Langkah kaki wanita cantik itu terlihat sangat ringan. Senyumnya belum luntur juga saat matahari sedang berada tepat di atas kepala. Sesekali menyapa beberapa orang yang berada di sekitarnya.
Tujuannya kali ini adalah taman yang berada di belakang rumah sakit. Dekat dengan poli anak dan poli kandungan. Tanah yang tidak terlalu besar, namun terlihat menyenangkan. Sedikit mengurangi hawa menakutkan untuk sebuah rumah sakit.
"Kevin!"
Pemuda itu memutar badannya saat seorang wanita cantik dengan jas warna putih yang masih melekat di badannya.
"Tante cantik!"
Anak laki-laki yang diketahui namanya adalah Kevin, berlari menuju salah satu dokter yang bekerja di rumah sakit itu. Dokter yang membantunya untuk menyelamatkan ayahnya. Dokter pertama yang tidak ia takuti. Dan stranger pertama yang tidak ia takuti.
"Jangan lari Kevin"
Ucap salah satu pemuda tampan dengan tiang infus disampingnya. Pemuda itu memperingatkan anak laki-laki yan bersamanya tadi agar tidak berlari.
Saat berada di depan sang dokter, anak kecil itu dengan spontan memeluk kaki yang terbalut celana kain itu.
"Hai Kevin!"
"Haloo tante"
Masih dalam suasana yang bahagia, Kevin menarik Ara menuju ke salah satu kursi yang ada di sana. Bukan kursi kosong, melainkan kursi yang di satu sisinya sudah ada salah satu pasien yang sudah duduk di sana.
Keduanya duduk di samping seorang laki-laki berpakaian pasien. Kevin berada di tengah dan Ara berada di sebelah kiri. Dibelakangnya ada beberapa pasien keluarganya membicarakan mereka bertiga. Seperti sebuah keluarga, namun sang kepala sedang sakit.
"Kevin hari ini kenapa nggak sekolah?"
"Mau jagain ayah aja"
"Kamu emang pengen bolos ya, tapi alesan aja pengen jagain ayah" jawab Tara sembari merusak tatanan rambut Kevin. Kevin hanya tertawa menanggapi ucapan ayahnya.
"Tante laporin guru kamu aja ya? Biar dimarahin?"
"Iya, laporin aja dokter. Kevin cuma pengen bolos" ucap ayah Kevin memprovokasi Ara.
"Jangaan dooonggg"
Keduanya tertawa melihat ekspresi Kevin yang memelas. Ekspresi itu hanya bertahan sebentar, lalu berganti ke ekspresi menginginkan sesuatu. Kevin menolehkan kepalanya ke arah kanan, kehadapan ayahnya, "yah, boleh beli itu nggak?" Ucapnya sambil menunjuk ke arah anak perempuan sebayanya yang sedang menyantap semangkuk bakso panas.
Tara mengangguk, lalu memberikan selembar uang. Kevin lalu berlari ke arah kantin untuk membeli satu mangkuk bakso yang sudah membuatnya kelaparan.
Hanya tersisa Ara dan Tara yang duduk di kursi itu. Hening. Tidak ada uang bersuara lagi semenjak Kevin meninggalkan mereka berdua.
"Dokter Ara, terimakasih untuk malam itu ya"
"Sama sama Pak. Udah tugas saya bantuin kalau ada orang yang kesusahan"
" Saya tetep merasa berhutang budi sama dokter"
"Jangan nggerasa kayak gitu pak. Seriusan saya nolongnya ikhlas kok"
"Iya iya. Terimakasih. Dokter nggak makan siang? Ini jam makan siang loh"
Ara merogoh saku jasnya, menemukan telepon genggamannya di sana. Kemudian berpamitan kepada Tara, sekaligus meruntuhkan harapan laki-laki yang ada didepannya.
"Saya duluan ya pak. Pacar saya sudah menunggu"
***
"Kenapa mundur-mundur sih Ta? Kamu nggak kangen aku?"
Eca masih berjalan mundur, saat laki-laki itu berjalan perlahan kearahnya. Dia datang lagi. Laki-laki itu kembali lagi.
Orang yang sangat ia hindari selama beberapa tahun ini. Orang yang dulunya memperkenalkan indahnya dunia putih abu-abu, sekaligus orang yang memperkenalkan warna kelam yang jarang diketahui banyak orang.
"K-kamu.. ke-kenapa bisa di sini?"
"Kan aku udah bilang, kalo aku akan ngejar kamu. Dimanapun kamu"
Entah keberanian dari mana, rasa takutnya tadi hilang. Berganti dengan keyakinan di dalam dirinya, ia tidak boleh lemah. Lagi
"Dan, we already break up. Just search your happiness Dan. I'm not your happiness anymore"
"I'd told you, you are my happiness Okta. 3 years ago until now!"
Pergerakan Daniel terhenti saat mendengar rombongan mahasiswa berjalan melewati ruang kelas yang mereka tempati. Eca juga mendengar, kemudian ia berlari menuju pintu keluar. Ia harus pergi dari ruangan itu.
Namun, sebuah tangan mencekal lengannya dengan erat. Dengan reflek bagus, Eca menginjak kaki dan menendang tulang kering Daniel. Eca langsung berlari keluar meninggalkan Daniel yang sedang kesakitan di dalam.
Telapak tangan, dahi, dan lehernya dipenuhi peluh. Masih dengan langkah kaki yang bergemuruh di lantai 3, sekelebat bayangan masa lalu terulang kembali. Bayangan yang menurutnya sangat menakutkan.
Takut
Satu kata yang dapat menggambarkan perasaan serta ekspresi wajahnya saat ini. Langkah kakinya melemah, hingga ia tidak bisa menahan keseimbangan dirinya. Membuat Eca secara tidak sengaja menabrak seseorang yang sedang berjalan dari arah yang berlawanan.
Tubuhnya semakin bergetar hebat saat orang yang ditabraknya menyentuh lengannya.
"Cil?"
---
Part ini terpendek~
Sudah lamaa tak berjumpaa
Coba tebak, kenapa Eca bisa sampe kayak gitu kenapaa?
Aku masih stuck dan gak punya ide buat ngelanjutin ini. Jadi, mohon maaf ya.
Aku merasa ini kalau alurnya jadi kayak sinetron wkwkwk. Jadii, udah nulis, terus dihapus lagii. Kayak gitu terus. Maaf yaa...
Setelah ini, aku gatau mau nulis cerita siapa dulu~
Terimakasih sudah membaca !!
Jaga kesehatan 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Arunika
Fanfiction[ON HOLD]Arunika memiliki arti cahaya matahari di pagi hari. Bermaksud supaya Arunika memberikan kehangatan bagi siapa saja yang tinggal di dalamnya. Menjadi tempat yang dituju saat melepas lelah, tempat untuk singgah, tempat berlindung dari panas d...