Part 6 Buruh Penjemur

2 0 0
                                    

Glimbo!

Glimbo! Glimbo! Penelikung yang tertawa di rumah mempelai wanita semantara mempelai pria bersembunyi sebagai buron?

Semua orang Wodapala kenal aku dan mengenali wajahku dan bersembunyi di bawah topi dan tutup muka setiap saat juga tidak mungkin. Namun satu-satunya tempat berlindung justru di rumah pemburuku walaupun itu hanya bisa dilakukan waktu siang di saat para buruh penjemur bekerja. Di sana aku bisa bebas bergerak. Malamnya aku masuk hutan dan paginya bergabung lagi dengan para buruh.

Pada hari ketiga ayah Maymi sedang berbicara dengan empat orang bertubuh tegap dan berwajah sangar. Aku mendekati mereka dan pura-pura berteduh tidak jauh dari tempat itu sehingga cukup jelas mendengar pembicaraan mereka.

"Tinggal satu kemungkinan saja: dia meninggalkan Wodapala lewat perairan. Dan kalau benar begitu, maka besar kemungkinannya di sudah mampus terbawa arus misterius," kata salah seorang dari mereka.

"Tapi saya belum puas bila belum melihat bangkai," suara ayah Maymi. Nadanya terdengar geregetan.

"Kami akan segera menemukannya, Boss," sumbar yang satunya.

"Dia harus mencuci nama baik keluargaku dengan darahnya."

"Itu baru setimpal."

"Dia sudah mencemarkan nama baik keluarga ini. Karena itu pernikahan Nona Maymi tidak bisa terlalu lama ditunda, Boss. Nanti orang-orang jadi bertanya-tanya sehingga berita memalukan ini tidak bisa ditutupi lagi."

Ayah Maymi mengngguk-angguk

"Jadi kapan upacara kaaron untuk Nona Maymi dilaksanakan?" tanya yang di sebelahnya.

"Saya mau bicara dengan Glimbo," jawab laki-laki tengah baya itu.

Tiba-tiba salah satu dari mereka menepuk tangannya tiga kali memanggilku karena aku yang berada paling dekat dengan mereka.

Mati aku!

"Sini!" teriaknya.

"Maaf saya ditunggu di penggilingan, tuan." Aku mencoba kabur mengelak.

"Halah, yang lain kan masih banyak. Sini kamu cepat!"

Aku mendekat dengan jantung yang berdetak kencang.

"Kamu tahu rumah Glimbo?"

Aku mengangguk padahal aku tidak tahu

"Jemput dia untuk datang ke sini. Katakan tuan mau bicara."

Aku tidak bereaksi. Menemui pemuda itu tidak mungkin kulakukan. Apalagi bicara dengannya, itu sama saja dengan menyerahkan nyawaku.

"Tunggu apa lagi? Cepat penggil!" orang itu mulai tidak sabar.

"Ya. Ya." Aku berlari sebelum ketahuan identitasku.

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Saat melewati para buruh penjemur aku teringat petani temanku. Aku mendekat mencarinya di antara mereka yang sedang bekerja di terik matahari itu. Namun aku tidak bisa menemukan yang mana dia sebab semua berpakaian sama, bertopi, dan bertutup muka. Agak lama aku mengamati.

Dalam kebingunganku akhirnya satu pekerja yang mendekatiku.

"Sini, Tuda" bisik orang itu sambil terus melewatiku.

Aku pun mengikutinya berjalan menuju bilik tanpa atap di mana sebelumnya dia menobatkan aku jadi buruh penjemur.

"Ada apa?" tanyanya.

"Glimbo. Ternyata dialah penyebab semua ini." Aku berharap dia kaget mendengarnya.

"Aku sudah tahu," jawabnya ringan.

PANGGILAN HUDORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang