Seorang
anak kecil berlari penuh gelak tawa membawa pasir halus dalam genggamannya – seperti itulah aku menggenggam Maymi. Sesampai di rumah anak itu menangis histeris karena pasir itu telah tercecer tak bersisa – demikianlah aku karena Maymi lepas dari genggaman.
Selama beberapa hari aku bersembunyi di hutan. Lelah raga, lelah jiwa. Ketika kurasa keadaan sudah membaik aku melewati jalan ular di hutan menuju air terjun dengan aman. Untung saja aku tidak terlalu cepat datang karena mereka telah mencariku di sana dan ketika tidak menjumpaiku mereka menghancurkan rumahku. Bangunan yang baru saja kuhuni lagi itu telah menjadi puing-puing. Padang rumput itu berubah menjadi seperti pantai yang baru saja menerima kiriman serpihan-serpihan bangkai kapal pecah setelah dihantam badai semalam.
Di air terjun aku termenung. Aku menunggu orang Noa datang. Siapapun. Dou atau Zaliti tidak masalah. Mereka harus bertanggung jawab atas kerumitanku ini.
Tidak seberapa lama ada air kebiru-biruan bermain di sekitarku. Lalu air itu naik membungkus tubuhku sehingga aku seperti buah labu transparan. Itu pasti kelakar Dou.
"Ini bukan saatnya bercanda, Dou," kataku serius.
Tubuh Dou pecah dia muncul di dekat air terjun sambil tertawa ngakak. Aku tambah jengkel.
"Perjalanan baru saja dimulai, Hudor."
"Tapi mengapa harus orang yang kucintai? Dia sudah dirampas orang," protesku.
"Yang ikut menderita sejak awal perjalanan akan setia sampai akhir, yang turut berkorban akan menghargai hasil perjuangan."
"Tapi ini sudah berlebihan. Aku sudah tidak punya harapan. Aku sudah kehilangan dia. Mungkin upacara Kaaron itu sudah dilaksanakan beberapa hari kemarin. Dan dalam beberapa minggu lagi dia akan jadi istri orang. Ironisnya, calon pengantin laki-lakinya justru jadi buronan. Sekarang seluruh Wodapala mengejar kepalaku demi hadiah."
Dou tidak bereaksi.
"Mengapa kamu diam? Apa karena yang telah menghacurkan kebahagiaanku adalah kekasihmu? Katakan padaku bahwa kamu bertanggung jawab atas situasi ini dan bersedia memperbaikinya."
Dou tetap diam.
Aku terus saja berbicara penuh emosi. Terus menuntut seperti penagih utang. Tidak berapa lama laki-laki Noa itu meninggalkan aku sendiri. Aku semakin gondok. Tapi aku tidak pergi dari situ.
--------------------
Tengah hari Dou datang lagi dan aku langsung menyerangnya. Dia tetap tenang walau raut mukanya kelihatan sedih.
"Hey mulut nyinyir, tidak bisakan kamu sedikit tenang dan diam? Kamu bukan satu-satunya orang yang memiliki persoalan," suaranya terdengar dalam sekali, aku menangkap jelas unsur sedih dan putus asa.
Kini ganti aku yang diam. Malu juga dikatakan seperti itu.
"Aku dan Zaliti sedang berjuang mengambil keputusan yang sulit," katanya sambil merebahkan badannya di atas batu datar dengan berbantal lengannya.
"Kami ingin menikah. Tapi kami tidak bisa melakukannya tanpa melanggar konsesnsus. Menghargai cinta dan menegakkan hukum adalah dua hal yang mestinya sejalan. Tapi bagi kami itu adalah dua hal yang bertentangan."
"Dia mendukungmu?"
"Dia telah menyadari kesalahannya. Dia sadar cinta tidak bisa dibangun di atas kebohongan."
"Tapi berita bohong yang dia katakan, telah membusukkan apa yang selama ini kuperjuangkan. Gadis yang semestinya jadi istriku itu kini berbalik membenciku dan memutuskan untuk menikah dengan orang lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
PANGGILAN HUDOR
FanfictionDi suatu pulau kecil, ada dua kota kembar yang sudah lama terpisah oleh Dewala gunung sangat tinggi berbentuk dinding, sehingga mereka tidak tahu bahwa mereka memiliki saudara yang sangat berdekatan baik lokasi maupun asal-usul. Kota Wodapala di seb...