Fomalhout

798 92 16
                                    

Jadilah tabah untuk segala sesuatu yang membuatmu patah.

- Bulan Alexandra Widyanti

°

°

Di tengah banyaknya bintang di langit yang gelap, mampu mendapati seorang gadis terpuruk dengan kardigan tipis membalut menutupi baju pendek di dalam. Melihat pasir laut yang merayapi setiap sela jari.

Menunduk pasrah dengan apa itu takdir. Takdir yang membuatnya menjadi dua orang berbeda. Menggenggam erat kedua ujung kardigannya masih tak mampu membuat amarah seorang gadis musnah. Luka di hatinya seakan terbuka setiap hari, Membuat daging pun tak tahan menampung luka itu. Luka yang semakin di obati malah semakin basah.

Bulan memeluk tubuhnya kaku. Kaku seperti jiwanya saat ini. Ya, dia Bulan. Gadis yang memiliki dua kepribadian saat sekolah maupun dirumahnya. Tegar namun rapuh. Tak semua orang mengetahui itu, menutup rapat sebuah rangkaian jiwa yang berbeda.

Sampai kapan Bulan harus menyembunyikan rasa sakitnya? Ralat, bukan menyembunyikan. Bahkan kedua orang tuanya pun tahu kalau ia tidak baik-baik saja. Tapi mereka tak peduli. Bulan tahu ia lelah, tapi Bulan juga tidak bisa menyalahkan takdir.

Tetesan air mata kembali Bulan rasakan, Bulan saja heran kenapa air matanya tak pernah habis. Padahal ia saja lelah mengeluarkan apa itu air mata. Meluncur dan kembali mengering. Begitu terus.

Semilir angin pantai berhembus kencang hingga tak tahu malunya membuat rambut-rambut Bulan menari. Menari yang malah membuat Bulan semakin nyaman dengan tempatnya. Tak ingin pulang rasanya. Angin itu seakan tahu perasaan Bulan, ia memeluk Bulan dengan dingin yang malah menjadi hangat. Hangatnya sunyi, Bulan nikmati dari alam sebagai temannya.

Bulan tersenyum lemah, saat merasakan angin memeluk tubuhnya erat. Apakah angin peduli atau hanya pura-pura?
"Semesta, lo ga adil buat gue. Lo biarin gue hidup sedangkan orang-orang mau gue mati." bergetar bulan mengucapkannya, dunia seakan tak adil untuknya.

"Lo gak pernah tahu semesta, gimana rasanya gak mau bangun dari setiap kali lo tidur!" Bulan berontak, ia lemah. Bulan sudah tidak asing dengan dirinya yang sekarang.

Bulan memukul angin dengan sekuat tenaganya, seakan angin itu paham akan Bulan. Ia berhenti berhembus. Meninggalkan Bulan untuk bersemanyam dengan seulas tangis.

"Ga nyangka banget ya? Bulan yang sekarang cengeng" Bulan mengusap kedua kelopak matanya, berharap tetesan air mata tadi akan terhenti. Mengering lalu menghilang.

"AAAAA!" teriak Bulan saat tahu sekelilingnya mulai sepi, mungkin karena waktu malah semakin larut. Membuat setiap orang yang berada di pantai berlalu pulang dan beristirahat.

"GUE BENCI, GUE MARAH, GUE SEDIH SEMESTA! SALAHKAH KALAU GUE MINTA DI PELUK PAPA? MINTA DI ELUS DAN DI USAP MAMA?" Bulan kembali berteriak, tak peduli dengan dirinya yang terlihat sangat rapuh. Bulan hanya ingin memberi tahu semesta tentang perasaannya. Lalu berharap semesta akan mengabulkan harapan.

Saat dirumah, Bulan keluar kamar hendak mengambil segelas air mineral. Berjalan layaknya seorang remaja yang baru saja terbangun dari tidur lelahnya.

Setibanya di depan kulkas, Bulan mendapati Alex sedang mengambil air dingin tepat dihadapannya. Katakan bohong jika Bulan tak merindukan sosok ayah di depan matanya. Katakan cengeng pada Bulan saat mendapati wajah damai Alex yang belum tahu keberadaan Bulan yang berada di belakang Alex.

Bulan mematung, memandang wajah damai itu dengan tubuh kaku bergetar. Karena ia sudah terlalu sering memulai perdamaian, Namun Mereka membalasnya dengan mengibarkan bendera perang. Alex kira yang berada di belakangnya adalah Venus, maka dari itu Alex tak bereaksi apapun. Tapi kenyataannya dugaan itu salah.

The Cupu Boy (PEMBARUAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang