16. Jalan Bareng

57 6 0
                                    

Jova mondar-mandir di kamarnya sejak tadi. Jika dia adalah setrika dan lantai kamarnya adalah kain, maka dapat dipastikan lantai kamarnya itu sudah licin sekarang. Cewek itu menggigit-gigit ujung kukunya. Dia tidak bisa untuk tidak risau, Jova panik sendiri.

Entah untuk yang keberapa kalinya Jova mengintip di jendela, dia sedikit menyibak tirai agar dapat melihat ke luar rumahnya. Jova membuang napas berat. Akhirnya dia memilih duduk di kasur saat tidak mendapati tanda adanya orang datang di depan rumahnya. Akan tetapi, cewek itu tetap tidak bisa tenang. Rasanya ada yang menggedor-gedor dadanya sedari tadi. Perasaannya saat ini tidak nyaman dan sulit dijelaskan.

Jova berdiri ke depan cermin, dia membuka ikat rambutnya, kemudian mengambil sisir di meja dan memperbaiki rambutnya yang berantakan. Setelah itu Jova memandang penampilannya, dia hanya pakai baju tidur.

Bagaimana kalau Foza benar-benar datang?

Jova jadi panik mendengar suara yang lewat di kepalanya. Suara yang dia buat sendiri.

Foza adalah cowok yang nekat. Jova tahu itu. Entah mengapa, perasaannya mengatakan Foza benar-benar akan menjemputnya. Segera.
Jova meletakkan sisir di meja. Dia berjalan menuju lemari, mencari pakaian yang cocok. Akhirnya dress selutut berwarna biru muda menjadi pilihan.

TOK TOK

"Jov." Panggilan dari balik pintu membuat Jova tersentak. Dia kebingungan harus bagaimana.

"I-iya, Ma?" sahut Jova tanpa membuka pintu. pasalnya sang mama pasti bertanya hendak ke mana dia dengan pakaian itu.

"Ada yang cariin di depan. Cowok. Cepetan samperin." Suara itu terdengar, disusul dengan langkah kaki menjauh.

Jantung Jova kembali berdetak lebih cepat. Dia berjalan menuju jendela untuk mengintip. Mobil hitam terparkir di sana. Jova tidak pernah melihat Foza membawa mobil, jadi apa ini benar dia?

Jova terus saja membuang napas dan mondar-mandir tidak jelas di kamar.
"Keluar, nggak, keluar, nggak ...," gumam Jova tidak henti-hentinya.

"Jovaaa!" Teriakan dari luar kembali terdengar. "Cepetan ini udah ditungguin," kata mama Jova sedikit membentak.

Jova memberanikan diri untuk balas berteriak, "Namanya siapa, Ma?"

Hening sejenak sampai ada jawaban kembali. "Foza!"

Jova membuang napas perlahan. Sebelum keluar, dia sempat berkaca sebentar. Dengan langkah tidak percaya diri dan jantung yang berdegub tidak karuan, Jova menghampiri Foza yang sedang duduk di ruang tamu.

Cowok itu memakai jaket hitam dengan ritsleting terbuka, menampakkan baju kaus abu-abunya. Ditambah jeans yang senada dengan jaket cowok itu yang membuat kaki jenjangnya semakin jelas.

"Woi."

Jova tersentak. Dia kembali tertarik ke dunia nyata karena suara berat tanpa kelembutan itu.

"Udah terpananya?" tanya Foza percaya diri.

Jova berdecak. "Apa, sih?!" Cewek itu mengalihkan tatapannya dari Foza.

Foza melangkah mendekat. Mata tajamnya menatap Jova lekat membuat cewek itu salah tingkah. Sedangkan Jova tidak berani menatap Foza balik, apalagi wajah cowok itu semakin menghapus jarak.

"Lo pake lipstik?" Foza menekan kedua pipi Jova dengan tangan kiri. Kedua pipi bulat itu dia tekan dengan ibu jari dan keempat jari lainnya, membuat bibir Jova manyun.

"Emmm!" gumam Jova tidak bisa bicara. Dia memukul tangan Foza berkali-kali sebagai bentuk protes.

Foza melepas tangannya dari pipi Jova. Cowok itu tersenyum, senyum yang tidak biasa. Kali ini lebih tulus, bukan mengejek. Setidaknya, itu yang Jova tangkap.

C H E M I S T R Y ✔️ (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang