Tekanan mengubah ku
dari gadis rumahan menjadi warrior. Kalau yang dikejar adalah hidupmaka strategi adalah sebuah keniscayaan. Aku tidak peduli, yang ada di kepalaku hanya satu: bertemu denganmu!
Kleng kleng kleng ...
Bhumeerang menghentak lonceng keretanya keras-keras. Kontan makhluk-makhluk berdebu itu berhenti bergerak. Hening. Namun setelah itu laki-laki di belakang kuda itu cuma memandangi mereka dengan tatapan kebencian tanpa bicara. Aku yakin dia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
"Siapakah aku ini bagi kalian, mengapa kalian mengejar-nejarku?" tanyaku setengah berbisik membelah kesunyian.
"Engkau Dewi Quinang!" beberapa orang menjawab bersamaan.
"Oh, Dewi Quinang. Engkau ternyata ada. Selama ini kami mengenalmu hanya di kitab sakral. Berarti engkau datang untuk menyelamatkan dan membawa kemakmuran bagi Ranggaz. kapan kapak Dewala itu akan kau angkat?" kata seorang yang register di dahinya diawali dengan angka nol.
Sekelompok orang menyusul datang dari arah selatan. Rombongan itu langsung memberi hormat. Rupanya itu adalah pemimpin spiritual mereka. Dari tanda di dahinya aku tahu bahwa mereka semua perempuan.
"Kami akan membawa Dewi ke kuil penyembahan di mana kami selalu melakukan ritual pemujaan padamu. Dalam kitab kami tertulis bahwa pada satu saat tepatnya di hari Strimbis bulan Blumma Dewi Quinang akan datang, dan keesokan harinya sang dewi akan mengangkat kapak penghalang menuju surga itu," kata sang pemimpin.
Aku menyimpulkan bawa mereka adalah anggota salah satu sekte kepercayaan seperti yang diceritakan Dzumorang bahwa banyak masyarakat Ranggaz yang mendirikan sekte-sekte pemujaan dan menentukan sendiri dewanya. Itu diizinkan – selain persoalan sekitar air, urusan sekte-sekte itu sering menimbulkan ketegangan di masyarakat bahkan tidak jarang menimbulkan suasana yang sangat mencekam. Mereka saling mengklaim kelompoknya benar dan yang lain sesat. Salah satu yang banyak pengikutnya adalah sekte Dewi Quinang.
"Rupanya mahadewi benar-benar memenuhi janji karena nanti malam adalah hari Strimbis bulan Blumma. Dan Dewi sudah datang. Marilah Dewi kita ke kuil." pemimpin sekte itu kembali memintaku.
"Tapi aku memiliki satu permintaan." Aku menemukan satu cara dan siap memainkannya.
"Izinkan kami tahu, Dewi."
"Tapi apa kalian sanggup memenuhinya?"
"Pasti. Dewi sudah mengenal kami. Kami adalah pemuja Dewi Quinang yang sangat patuh. Apapun perintah sang Dewi dalam kitab kami penuhi." Kata pemimpin itu dengan mencium tanah di depannya sampai wajahnya terbenam dalam debu diikuti semua pengikutnya. Wajah merekapun menjadi putih seperti memakai bedak tabur tebal-tebal.
Aku berlutut di depan mmereka dan berbisik: "Aku Dewi Quinang, memerintahkan kalian mengikat orang yang di kereta itu dan membawanya ke kuil kita. Tapi ingat, jangan disakiti. Dia akan menjadi persembahan sukarela di sana."
Sang pemimpin melirik ke arah Bhumeerang.
"Dia menjadi persembahan untuk Dewi?" tanyanya berbisik juga, seperti tidak percaya dengan apa yang dia dengar.
"Memang mengapa?" tanyaku.
"Di kitab tertulis bahwa Dewi Quinang senang menerima persembahan laki-laki muda, gagah, dan tampan. Ternyata seperti itu yang Dewi anggap tampan?" nyinyir perempuan itu.
"Sudahlah, daripada tidak ada sama sekali." Aku mengedipkan mata sebelah. Perempuan itu tersenyum – aku jadi geli sendiri, mana ada dewi cengegesan dengan penyembahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PANGGILAN HUDOR
FanfictionDi suatu pulau kecil, ada dua kota kembar yang sudah lama terpisah oleh Dewala gunung sangat tinggi berbentuk dinding, sehingga mereka tidak tahu bahwa mereka memiliki saudara yang sangat berdekatan baik lokasi maupun asal-usul. Kota Wodapala di seb...