CHAPTER 9 - A TRAGEDY Part 1

35 0 0
                                    

   Sebuah tangan memegang kedua tanganku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

   Sebuah tangan memegang kedua tanganku. Lelaki dengan setelan jas biru tua itu menuntunku yang merasakan mencekamnnya malam. Kegelapan yang mengitari kami membuat jantung kami berpacu dengan waktu. Kami berhenti di tengah jalan dengan cahaya lampu terang. Dengan lembut kedua tangannya memegang pipiku dan menatapku dengan cemas. Perasaan akan sebuah perpisaan yang tragis terasa akan mengampiriku malam itu. Di dalam lindungannya, aku berdiri dengan kedua tangan memegang tangannya dengan gemetar. Lalu sebuah suara tembakan membangunkanku dari tidur.

🍁

   Aku keluar dari kamar dan mengidupkan lampu.. Gavin keluar dari kamar Alan dan mendapatiku yang duduk di kursi makan dengan kedua tangan yang cemas.
“Kou bermimpi buruk?” ujarnya duduk di kursi depanku. Aku mengangguk,
"Aku membangunkanmu?” ia menggeleng lalu berdiri meraih dua gelas dari rak yang hanya bisa dijangkau oleh tangannya. Ia mulai memasak air dan kembali menatapku.
“haruska kita berlibur? Yang jauh dari sini. Bukan untuk mengindari tragedy itu, namun untuk menenangkan pikiran.”
“Kedengarannya bagus.” Ujrku terseyum pada senyumannya. Ia membuat  teh setelah air mendidih. Ia menggeser kursi ke sampingku dan duduk sembari meletakkan tea chamomile didepanku.
“Minumlah. Ini akan membuatmu sedikit tenang.” Ujarnya yang menenagkanku. Aku meminumnya, dan saat aku meletakkan tea itu dimeja lagi, ia melihat kedua tanagnku yang masih gemetar. Tanpa peringatan, ia memegang kedua tanganku dan menatap kedua mataku.
“Semua akan baik-baik saja. kou dapat percaya padaku. Jikapun tragedy itu terjadi, kou harus bersandar dan bergantung padaku. Berjanjilah.”
“Kou yang tertembak, bukan aku. Aku yang searusnya melakukan sesuatu. Namun aku terlalu takut. Aku bahkan tak tau kapan dna dimana kejadian itu. namun…” aku menatapnya dengan serius, “…aku melhiat dengan smaar-samar, saat itu kou mengenakan setelan hitam jika tidak biru tua.”
“haruska aku membuang pakaian dengan warna itu?”
“Sudah aku lakukan.”
“Apa?!” ia melepaskan tanganku dan terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar.
“Semua??” tanyanya. Aku mengangguk dengan senyuman.
“Aku terlalu kawatir dak tidak dapat berhenti memikirkannya. Maaf..”
“Kemana kou membuangnya?”
“No no no, kou tak boleh memakainya lagi, bahkan untuk menyentunya kou tak boleh.”
“lalu pakai apa aku ke kantor?”
“Masih ada kan jas warna….” Aku ngingat-ingat isi lemari Gavin. ia menatapku dengan kedua mata menyipit.
“…merah…atau coklat. Ah! ada warna crem juga.”
“Kou melhiat barang-barangku?” ujarnya mendekatkan wajahnya.
“Mau bagaimana lagi. Aku harus membuang jasmu dan semua pakaian lain disana. Tentu saja aku meliatnya.” Aku terus menghindari wajanya dan berakir ampir jatuh dari kursi. Dengan cepat ia menarik kembali kursi itu dan dengan setengah memelukku, ia menepuk-nepuk punggungku dengan pelan.
“Berhentilah memikirkannya. Jika tidak berhasil cobala tidur.”
“Aku tak dapat tidur. Setiap aku mrmimpikannya, teragedi itu terasa menghantuiku.”

WORKING: You, Me And CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang