(Fasal) menjelaskan hukum-hukum wasiat.
Makna wasiat secara bahasa dan syara’ telah dijelaskan diawal-awal kitab “FARAIDL”
Syarat Barang Yang Diwasiatkan
Barang yang diwasiatkan tidak disyaratkan harus ma’lum dan sudah wujud.
Dengan demikian, maka boleh wasiat dengan barang yang ma’lum dan barang yang majhul seperti air susu yang masih berada di kantong susu binatang.
Dan -wasiat- dengan barang yang sudah wujud atau belum wujud seperti wasiat kurma kering dari pohon ini sebelum wujud buahnya.
Wasiat Dari Sepertiga
Wasit diambilkan dari sepertiga harta orang yang berwasiat.
Sehingga, jika lebih dari sepertiganya, maka yang lebih tergantung pada persetujuan ahli waris yang mutlak tasharrufnya.
Jika mereka setuju, maka persetujuan mereka adalah bentuk realisasi wasiat dengan harta yang lebih dari sepertiga.
Jika mereka menolak, maka hukum wasiat menjadi batal pada bagian yang lebih dari sepertiga.
Tidak diperkenankan wasiat pada ahli waris walaupun diambil dari sebagian sepertiga dari harta orang yang berwasiat, kecuali jika ahli waris yang lain yang mutlak tasharruf setuju.
Syarat Orang Yang Wasiat
Mushannif menjelaskan syarat orang wasiat di dalam perkataan beliau,
Hukumnya sah, dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa “hukumnya diperbolehkan”, wasiat setiap orang yang baligh dan yang berakal, maksudnya orang yang berkendak sendiri yang merdeka, walaupun orang kafir atau orang yang mahjur alaih sebab safih.
Sehingga tidak sah wasiat yang dilakukan orang gila, mughma alaih (epilepsi), anak kecil dan yang dipaksa.
Syarat Orang Yang Diberi Wasiat
Mushannif menyebutkan syarat orang diberi wasiat ketika ditentukan di dalam perkataan beliau, “ -wasiat hukumnya sah- pada orang yang bisa menerima kepemilikan”, maksudnya setiap orang yang bisa untuk memiliki.
Baik anak kecil, orang besar, sempurna akalnya, gila, dan janin yang sudah wujud saat terjadi wasiat dengan arti bayi itu lahir kurang dari enam bulan setelah waktu wasiat.
Dengan keterangan “orang yang tertentu”, mengecualikan permasalahan ketika yang diberi wasiat adalah jihah ‘ammah (tujuan yang umum).
Sehingga, sesungguhnya syarat dalam permasalahan ini adalah wasiat tidak pada jalur maksiat seperti membangun gereja dari orang islam atau kafir karena untuk beribadah di sana.
Hukumnya sah wasiat di jalan Allah Swt, dan ditasharrufkan kepada orang-orang yang berperang.
Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa “fi sabilil bir” sebagai ganti “sabilillah”, maksudnya seperti wasiat untuk orang-orang faqir, atau membangun masjid.
Al Isha’ (Mewasiatkan)
Dan hukumnya sah wasiat, maksudnya berwasiat untuk melunasi hutang, melaksanakan wasiat, dan mengurus urusan anak-anak kecil, pada orang yang memiliki lima sifat.
Islam, baligh, berakal, merdeka, dapat dipercaya.
mushannif mencukupkan dari syarat “adil” Dengan bahasa “amanah”. Sehingga tidak sah mewasiatkan kepada orang yang memiliki sifat-sifat bertolak belakang dengan orang yang telah disebutkan.
Akan tetapi menurut pendapat al ashah hukumnya jawaz / sah wasiat kafir dzimmi pada kafir dzimmi yang adil di dalam agamanya untuk mengurusi anak-anak orang kafir.
Orang yang diwasiati juga disyaratkan harus mampu untuk mentasharrufkan.
Sehingga orang yang tidak mampu untuk tasharruf sebab terlalu tua atau pikun semisal, maka tidak sah berwasiat padanya.
Ketika syarat-syarat tersebut terkumpul pada ibu si anak kecil, maka ia lebih berhak / lebih utama daripada yang lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FATHUL QORIB ✔
БоевикFathul Qorib Kitab Fikih Dasar Pesantren Salaf dan Modern Jelas dan Ringkas FIQIH PESANTREN Modern dan Salaf Tatacara wudhu, shalat, zakat, puasa, dan Haji Terimakasih kepada: 1. Meike Budi Saputri 2. Chusnul Farida 3. Mar'atus Sholihah 4. Fira 5. S...