Part 12 Bhumeerang Sang Komandan

3 0 0
                                    

Berita kecurian

yang paling mengejutkan adalah ketika kamu sadar ternyata dirimulah yang telah dicuri!

Aku terbangun saat di luar sudah tampak gelap. Langit di barat masih semu merah tapi langit di atasku berwarna biru dengan gradasi makin ke timur makin gelap, dipercantik dengan taburan beberapa bintang yang sangat terang, begitu rendah seperti bisa dijangkau tangan. Langit dan bintang Ranggaz jauh lebih indah dibanding yang biasa kulihat di Wodapala.

Aku menuju ruang tengah. Niheelang sedang menata hidangan di batu besar yang rata bagian atasnya. Di meja itu diletakkan piring keramik dengan makanan kelihatannya seperti ubi bakar dipotong melebar, satu porsi kecil daun dikukus, beberapa gelas kecil berisi air dan potongan kecil-kecil daging bakar yang mengepul mengeluarkan aroma gurih.

"Kita makan besar hari ini," kata Dzumorang sang ve.

Cepat-cepat Xeruhrang mengambil dua potong ubi, meletakkan daun kukus dan potongan daging di tengahnya dengan mencipratkan beberapa tetes air garam: sandwhich ubi! Tapi dia berhenti ketika sadar bahwa yang lain hanya memperhatikannya.

"Ayo makan," ajaknya.

"Kita menunggu Bhumeerang, Xeruh." orang tuanya menghentikan.

"Apa dia akan datang?"

"Ya."

Seperti kecewa, kakek sebayaku itu meletakkan lagi makanannya. Lama kami diam mengelilingi meja batu itu. Aku bertanya-tanya seperti apakah orang yang kami tunggu itu sehingga mendapatkan penghargaan yang begitu tinggi. Yang kuingat dari nama itu adalah jabatannya sebagai komandan jaga sungai Hopelesé. Calon suami Niheelang.

Setelah beberapa lama yang ditunggu pun datang. Seseorang yang cukup gagah jika dibanding dengan rata-rata warga Ranggaz. Badannya cukup tegap dengan dada yang lumayan bidang. Sejauh ini dia adalah orang Ranggaz yang paling normal fisiknya, gagah, dan percaya diri. Pakaiannya seperti yang dikenakan para penjaga Hopelesé yang tadi kuliat. Aku mencoba mencari cacat yang dimilikinya, tidak kutemukan, atau mungkin belum. Ada senjata api laras pendek terselip di celananya. Pandangannya langsung menyapu ke seluruh ruangan. Dia seperti tidak tertarik padaku, dia memandangku dengan cara yang tidak berbeda dengan memandang benda yang lain – kesan karismatik yang dipaksakan.

Dzumorang sang fosil menyilangkan tangan dan mengangguk pada yang baru datang itu. Anak-anaknya melakukan hal yang sama. Aku ikut-ikutan.

"Ini Hudorang yang kuceritakan tadi," kata Niheelang memperkenalkan aku pada si pendatang baru.

Laki-laki yang bernama Bhumeerang itu memandangiku. Aku berharap dia menerimaku seperti keluarga Dzumorang yang lain, tapi dia tidak menampakkan emosi tertentu, datar saja.

Sebelum muncul pertanyaan, Niheelang menjelaskan alasan kedatanganku serta penyamaran yang harus kulakukan. Laki-laki itu mendengarkan dengan serius dan mengamatiku dengan saksama. Aku punya kesan orang ini tidak ramah.

"Kita makan dulu," kata Niheelang mengakhiri penjelasannya. Lelaki yang baru datang itu langsung mengambil makanan dengan cara seperti yang dilakukan Xeruhrang tadi lalu melahapnya tanpa menunggu yang lain. Dia makan dengan bunyi cap cap sangat menggangguku. Di tempatku itu adalah sikap makan yang sangat tidak sopan – aku teringat suara saudaraku si angsa liar yang sedang menyisir cacing dalam lumpur di pinggir telaga.

Niheelang mempersilakan aku mengambil makananku, aku pun melakukannya dengan cara yang sama: ubi isi.

Ya Tuhan! Baru saja aku mengunyahnya air liurku membanjir dan mataku terpejam menikmatinya. Itu adalah makanan yang paling enak yang pernah kumakan seumur hidupku. Mungkinkah karena aku sangat kelaparan? Tidak, makanan itu memang sangat lezat. Dalam sekejap makananku habis. Tapi ku masih merasa lapar. Aku menunggu apakah mereka mengambil lagi. Rupanya tidak. Orang Ranggaz makan sangat sedikit. Dan sisa makanan yang ada di meja itu juga tinggal sedikit. Aku dipersilakan menghabiskan sisa itu, maka kulumat habis tanpa berbasa-basi.

PANGGILAN HUDORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang