Part 13 Menjadi Tawanan Pandeerang

2 0 0
                                    

Seekor domba

 tidak kehilangan selera makan walaupun dia tahu akan segera disembelih. Bukan karena syaraf ngerinya sudah putus, tapi sedang mengumpulkan energi dan menunggu datangnya kesempatan terakhir untuk menanduk algojonya lalu melarikan diri.

Ini hari ketiga. Hari terakhirku di Ranggaz. Artinya menjelang sore aku harus sudah sampai di Crowaxan-Noa karena lewat dari itu portal menuju Wodapala tidak akan bisa dibuka. Memikirkan hal itu aku jadi panik. Aku tidak mau terjebak di sini selamanya. Maka kumakan semua makanan yang disuapkan kepadaku walaupun tidak ada yang istimewa dari makanan tersebut. Ada beberapa bahan makanan yang belum pernah kukenal. Tapi mengingat misi mereka terhadapku, aku yakin semua itu makanan yang baik untuk kesehatanku. Dan memang aku merasa lumayan bugar setelah itu.

"Aku masih lapar," kataku pada penjaga yang sekaligus perawatku. Dia seorang yang tinggi dengan bahu sangat miring sebelah dan tidak memiliki tulang hidung, hanya ada satu lubang besar berbentuk segi tiga sama kaki.

Tidak begitu lama dia membawa lagi makanan untukku. Aku tahu bahawan seperti dia pasti sangat patuh dan loyal kepada atasannya.

"Aku mau hudor sebotol diletakkan di sini, kalau sewaktu-waktu aku haus dapat meminumnya tanpa menyuruhmu. Dan tolong juga bukakan ikatanku ini. Aku tidak nyaman."

"Siap!" Cepat-cepat dia membuka ikatanku dan dengan cepat pula dia mengambil pesananku. Ini orang tercepat kedua yang kutemui di Ranggaz. Pasti dia diperintah untuk melayani orang penting sepertiku dengan sebaik-baiknya.

"Aku terbiasa di distrik yang panas di luar sana. Ruang ini terlalu dingin. Aku mau tidur pakai selimut. Tolong kamu jaga di luar. Kamu bertanggung jawab atas ketenangan tidurku. Kalau aku tergnggu aku akan melaporkanmu pada walikota. Kamu tidak ingin kehilangan pekerjaanmu, bukan?"

"Jangan. Saya mohon," si tanpa hidung itu mencium kakiku dengan bibirnya.

"Asalkan kamu menuruti setiap permintaanku. Jangan ada yang membangunkan aku. Jangan ada yang masuk ruangan termasuk kamu kecuali aku memanggil."

"Siap."

"Kalau mau memastikan aku aman, kamu cukup menengokku dari luar jendela situ."

"Siap. Saya mengerti."

"Sudah sana."

Tidak membutuhkan waktu yang lama aku sudah berada di belakang bangunan itu setelah melompat tembok. Si tanpa hidung itu pasti masih melihat sosokku berselimut di atas tempat tidur dan menghalau siapapun yang dianggap mengganggu – kecuali kalau itu walikotanya.

Persoalannya adalah aku tetap tidak tahu arah menuju rumah keluarga Dzumorang. Maka aku memutuskan untuk langsung berjalan ke arah kapak raksasa yang tampak menjulang tanpa berpamitan pada tuan rumahku.

Aku punya persediaan air dan makanan yang cukup, bekal dari perawatku yang baik hati dan bodoh tadi. Tapi persoalannya adalah dengan pakaian kenos aku tidak mungkin berjalan cepat-cepat dan melepasnya lebih tidak mungkin lagi karena sekali aku salah melangkah maka semua orang akan curiga dan aku akan menghadapi masalah sedangkan waktu sudah sangat terbatas. Maka terpaksa aku kembali menjalani langkah kenos yang penuh siksaaan: nyerinya kaki dan khawatirnya hati tertangkap sang walikota!

Aku sedikit senang saat di tengah jalan aku bertemu seorang kenos. Aku mengajaknya berjalan searah denganku. Paling tidak dia bisa menjadi cameo yang sempurna dalam peranku sebagai kenos.

"Waktuku tinggal beberapa jam saja," kata kenos itu sangat tidak bersemangat, suaranya hampir tidak terdengar, bibirnya kering retak-terak dan berdarah saat dia bicara.

PANGGILAN HUDORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang