Part 8 Melarikan Maymi

2 0 0
                                    

Hidup ini

penuh kejutan. Tak jarang perencananya pun sering dibuat terkejut oleh perbuatannya sendiri. Aku mengalaminya hari itu.

Maymi sedang sakit. Dia tergolek lemas di kamarnya menghadap tembok. Enggan bertemu siapa saja.

Seorang perempuan dukun suwuk masuk di kamarnya dan menutup pintu di belakanya. Dokter tradisional seperti itu masih banyak dicari di Wodapala apalagi saat Wodapala sedang panen sakit seperti sekarang ini. Mereka pun kembali berjaya. Biasanya mereka memadukan obat-obatan herbal dan mantra-mantra mistis dalam menangangi pasien. Seperti sosok paranormal di cerita-cerita di mana wajah dukun selalu digambarkan sedikit angker – sosok yang seperti itu justru yang paling dicari – karena dianggap memiliki kekuatan supra natural. Dukun yang mendatangi Maymi ini cukup mainstrean, penampilannya sedikit spooky, bertubuh sedikit bongkok dan lebar, berdirinya wagu dan kikuk, mengenakan topi hitam lebar dan rambut panjang yang dibiarkan menutupi sebagian mukanya.

"Pembantu Nona mengatakan bahwa ibunda Nona baru saja meninggal. Saya ikut berbelasungkawa," dukun itu membuka pembicaraan. Suaranya sedikit ngebas tapi serak kering seperti cerobong asap.

"Semua orang berbasa-basi seperti madam," jawab gadis yang berbaring itu sinis tanpa membalik badan menyambut tamunya – kata orang perkataan yang pahit adalah cerminan hati yang luka.

"Madam tidak pernah berbasa-basi. Ibunda Nona adalah orang penting karena dia yang melahirkan orang yang madam cintai."

"Maksud madam?" gadis yang sejak tadi tidak tertarik dengan pengobatannya kini memperhatikan sang dukun dengan membalik badannya.

Perempuan itu menutup mulutnya dengan tangan saat bicara: "Maksudnya, Nona dicintai seluruh Wodapala termasuk madam, karena Nona adalah gadis yang baik dan kami tidak ingin Nona terlalu berduka.

"Biasanya hari ketiga setelah pemakaman, seorang perawan yang ditinggal mati orang tuanya akan keluar rumah dengan gadis-gadis lain sebagai tanda bahwa dia siap untuk hidup baru tanpa orang tua sekaligus sebagai simbol undangan bagi jejaka untuk masuk dalam hidupnya."

"Itu sudah lewat, madam," sambar gadis itu.

"Oh Ya? Mengapa madam tidak tahu?"

"Bunda meninggal beberapa detik sebelum aku mengucapkan janji pernikahan. Mungkin dia menahan perasaan sangat kecewa karena pernikahan itu bukan seperti yang beliau inginkan."

"Apa?" perempuan tua itu tampak sangat kaget.

"Akhirnya pernikahanku ditunda dan diganti masa berkabung." Kata gadis itu lemas dan langsung membalik badannya menghadap tembok lagi.

"Oh, jadi ini semua karena Nona gagal menikah rupanya? Mana suami Nona? Madam ingin bicara dengannya."

"Saya malas bicara soal dia atau pernikahan. Saya sakit."

"Pengantin harusnya gembira. Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang. Sakit Nona ini adalah sakit dalam perasaan yang berdampak sampai di badan," kata sang dukun.

Cukup lama gadis itu diam. Sang dukun terus mengajaknya bicara.

"Benar madam, memang bukan badanku yang sakit. Perasaanku."

"Katakan saja, Nona. Madam juga bisa menyembuhkan gangguan perasaan," kata perempuan itu gigih.

"Aku bingung. Tidak tahu harus berbuat apa." Suara Maymi terdengar sangat putus asa. "Madam tidak akan bisa mengerti perasaanku."

"Nona, selalu ada pertolongan bagi orang yang bersemangat. Sebentar lagi pertolongan akan segera datang padamu," dukun itu menyemangati.

"Dia bukan pilihanku. Kekasihku yang sejati telah pergi, tidak jelas kabarnya. Aku sudah berusaha mencari tahu di mana dia. Yang kudapat adalah berita yang simpang siur. Ada yang mengabarkan dia lari karena takut dibunuh algojo ayahku. Ada yang mengatakan dia sudah mati. Yang paling menyakitkan ada yang bilang dia lari dengan sesama laki-kaki. Tapi untuk yang satu itu aku tidak percaya sebab suatu hari dia pernah menemuiku di rumah ini dengan menyamarsebagai buruh penjemur. Saat dia terpergok dia menyatakan padaku bahwa dirinya laki-laki normal."

PANGGILAN HUDORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang