akan ancaman Ayah? Apa ancaman itu berhubungan dengan sikap Fajar padaku? Otakku berputar keras memahaminya.

"Ingatanmu masih tajam rupanya. Saya heran sama kamu, Fajar. Jelas-jelas saya mengancam kamu tapi kamu masih berani berhubungan sama anak saya. Saya cukup bangga sama kamu."

Fajar tersenyum kecil dan melirikku sebentar, "Mau bagaimana lagi, Om. Namanya juga cinta apapun akan saya perjuangkan. Meskipun yang diperjuangin malah sering ngomelin saya." Fajar tertawa mencemooh. Sederet gigi putihnya pun nampak saat ia tertawa bersama Ayahku. Hah? Ayah juga ikut tertawa?

Kalau aku bisa, aku ingin memukul wajah cowok itu. Mengomeli dia setiap hari itu sebagai bentuk rasa kecewaku yang terlalu besar. Fajar berkata soal perjuangan, aku jadi heran, maksud perjuangan yang seperti apa?

"Lalu seperti apa perjuanganmu?" tanya Ayah mulai memasang wajah serius. Tanpa aku tanya pun Ayah sudah mewakilinya.

"Setelah pulang dari rumah ini malam itu, saya berpikir bagaimana caranya agar Om nggak tahu kalau selama 5 bulan terakhir saya masih berhubungan sama Lala. Mungkin Om lebih cerdik dari pada saya, Om akan tahu kalau Lala masih pacaran sama saya. Saat itu juga saya memutuskan untuk menjadi cowok yang dibenci dan menyiksa hatinya dia, Om."

"Kenapa begitu?" Ayah kembali bertanya dan aku fokus mendengarkan. Tidak boleh ada yang terlewatkan. Aku harus mendapat semua jawaban atas sikap Fajar padaku.

"Karena saya tahu cinta akan membuat hati manusia menjadi buta. Semakin saya membuat Lala jatuh cinta sama saya, dia bakal semakin memperjuangkan saya dan Om pasti akan menjauhkan Lala dari saya. Maka dari itu saya rela dibenci sama dia, rela dicaci maki setiap hari. Agar Lala selalu ada didalam mata saya. Selalu ada saat saya berjalan kemana pun. Meskipun kami nggak pernah bisa berduaan. Setiap bertemu, saya usahakan untuk bertengkar kemudian saat berjauhan, saya akan meminta maaf. Seperti itulah isi hubungan kami selama ini, Om."

Dadaku bergemuruh. Rasanya ingin menangis sejadi-jadinya. Penjelasan Fajar cukup membuat hatiku tergores. Perjuangan macam apa itu? Merelakan dirinya direndahkan hanya untuk mempertahankan aku agar tidak jauh darinya.

Aku tahu ancaman Ayah juga baik untukku karena aku anak perempuannya. Anak perempuan harus dijaga seketat mungkin. Ayah tidak mau aku rusak sebelum menikah. Ayah takut aku dipengaruhi oleh cowok yang dunianya buruk.

Disini aku tidak tahu harus menyalahkan siapa. Semuanya benar. Semuanya memiliki alasan tersendiri untuk melindungiku.

Selama ini aku memang buta mata mengenai seorang laki-laki. Kupikir semua laki-laki itu buruk. Nyatanya tidak. Ayah dan Fajar memiliki kesamaan, menyakiti hati pasangannya tapi dibelakangnya ada alasan yang tersembunyi begitu rapi. Dan mungkin saja Ayah memiliki alasan mengenai perselingkuhannya itu.

Ayah mengangguk pelan setelah mendapatkan semua jawaban Fajar. Dia menepuk bahu Fajar bersahabat, "Saya hanya ingin menguji kamu, Fajar. Saya ingin tahu apakah laki-laki yang seperti kamu ini bisa menjaga anak saya dengan baik. Mungkin kalau bukan kamu, orang lain akan menghamili anak saya demi cintanya. Kamu nggak, kamu memiliki cara tersendiri."

Fajar tersenyum, "Saya tahu batas saya sampai mana, Om. Kalau memang nggak bisa diraih, saya lepaskan, mungkin belum bisa saya miliki. Dan dari batas saya mencintainya selama tiga tahun ini ada hasilnya. Saya mendapatkannya meski nggak seutuhnya."

"Apa? Lo bilang apa? Tiga tahun?" tanyaku tanpa sadar dengan suara terkejut.

Fajar menatapku lembut, "Iya. Lo nggak inget sama foto lo di galeri gue yang sebanyak itu? Gue kumpulin selama tiga tahun. Kalau ada waktu luang aja, sih, gue potret lo dikejauhan. Maaf ya."

Dan semburat merah dipipiku timbul. Aku membuang wajah. Menyimpan senyuman yang memaksa ingin diekspresikan. Awalnya aku memang terkejut tapi kalau tahu akhirnya seperti ini, "Brengsek lo! Ah!!"

Aku bangkit berdiri dan menyambar tas yang kuletakan dimeja. Kemudian berjalan cepat menuju kamar. Tidak ada yang menghalangi langkahku sampai aku menibakan diri didalam kamar. Menutup pintu dan menghamburkan diri ke kasur.

"Aaah!! Brengsek lo, Fajaaarr!! Gue benci sama lo sialannn!!!"

Sial! Wajahku sudah semerah tomat. Aku berguling-guling hingga tanpa bisa kuhindari, aku jatuh ke lantai. Dinginnya lantai membuatku merinding. Disana aku meringkuk sembari memejamkan mata. Berpikir keras apa yang harus aku lakukan setelah semua ini?

"Rasanya gue pengin mati sekarang. Malu banget! Ternyata Fajar selama ini jadi secret admirernya gue astagaaa!!"

"Siapapun tolong gue!!" teriakku sambil menggigit jempol kuat. Tidak peduli rasa sakitnya yang terpenting aku bisa melampiaskan keanehan yang mendera di hatiku.

Aneh! Aku salah tingkah!

"La, lo ngapain didalam? Keluar dong, gue mau pulang, nih."

Astaga! Mau apa dia kemari?! Wajahku semakin merah. Bahkan untuk sekedar berdiri, seluruh anggota tubuhku gemeteran.

"Pulang aja sana ngapain nyuruh gue keluar!" teriakku sambil menutup telinga. Tidak kuasa untuk mendengar suara iblisnya itu.

"Gue mau pamitan,"

"Iya, sana pulang ih!"

"Yakin lo?"

"Iya!!"

"Beneran?"

"Lo budeg ya?!"

"Okelah gue pulang sekarang ya?"

"Terserah lo.... kampret." aku memelankan suaraku saat dikata terakhir. Sungguh, siapapun tolong musnahkan aku sekarang!

"Zella nggak mau keluar ya? Yaudah nanti saya omelin. Kamu hati-hati di jalan ya." itu suara Ayah. Kurasa mereka sedang berdiri didepan kamarku.

"Siap, Om. Saya pulang dulu."

"Pulang aja sana ke laut sampai tenggelam dan nggak bisa berenang, mampus!" aku terbahak-bahak membayangkan itu terjadi pada Fajar. Sebenarnya aku sendiri pun tidak tahu cowok itu bisa berenang atau tidak. Tapi tidak masalah, yang terpenting dia sudah pergi dari rumahku.

Kulihat kepergiannya lewat jendela kamar. Rasanya aneh saat melihat dia pergi. Ada kebahagiaan yang terpancar dalam diri Fajar. Aku tahu itu karena baru saja Fajar tersenyum manis ke arah jendela kamarku.

-<<<FAJAR>>>-

Hahahaha haehae aku apdet cepet kan? Iyelah karna mau end hwahahwahaha. Mungkin beberapa eps kedepan agak lebih serius ceritanya.

Udh kebongkar tuh kenapa si pajar cuek bgt sm si jeli. Iyahahahahah maapkan aku ya manggil nama mereka salah. Gatau knp aku gemes aja sm karakter mereka.

Lagian karakter mereka aku yg ciptain, gmn sih?🤔

Ok para pembaca cerita paling gaje ini. Selamat membaca dan jangan lupa bahagia, iya senyum sendiri kek org gila haha. Apaansi?!!!

Salam, Sankhaa

FAJAR [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang