Namaku Hudor

9 0 0
                                    

Menyatukan nama dengan jiwa adalah perjalanan melintasi labirin luas yang tiap ruasnya adalah padang berumput serpihaan-serpihan mata pedang. Sebab sebuah nama hanyalah sederet bunyi fonetik tanpa makna. Kecuali setelah si empunya memberinya jiwa, maka muncullah makna kodrati bagi penyandangnya. Setidaknya itu bagiku.

Namaku Hudor.

Tidak lebih dari serangkaian bunyi karena embusan udara dari paru-paru menggetarkan pita suara melewati perubahan-perubahan artikulasi di rongga mulut. Terdengar seperti auman serigala atau teriakan penonton yang kecewa disusul suara letusan senjata api atau bantingan pintu – dan semua itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan diriku. Aku yakin kamu juga tidak pernah mendengar nama seperti itu. Walau begitu tidak perlu membuka teori-teori onomastik untuk mencari muasal dan artinya daripada kamu kecewa karena pasti tidak menemukannya. Namaku juga bukan nama endemik masyarkat di sini, karena hanya aku yang memilki. Di sini pun namaku terdengar asing. Akibatnya, masyarakat tidak mau melafalkannya dan mengganti dengan bunyi apa saja yang bisa mereka cerna dan menurut mereka masuk akal. Kalau kamu juga berpikiran begitu, tahanlah beberapa saat. Mungkin kamu akan segera terbiasa mendengarnya.

Selain karena namaku, mereka juga mengerutkan dahi melihat apa yang kulakukan. Sementara teman-teman muda sebayaku masih bergembira menikmati hangatnya kota, duduk-duduk di kedai sambil tertawa keras-keras menertawakan apa saja yang dianggap lucu – walau tidak semuanya lucu – aku tinggal menyendiri di pinggir telaga yang sepi dan terpencil di dusun ini – ujung labirinku.

Perjalanan melewati lorong serpihan pedang itu dimulai spontan saja, sama sekali tanpa rencana, apalagi persiapan. Kematian ayahku seperti bendera kotak-kotak hitam putih yang dikelebatkan di depan mataku sekaligus tangan yang mendorongku jatuh ke lintasan deras menuju kodrat bunyi hudor itu menyatu dalam jiwaku.

--------------------

Di negeri kepulauan ini aku lahir, di salah satu pulau kecil di tengah laut wilayah timur. Sebelum kamu datang ke sini kamu pasti sudah mencarinya di peta dan kamu tidak menemukannya. Benar, bukan? Hentikan saja pencarianmu, aku yang adalah putra daerah sudah lama mencarinya. Memang tidak pernah ada! Entah mengapa. Padahal pulau ini lebih luas dibanding dengan beberapa pulau tetangga yang tergambar di situ. Mungkin karena kami tidak terlalu terbuka dengan dunia luar, atau karena ada misteri yang menyelimuti pulau ini, bisa jadi. Semoga setelah mendengar ceritaku, kalian mau memasukkannya di peta sehingga kami juga tercatat sebagai warga bumi. Atau mungkin tidak perlu, toh negerimu sudah memiliki belasan ribu pulau di sepanjang garis khatulistiwa yang kalian bandrol dengan harga mati. Mungkin label itu tidak termasuk pulauku, hilang satu tidak masalah. Entahlah.

Di kota Wodapala ini aku tinggal – Mungkin kamu tidak setuju dengan pemakaian istilah kota yang kami pakai, bisa jadi bagimu ini tidak lebih dari sebuah desa yang sangat luas dengan penduduk yang tidak banyak. Terserah kamulah, tapi bagi kami ini tetap sebuah kota. – Rasakan sendiri betapa terpencilnya kota ini. Wilayah yang terdekat dari sini harus ditempuh hampir dua jam berjalan kaki, atau satu jam perjalanan dengan perahu, tapi perjalanan air jarang dilakukan orang karena sangat tidak aman. Ada blank spots di beberapa perairan sekitar. Sudah banyak kapal hilang misterius di sana. Bisa jadi inilah alasan utama mengapa pulau ini tidak masuk peta kalian – tidak ada yang mau ambil risiko untuk memetakannya!

Dari segi teknologi penduduk si sini termasuk tertinggal. Itu bukan karena kami bodoh. Bukan. Tapi kami memilih tetap hidup sederhana dan alami. Satu-satunya teknologi modern yang tampak di sini hanya sebuah kapal yang merapat tiga minggu sekali – kamu pasti datang ke pulau ini dengan kapal itu. Jadwal itu pun kadang tidak terpenuhi sebab pelayaran hanya dilakukan kalau cuaca cerah, dan itu pun dilakukan kalau nahkodanya memiliki firasat yang baik untuk berlayar – kamu bisa bayangkan, kalau satu-satunya akses kami ke dunia luar bergantung pada firasat seorang nahkoda yang moody seperti itu. Sebab itu hubungan kami dengan pulau lain sangat renggang – maka jadilah kami agak terbelakang. Namun jangan berpikir bahwa kami tidak bahagia. Moto hidup kami sederhana saja: bahagia bersumber dari dalam bukan di luar. Itulah sebabnya hidup kami sangat bahagia dan damai. Damai dengan sesama. Damai dengan alam.

PANGGILAN HUDORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang