Hoax itu seperti setetes tinta di atas susu sebelanga." Penyesalan saja tidak cukup, upaya mendetoksifikasinyapun adalah upaya menjaring angin. Seperti itulah upaya Zaliti saat mencoba memurnikan susu yang sudah telanjur membiru itu.
Suatu hari perempuan Noa itu menemuiku sendiri di sumber air kecil di bawah pohon beringin belakang rumahku. Saat itu aku sedang mandi setelah melakukan tugas baruku menyelam menyusuri dasar telaga. Persis yang digambarkan Maymi, perempuan itu sama dengan Dou, bedanya yang ini berwarna sedikit merah jambu sedangkan Dou kebiruan. Dia setinggi aku. Tubuhnya langsing dengan dua buah dada yang menonjol padat dan runcing. Pinggulnya berisi dan pinggangnya kecil dengan perut datar, cantik seperti boneka manekin di etalase pasar modern – walau tanpa rambut di kepalanya.
"Kamu pasti Zaliti." Aku menyokoknya sebelum dia bicara apapun sambil bergegas mengenakan celanaku – karena ada reaksi maskulin alami mulai menjalari syarafku – sebab waktu itu aku tidak memakai pakaian apa pun.
"Benar," katanya sambil mengangguk tersenyum. Kuharap dia tidak sempat tahu perubahan erotikku.
"Pergilah sebelum aku mengusirmu," tukasku jelas.
Wanita air itu kaget, tubuhnya beriak-riak kecil saling bersusulan seperti permukaan air tenang yang tertiup angin.
"Begitu caramu memperlakukan seoarng tamu? Seorang perempuan pula?" ujarnya setelah riaknya menghilang.
"Setiap tamu selalu memberi shalom sejahtera pada tuan rumah, ada yang tulus memberkati, ada yang justru sebaliknya, menyebarkan kutuk."
Zaliti diam menunggu penjelasanku lebih lanjut.
"Kamu jenis yang kedua." Aku langsung pada tuduhan.
"Aku datang membawa berita sejahtera bagi kalian, kamu dan calon istrimu."
"Tidak. Kamu membawa bibit kehancuran bagi kami, bahkan bukan hanya kami, tapi seluruh tanah Wodapala."
"Jangan sok tahu. Dengar dulu penjelasanku." Air merah muda itu terdengar mulai marah.
"Tidak perlu! Kebenaran jenis apa yang bisa dipercaya dari seseorang yang bersembunyi di balik topeng pahlawan padahal berhati busuk."
"Tega kamu mangatakah itu." Suaranya terdengar makin geram.
"Apa yang harus kutakuti dari perempuan egois sepertimu? Memperjuangkan cintamu pada Dou adalah hakmu karena semua orang berhak memperjuangkan cintanya. Tapi kalau demi kabahagiaanmu kamu mengorbankan tanah Wodapala, aku tidak rela. Aku yang akan jadi penentang pertamamu."
Perempuan itu bisa saja membunuhku dengan menengelamkan kepalaku dalam tangannya seperti yang pernah dilakukan Dou padaku. Tapi dia diam, sepertinya kalah angin. Itu membuatku semakin berani.
"Dou sangat mencintaimu. Alih-alih mendukung misi orang yang dicintainya kamu malah membusukkan namanya dengan memfitnahnya sebagai pembunuh berencana. Oh Dou, pria lembut hati yang malang. Aku pernah berusaha membunuhnya dengan golok, tubuhnya terpotong dua, tapi dia tetap sabar padaku, padahal kalau mau, dia bisa saja membunuhku, tapi dia tidak melakukannya. Sayang sekali, kamu lebih percaya pada hasutan ketua partaimu daripada orang yang mencintaimu. Tidakkah kamu sadar bahwa kamu diperalat demi sebuah balas dendam? Dia ingin walikotamu mengalami nasib yang sama dengannya."
"Kamu tahu banyak."
"Dou orang yang hebat. Seorang kekasih sejati. Dalam kondisi yang sulit dia tetap membawa berita baik. Bahkan ketika kamu memfitnahnya dia tidak marah. Dia tidak panik apalagi sampai gelap mata. Dia mengerti perasaanmu dan memaklumi tindakanmu."
Aku berhenti sejenak. Kulirik tubuh tamuku itu beriak-riak lagi.
"Racun yang kamu sebar sudah mulai merusak. Calon istriku telah termakan kebohonganmu, dengan keras dia menentangku. Seluruh Wodapala pasti mencariku sekarang. Aku menghadapi persoalan yang sulit, seperti Dou," lanjutku. "Itu yang kamu harapkan, bukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PANGGILAN HUDOR
FanfictionDi suatu pulau kecil, ada dua kota kembar yang sudah lama terpisah oleh Dewala gunung sangat tinggi berbentuk dinding, sehingga mereka tidak tahu bahwa mereka memiliki saudara yang sangat berdekatan baik lokasi maupun asal-usul. Kota Wodapala di seb...