Bego banget lu, Rif. Sumpah, lu tolol minta ampun. Ngapain coba ngomong gitu ke Mbak Nadia? Berasa nyali lo ada 12, hah?
Batin Arif merutuk selama acara membersihkan diri di kamar mandi. Menggosok gigi hampir tiga menit, mencuci muka dua kali dilakoni agar tetap sadar bahwa seorang wanita muda yang duduk di ruang tamu rumah sana baru ia kenal.
Gua tahu lu jomblo akut, tapi jangan kelihatan banget bisa, kan, Rif?
Tok! Tok!
"Rif! Kamu lagi semedi? Itu pacar kamu emang mau diantepin semaleman?"
"BUKAN PACAR ARIF, BUU!"
"Ya siapa kek.. calon temen hidup kamu juga bisa, kan? Jangan mandi lama-lama!"
Ibu memang shock ketika diberitahu Arif tentang identitas Mbak Nadia. Namun ibu mampu menguasai diri, percaya kalau saudara kandung tidak melulu memiliki sifat yang sama.
Lihat saja Arifin dan Angkasa. Kakak adik tapi berbeda minat belajar. Jika matematika bagi Arif hanya sekecil biji kacang hijau, maka ada Asa yang alergi dan lebih jago untuk urusan IPS dan PPKN. Setidaknya, itu dapat ibu tangkap sebelum mereka berdua terpisah jarak, ruang, dan waktu.
"Rif, masih hidup?" Tanya ibu penasaran di balik pintu.
"Masih, Bu. Lagi ganti baju."
"Buruan ih, kasihan Nadia nungguin."
"Iya, Bu. Duluan aja."
"Rif,"
Bingung Arif kenapa dipanggil kedua kali. "Kenapa, Bu?"
"Nggak apa-apa, kalau mau mainin sabun beli sendiri, ya. Jangan pake punya Ibu."
Baguslah Mbak Nadia tidak mendengar saking asyik melihat-lihat interior ruang makan plus dapur keluarga. Tidak mengerti ada ibu yang melenggang kangkung ke tempat magic com demi mengambilkan tiga piring nasi, menyisakan teriak frustasi Arif tanpa suara.
Nasib menjadi anak ibu yang sudah dewasa, bersabarlah.
Menjelang pukul sembilan, ibu, Arif, dan Mbak Nadia telah menikmati hidangan masing-masing. Ibu lebih sering mengajak Mbak Nadia bercakap soal keseharian bekerja, sedikit membicarakan tingkah Dohen yang hampir mencelakakan anak-anak, dan perihal sederhana lain.
Seutas senyum Arif tampak lega berkembang, mengetahui ibu akrab sekali memperlakukan Mbak Nadia.
"Ibu tahu Arif sama anak-anak diminta kamu untuk jagain sahabatnya Irene di teater, tapi Ibu bingung.. emang mereka bisa jadi pemain drama? Masalahnya, Arif tuh paling nggak bisa bohongin Ibu, Nad. Gimana dia mau jadi aktor?"
Mbak Nadia meletakkan sendok ke atas piring kosong, tersenyum penuh makna pada ibu.
"Justru karena Ibu nggak merasa Arif bisa, Ibu meragukan kemampuan Arif. Ibu tenang aja, temen saya itu pinter buat urusan mentoring anak-anak yang tadinya pemalu, jadi malu-maluin di atas panggung. Yang nggak bisa ngomong keras, ternyata eksekusinya malah nggak butuh mic. So, Ibu nggak usah khawatir, Arif sama anak-anak aman dan nyaman di tangan Dian nanti."
"Oohh.. gitu.. maklum, Nad, pan Ibu kagak ngerti apa tuh... ngedrama, akting, anuan lah pokoknya. Ya udah, yang penting nih bocah-bocah nggak nyusahin kamu sama temen-temenmu aja sih."
"Nggak bakal, Bu." Sahut Mbak Nadia tenang.
"Hehehe.. iye dah, titip Arif sama anak-anak ye, Nad." Ibu menepuk-nepuk pundak Mbak Nadia lembut. "Eh, mau tambah lagi, nggak? Ikan asin apa tempe gitu. Mau ya, Nad? Ibu ambilin."
KAMU SEDANG MEMBACA
NAWASENA [Telah Terbit] ✔️
Fanfiction(Buku Ke-2 AKARSANA) (Telah dibukukan oleh Redaksi Athena) . . Arif, Galih, Fauzi, Reno, William, dan Harsya kembali mengemban misi menyelamatkan seorang penyanyi opera di sebuah kelompok pertunjukan ternama, dari sebuah organisasi perbudakan hibura...