Layar panggung
pertunjukan perlahan-lahan terangkat. Begitulah saat mataku membuka. Namun aku tidak bisa memastikan apakah itu babak awal memasuki alam nyata atau gerbang menuju dunia mimpi. Yang pasti aku sedang melangkah di atas tanah di mana tiap jengkalnya adalah kejutan yang perih.
Langit Ranggaz terlihat sangat bersih tidak ada awan setelapak tangan pun yang mengotorinya, sangat biru, dalam, damai. Tapi kontras dengan kondisi tanahnya, sejauh mata memandang hanya tampak kekuning coklatan abu-abu sampai hitam, tanah padas dan padang yang kering tanpa titik hijau sedikitpun.
Udara luar biasa panas dan kering. Paru-paruku terasa seperti kehilangan sifat lentuknya, berat dan nyeri. Mungkin itu juga efek menghirup terlalu banyak debu saat menuruni tebing tadi.
Xeruhrang menunjuk satu titik jauh di seberang padang gundul yang luas.
"Apa itu?" tanyaku.
"Pemukiman orang Ranggaz," jawabnya.
Kami melangkah ke sana. Di depan kami tampak seperti ada genangan air bening dan tipis di atas tanah. Aku mempercepat langkah agar segera sampai ke arah air itu. Terbayangkan betapa segarnya berjalan di atas tanah berair di siang yang begitu terik. Namun sesudah beberapa puluh meter aku berjalan, jarak antara aku dan tanah berair itu tidak kunjung berkurang. Barulah aku sadar bahwa itu hanyalah fatamorgana. Udara sangat panas yang menguap dari tanah mengakibatkan udara bergelombang menimbulkan citra yang tertangkap mata seperti daratan yang tertutup air tipis beriak bening berkilauan.
Suasana sangat gerah menyerang tubuhku. Kulitku yang berkeringat dan ditempeli debu tebal terasa sangat gatal. Tapi aku berusaha tidak menggaruknya agar tidak luka.
"Kamu masih ingat nama barumu?" tanya Niheelang setelah dua orang itu menyusulku langkahku.
"Henock," jawabku mantap penuh percaya diri.
"Salah! Kenos!" cepat-cepat wanita gundul itu mengoreksi.
"Ya Kenos," aku tersenyum sedikit malu.
"Usahakan sesedikit mungkin berbicara dengan warga. Biasanya kenos tidak banyak bicara, tidak pergi jauh dari rumah, kecuali berkumpul dengan kenos-kenos lain untuk menghitung waktu. Sebisa-bisanya upayakan agar warga tidak memandang wajahmu sebab keadaanmu terlalu baik untuk mengakhiri hidupmu sendiri. Bila perlu tutupi semua wajahmu seperti mummi. Jangan lupa membungkuk sedalam yang kamu bisa. Mulai sekarang kamu harus menyiapkan jawaban yang masuk akal agar mereka bisa menerima kenyataan bahwa orang sepertimu memutuskan untuk mengenoskan diri."
--------------------
Sepanjang perjalanan Niheelang bersaudara itu tidak bicara, mata mereka fokus pada jalan. Kelopak mata kami nyaris terkautup karena matahari sangat menyilaukan. Aku menarik penutup jidatku lebih turun untuk mengurangi paparan sinar matahari yang sangat terik itu. Aku membayangkan diri kami seperti tiga ekor ikan kecil yang digoreng tanpa minyak di wajan raksasa. Aku sudah sangat ngap, beberapa kali sempat seperti kehilangan kesadaran tapi rekan-rekan seperjalananku itu tetap berjalan dengan kecepatan langkah yang konsisten, mungkin itu salah satu rahasia mereka bisa bertahan, berbeda dengan aku yang kadang berjalan cepat karena ingin segera sampai kadang melambat dan ngos karena tenaga terkuras. Setiap aku berhenti beberapa teguk air harus kuminum.
Setelah melewati padang itu luas itu kami melewati jalanan menurun. Jauh di sebelah kiri ada semacam bangunan raksasa dari kaca. Baru kali ini aku melihat bangunan kaca sebesar itu. Di dalamnya tampak berwarna hijau, kontras dengan pemandangan di sekitarnya.
"Apa itu?" tanyaku.
"Dendrodom. Tempat penangkaran pohon," jawab Xeruhrang di sebelahku.
"Penangkaran pohon?" tanyaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
PANGGILAN HUDOR
FanfictionDi suatu pulau kecil, ada dua kota kembar yang sudah lama terpisah oleh Dewala gunung sangat tinggi berbentuk dinding, sehingga mereka tidak tahu bahwa mereka memiliki saudara yang sangat berdekatan baik lokasi maupun asal-usul. Kota Wodapala di seb...