Oneshoot : Sleepwalking

34 5 1
                                    

Luka baru lagi.

Akhir-akhir ini, selepas bangun tidur, aku sering memikirkan dari mana datangnya luka di tubuhku ini. Bukan luka serius. Ini hanyalah semacam bekas kemerahan seperti tergores suatu benda yang tidak tajam. Sesekali, di tubuhku ada juga luka yang membuat jaringan kulitku rusak dan mengeluarkan darah. Tapi itu sangat jarang terjadi. Maksudku, lebih jarang dari luka kemerahan ini. Aku jadi berpikir ada makhluk halus yang menyakitiku setiap aku tidur. Mungkin aku harus meletakkan kamera pengawas di kamarku. Tapi, apakah hantu bisa tertangkap kamera?

Sibuk melingkarkan kain perban di antara jari telunjuk dan ibu jariku, ponsel pintar yang terletak di samping bantal tidur berdering. Dengan cepat aku memasang plester pada ujung kain perban agar tidak terlepas, lalu menjawab panggilan dari orang bernama Edbert.

"Ya, Ed?" ujarku setelah memosisikan ponsel di dekat telinga kiri.

"Hey, cepatlah kemari. Terjadi pembunuhan lagi semalam," sahut Edbert dari seberang sana.

Dalam hati aku mendesah pelan. Aku benar-benar menjadi orang sibuk dua minggu belakangan. "Kemari ke mana maksudmu?"

"Ah, anak ini. Aku sudah mengirimkan lokasiku lewat pesan. Kau belum membacanya?" Ed sepertinya kesal padaku.

"Aku baru saja bangun, kau tahu? Aku bahkan belum mencuci muka saat ini."

"Tidak ada yang peduli. Berhentilah membuat alasan dan cepat kemari!"

Panggilan diakhiri saat itu juga. Dasar. Dia pasti sedang semangat-semangatnya menjalankan tugas, mengingat kami adalah anggota baru di kepolisian.

Mengambil mantel yang tergeletak di kepala kursi, aku lantas keluar rumah dan mengunci pintu dari luar. Saat hendak berbalik aku melihatnya. Pak Tua Austin yang kini nampak aneh. Dia menatapku dari balik pagar rumahnya dengan tatapan mengerikan. Cepat-cepat aku mengabaikannya. Pak Tua Austin sudah tidak seramah dulu sejak beberapa minggu terakhir.

Dengan mobil dinas, aku pun melaju mengikuti arahan dari maps yang terpampang di layar ponsel. TKP itu tidak terlalu jauh dari rumahku, ternyata.

Sampai di lokasi, aku langsung menerobos police line setelah menunjukkan kartu pengenalku kepada polisi yang berjaga di sana. Wilayah ini memang merupakan suatu pemukiman yang tidak ramai. Itu sebabnya di luar garis polisi hanya ada segelintir orang yang menonton.

"Ed, bagaimana?" tanyaku setelah berjongkok tepat di samping Edbert.

"Kau lihat ini." Ed mengarahkan jari telunjuknya pada leher wanita berusia pertengahan dua puluhan yang sudah berbaring tanpa nyawa itu. "Lehernya memerah, seperti bekas jeratan tambang yang kasar.

Aku mengamati tubuh wanita malang itu dengan saksama. Benar kata Edbert. Lehernya memerah seperti bekas jeratan. Ujung jari-jarinya juga memerah. Mungkin itu karena perlawanan diri ketika pelaku menjerat lehernya dengan kencang.

Beberapa saat, mobil ambulans yang membawa beberapa dokter forensik datang. Jasad itu dipindahkan ke atas dragbar lalu dibawa ke dalam mobil.  Tim forensik membawanya ke rumah sakit polisi untuk keperluan otopsi.

"Nah, Brother Eric sudah mengirimkan daftar nama. Kita selidiki orang-orang ini terlebih dahulu sambil menunggu hasil otopsi keluar," ujar Ed yang tengah menatap layar ponselnya. "Kau bawa mobil, kan? Bagus. Aku tidak membawanya karena menumpang seorang polisi saat kemari. Kau tahu yang berjaga di depan police line itu? Dia tinggal di dekat rumahku. Aku menumpang mobilnya tadi."

Aku memutar bola mata. Yang berjaga di depan garis polisi ada sekitar enam orang. Dia tidak mengatakan dengan jelas yang mana tetangganya. Tapi itu juga tidak begitu penting bagiku.

OneViewTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang