Tidak terasa tahun ini sudah menjadi tahun terakhir aku menjadi pelajar. Hari ini sampai satu tahun ke depan, aku menjadi kelas 12 dan akan segera lulus. Baba sudah meminta aku mencari kampus yang bagus untukku tetapi, aku sendiri belum menentukan akan kuliah di kampus mana. Mungkin nanti aku harus mencari referensi kampus bagus di Jakarta dulu. Adlan juga sudah meminta aku kuliah di kampusnya saja, dengan cepat aku menolaknya dengan alasan karena Kak Mecca juga kuliah di kampus yang sama dengannya. Aku harus menghindari keduanya. Mungkin nanti aku harus bertanya Bang Farqa dulu untuk referensi kampus. Bang Farqa wawasannya cukup luas.
Hari ini di sekolah ada acara penerimaan siswa baru. Lagi-lagi aku harus ikut andil dalam acara menjadikan aku harus berangkat lebih pagi dari biasanya. Untung saja Baba juga berangkat pagi sama denganku. Lebih tepatnya Bia dan Baba yang harus berangkat pagi karena pagi ini Baba dan Bia akan ke Bandung mengunjungi Oma Bandung.
"Kak, lo pulang jam berapa?" Tanya Bimaa yang sudah duduk di sampingku.
"Nggak tau."
"Jangan lama-lama ya, gue nggak ada temennya."
"Iya."
"Langsung pulang!"
"Iya Bimaa, bawel banget sih."
"Dih! Gue kan cuma bilangin."
"Kan udah gue jawab, iya! Yaudah berarti iya!"
Bimaa langsung diam. Ia mengalihkan pandangannya pada jendela, tak lagi kearahku.
"Jangan berantem dong, Nak. masih pagi loh ini." Suara Bia dari kursi depan.
Aku maupun Bimaa tak menjawab ucapan Bia.
"Kamu mau ikut Bia sama Baba aja nggak, Bim?" Tanya Baba dengan mata melirik aku dan Bimaa.
"Ba, jangan ajarin anaknya bolos terus dong. Nanti kebiasaan dianya." Kesalku.
"Daripada dia sendirian di rumah, Kak." Sahut Baba.
"Bia, bilangin Baba dong jangan ajarin anaknya bolos terus. Nanti Bimaa jadi anak males." Keluhku pada Bia.
Bia dan Baba tersenyum, bahkan Baba terdengar sedikit tertawa.
"Baba bercanda, Nak." Ucap Baba di sela tawanya.
"Kalo Baba dulu pernah bolos nggak?" Tanya Bimaa ikutan kepo.
"Pernah, malah sering ya, Bia." Jawab Baba dengan meminta persetujuan Bia.
"Nggak pernah, jangan bohong." Sahut Bia tak sejalan dengan Baba.
"Ngerjain anak sedikit aja sih, Ra." Ucap Baba di sela tawanya.
Bia hanya misuh-misuh mendengar jawaban Baba. Jujur saja, aku selalu suka melihat interaksi antara Bia dan Baba. Tidak berlebihan, namun sederhana dan itu terlihat sangat bahagia.
Aku selalu berdoa agar kelak aku memiliki laki-laki seperti Baba. Sungguh, aku ingin yang selalu menjaga dan mencintaiku sepenuh hatinya. Aku tidak melihat, Baba menyakiti Bia, akupun ingin memiliki laki-laki yang tak pernah menyakitiku. Kalau ada dua seperti Baba, aku minta satu!
"Pulangnya yang cepet, Kak!" Teriak Bimaa ketika aku keluar dari mobil Baba.
"Berisik!" Pekikku lalu pamit pada Bia dan Baba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tinggal Kenangan
Teen FictionIni kisahku di 10tahun lalu, semasa aku masih menjadi remaja labil. Tentang cinta pertama yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Sebelum mengenalmu--- Aku pernah patah hati, tetapi tidak pernah sesakit karenamu. Aku pernah bahagia, tetapi aku ing...