Bila hidup adalah anugerah, maka berjuang adalah saudara kembarnya. Bila hasrat diibaratkan aliran air, maka kegagalan adalah badai yang bisa mengubah arahnya.
Keadaan Wodapala makin memburuk. Banyak petani yang putus asa lalu menjual ladangnya murah-murah pada tuan tanah dan alih profesi. Calon mertuaku justru menerima keuntungan dari kemalangan petani, tanah yang dimiliki semakin luas karena banyak membeli lahan baru dari mereka. Ayah Maymi memintaku untuk bekerja di rumahnya. Sudah disiapkan satu ruang khusus untuk kantor di sana urusan administrasi pertanian dipusatkan. Tapi aku dengan halus menolak, tidak mau aku disebut aji mumpung karena posisi calon mertuaku sebgai tuan tanah yang berkuasa. Aku tetap tinggal di ladangku dan terus bekerja keras. Siapa tahu panen yang akan datang akan berlimpah sehingga aku bisa membayar sendiri uang pelamaranku. Walau begitu hasil ladangku tetap jauh dari memuaskan. Apalagi aku sudah berhenti menggunakan pupuk kimia dan pestisida – dalam hal ini aku masih mendengar perkataan Dou yang sangat rasional itu, maka hasilnya tidak selembar sayur pun dapat kuhasilkan. Lengkap sudah terpuruknya hasil ladangku. Tapi aku tidak patah semangat, aku membangun sebuah gubuk kecil dan tinggal di sana.
Aku tidak mau lagi berhubungan dengan Dou, maka menjelang malam aku matikan aliran air di sebelah gubukku. Ini kulakukan untuk mencegah dia datang. Untuk itu ku juga berupaya agar selalu ada orang yang bersamaku tiap malam. Beberapa petani muda dengan senang hati menemaniku di sana. Ada juga yang menolak. Kebanyakan yang menolak adalah mereka yang sudah berkeluarga.
Ada seorang muda yang beralih ke bidang pertanian, Glimbo namanya. Awalnya aku merasa aneh, ketika banyak petani meninggalkan profesinya dia justru terjun jadi petani – tapi dengan kondisi Wodapala yang terpuruk, siapa pun bisa jadi apa pun demi kelangsungan hidup. Tapi yang membuat aku tetap tidak bisa menerima alasan itu adalah penampilan petani pemula itu: wajahnya ganteng, klimis dan bersih seperti tidak pernah terpapar matahari, tangannya pun halus seperti tidak pernah bekerja keras. Dari potongannya dia tidak pantas menjadi petani. Sama sekali tidak.
Suatu sore kucium aroma wangi, kata orang-orang bau wangi di tempat sepi pertanda ada setan perempuan di situ. Ketika kucari sumbernya ternyata dari seorang yang berdiri di belakangku. Dialah Eros, si petani wangi. Badannya harum seperti selalu mandi kembang setiap hari, tidak seperti petani yang beraroma keringat dan matahari. Dia minta izin untuk membuka saluran air yang melewati pematang di sebelah gubukku menuju ladangnya karena posisi lahannya barada di lereng landai di sebelah ladangku
"Besok pagi ya kubukakan," kataku tidak bersemangat.
"Tapi aku perlu malam ini. Supaya besok pagi ladang sudah siap dan benih bisa kutebar."
"Tidak! Besok saja, pagi-pagi sekali setelah jam tidur," aku tetap menolak memberi izin.
"Sebagai petani yang lebih senior kamu lebih tahu pentingnya air itu tersedia tepat waktu."
Aku setuju dengan yng dia katakan tapi tentu saja aku tidak bisa memberi penjelasan mengapa aku menolak permintaannya karena alasan penolakanku bukan soal ilmiah pertanian yang mudah dipaparkan.
"Ya sudahlah, aku mengerti," dia tampak gondok. "Kamu sedang belajar untuk menjadi boss. Sebentar lagi kamu akan benar-benar jadi boss kami karena lahan pertanian yang sngat luas ini akan jadi milikmu."
"Kamu bicara apa?"
"Maaf boss, saya sudah mengganggu."
"Kamu tidak mengerti, Glimbo," aku tersinggung.
"Jangan anggap aku anak kecil! Selamat sore." Dia pergi dengan muka kecut.
Aku mengejarnya. "Kamu tidak mengerti persoalanku."
KAMU SEDANG MEMBACA
PANGGILAN HUDOR
Fiksi PenggemarDi suatu pulau kecil, ada dua kota kembar yang sudah lama terpisah oleh Dewala gunung sangat tinggi berbentuk dinding, sehingga mereka tidak tahu bahwa mereka memiliki saudara yang sangat berdekatan baik lokasi maupun asal-usul. Kota Wodapala di seb...