Mendadak aku menjadi seperti pejuang dan tentu saja berencana untuk menang. Orang bilang, jumlah pasukan dan persenjataan hanya menentukan 20 % kemenangan, sedangkan 75% ditentukan oleh strategi berdasarkan peta kekuatan dan kelemahan lawan juga medan perang. Persoalannya, aku tidak tahu siapa musuhku dan bagaimana medannya sehingga aku tidak punya strategi apa-apa. Semoga saja aku adalah sebuah perkecualian.
Maymi memandangku mengisyaratkan keraguan. Tapi aku terus memberi isyarat meyakinkannya bahwa kami akan baik-baik saja.
"Berapa umur kalian. Mengapa orang tua kalian membiarkan anak seusia kalian pergi sendiri ke daerah sepi seperti ini?" tanyanya.
"Namaku Hudor. Umurku 21 tahun, sama dengan umur Xeruhrang. Ini Maymi, calon istriku, dia 20 tahun. Namanya mengandung bunyi -i- berarti dia perempuan," aku memberikan senyuman lebar pada mereka, memeluk dan mencium Maymi. Itu kulakukan untuk menenangkan Maymi sekaligus mematok kavling pada calon istriku itu di depan mereka.
Perempuan Ranggaz itu membelalakkan matanya yang lebar.
"Kalau begitu kalian adalah orang dewasa seusia kami? Tapi kulit kalian tampak masih bayi. Wajah kalian segar seperti anak pejabat kaya baru berumur beberapa minggu. Tubuh kalian sangat bongsor karena kecukupan hudor. Maafkan, tadi kami menganggap kalian anak kecil. Kalian pasti tinggal di distrik pemerintahan dan tidak pernah keluar dari sana sehingga kalian tidak tahu apa-apa tentaang masyarakat kita. Benar, bukan? Siapa nama orang tua kaian, apa jabatannya?"
Aku diam. Tidak tahu harus menjawab apa.
"Selama ini kita menantikan orang seperti kalian lahir dari Ranggaz. Kalau lahir bayi yang sempurna maka dia akan dipelihara secara khusus untuk dijadikan indukan. Tapi sampai sekarang bayi seperti itu belum pernah lahir. Para pejabat terus mengusahakannya dengan membangun proyek perbaikan genetika." Dia lupa akan pertanyaan tentang siapa orang tua kami.
"Rupanya diam-diam di kalangan keluarga pejabat sudah ada yang melahirkan bayi sempurna. Mengapa mereka tidak heboh memberitakan? Padahal biasanya ketika ada bayi yang sedikit lebih baik saja mereka sudah mempublikasikannya dengan penuh kebanggaan. Pasti orang tua kalian adalah hasil seleksi orang tua terpilih itu.
"Oh, Dewa agung! Melihat kalian aku membayangkan orang-orang Ranggaz masa depan. Pasti kalian akan dijadikan bibit unggul sekaligus diberi jabatan penting."
"Tidak. Kami bukan dari Ranggaz. Kami dari Wodapala."
"Wodapala?" tanya Xeruhrang. Wajah kakek yang seumuran denganku itu mengernyit hingga kulitnya yang kering dan kendur itu melipat-lipat di dahi dan di antara matanya. "Tempat apa itu? Apakah ada tempat lagi selain Ranggaz?"
"Ya, ada. Kami dari sana. Kami pun tidak pernah tahu ada kota bernama Ranggaz."
Lalu aku menjelaskan tragedi Ranggaz seperti yang kudengar dari Dou.
Saat giliranku memperkenalkan jati diri dan keadaan Wodapala, tiga orang itu mendengarkan dengan ekspresi kekaguman atau keheranan yang aneh.
"Kami sudah lama mendengar dongeng seperti itu, surga yang dijanjikan oleh hampir semua sekte kepercayaan. Pantas kalian begitu sempurna. Kalian seperti tokoh mitos, super hero atau pahlawan pembela kebenaran yang biasa diceritakan pada anak-anak. Jangan-jangan kalian adalah dewa-dewi yang kami puja. Memiliki tubuh yang dipulihkan seperti kalian dan tinggal di Surga adalah janji semua aliran kepercayaan."
Niheelang mulai berani mendekat setelah aku bicara dengan bahasa sejajar dengan mereka, bahwa kami adalah saudara. Tangan kasar perempuan itu menyentuh lenganku dan memperhatikan dengan teliti. Sampai matanya yang lebar itu hampir menempel di kulitku, persis ilmuwan yang meneliti spesimen langka menggunakan kaca pembesar.
KAMU SEDANG MEMBACA
PANGGILAN HUDOR
FanfictionDi suatu pulau kecil, ada dua kota kembar yang sudah lama terpisah oleh Dewala gunung sangat tinggi berbentuk dinding, sehingga mereka tidak tahu bahwa mereka memiliki saudara yang sangat berdekatan baik lokasi maupun asal-usul. Kota Wodapala di seb...