1. Radio

150 10 0
                                    

Suara sang penyair, Chairul Anwar membuat semua orang yang mendengarnya terdiam, fokus mencerna satu per satu kata yang telah diucapkannya walau suara dari radio terdengar sedikit keresek, namun itu tak berpengaruh pada keingintahuan Hadi tentang berita ini.

"Tunggu apa lagi? Jepang telah dibom dan sekutu pun belum menguasai bangsa kita sepenuhnya, inilah saatnya bagi kita mengobarkan kemerdekaan Indonesia, tanpa campur tangan Jepang. Tanpa campur tangan pihak luar, kita buktikan jika kita bisa merdeka tanpa mereka, tanpa kaum tersebut kita buktikan kalau kita bisa merdeka. MERDEKA!"

"Sekali lagi saya sampaikan. Jepang telah mundur dari negara kita. Ini saatnya bagi kita untuk lepas dari jeratan para penjajah. Saatnya untuk merdeka, hidup bebas tanpa dijajah. Mari kita buktikan jika kita bukan bangsa lemah yang hanya bisa merdeka dengan iming-iming janji dari Jepang. Kita pasti bisa. MERDEKA!"

Radio buruk miliknya yang terletak di atas meja tak lepas dari pandangan Hadi, memperhatikannya seolah-olah benda tersebut mengeluarkan ekspresi seiring dengan setiap kata yang dikeluarkannya. Ia duduk dengan kedua tangan yang bertautan sambil bersandar pada sebuah kursi kayu bekas almarhum ayahnya, sang pejuang yang telah gugur.

Ketika konsentrasinya terpusat pada berita yang disiarkan oleh radio. Jika benar kalau Jepang sudah kalah, sepertinya ini saat yang sangat sempurna untuk meraih kemerdekaan. Berhubung ada rapat nanti sore, ia akan membicarakan tentang ini dengan Sutan Syahrir dan kawan pejuang lainnya.

Saat tengah asik berpikir, tiba-tiba terdengar suara ibu tercinta yang memanggilnya.

"Nak," panggilnya dengan lembut sambil berjalan menghampiri anak laki-laki kebanggaannya yang tengah serius mendengarkan dan menatap radio di sampingnya.

"Iya, Bu," jawabnya juga dengan lembut.

Ibu merangkul Hadi, "makan dulu, adikmu sudah buatkan tiwul kesukaan kamu." Hadi pun bangkit lalu berjalan menuju dapur untuk menyantap makan siangnya.

"Mana tiwulnya, Yu?" tanya Hadi pada adiknya, Ayu, yang sedang menuang air dari teko ke gelasnya.

"Ada ... abang duduk dulu, biar Ayu siapkan." Setelah meneguk air minumnya, Ayu langsung mengambil piring dan menyendokkan makanan buatannya.

"Dihabiskan, ya, Bang," ujar Ayu saat menyodorkan sepiring nasi tiwul pada kakaknya.

"Yu, tolong panggil ibu, biar makan berdua sama abang."

"Iya, tunggu sebentar, ya." Ayu lalu pergi menghampiri Ibu dan datang kembali dengan Ibu yang berjalan di belakangnya.

Ibu langsung menarik bangku dan duduk bergabung dengan Hadi, sementara Ayu sibuk menyendokkan makanan untuk ibunya.

"Nanti sore Hadi mau kumpul sama yang lain, Bu," ujar Hadi dengan mulutnya yang penuh setelah menyadari ada Ibu di sampingnya.

"Iya, ibu izinkan ...." Ayu menyodorkan piring yang sudah berisi nasi tiwul lalu Ibu menanggapinya.

"Sama Bang Sutan," lanjut Hadi.

"Iya, tapi jangan pulang terlalu malam, ya, Nak," ujar Ibu lembut.

"Iya."

Setelah makan, Hadi langsung bersiap untuk berangkat ke acara rapatnya dengan pemuda lain dan juga Sutan Syahrir sebagai pemimpinnya.

Semuanya sudah siap. Hadi pun keluar rumah dan matanya langsung bertemu dengan kawannya di seberang rumahnya.

"Ey, Ar!" sapa Hadi dengan sedikit berteriak.

Ar, ini adalah panggilan pendek untuk kawannya, Armudi. Dia juga pemuda yang aktif berjuang untuk kemerdekaan bangsa, Armudi orang yang sederhana dan juga berpenampilan apa adanya, alias selaras dengan seleranya, sederhana. Dengan tubuhnya yang proporsional dan juga wajahnya yang lumayan tampan, ia seringkali memikat hati para wanita. Hadi yang parasnya sebelas dua belas dengan Armudi bahkan belum mempunyai seorang perempuan yang ditaksirnya. Bukannya iri atau bagaimana, tapi, ya, hanya memang kata iri yang pantas mewakilkan perasaannya.

Ini Cerita Kita [KELAR ✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang