Dua

9.6K 1.2K 143
                                    

Citra menatap deretan manequen yang memakai busana indah di studio milik Janu. Dari pemandangan yang ia lihat, Citra dapat menyimpulkan jika profesi lelaki yang menjadikannya asisten itu adalah seorang desiner.

Janu melempar sekantong plastik pelengkapan menjahit ke meja. Setelah itu ia melepas jaket dan duduk di sofa. Ditatapnya Citra yang masih mengagumi studionya.

Sekarang Janu merasa menyesal. Seandainya ia tidak memaksakan diri pergi ke toko perlengkapan jahit dengan mengendarai motor, tangannya pasti tidak akan terkilir. Tapi bahan yang kurang untuk baju bonekanya itu membuat Janu tidak tenang. Mumpung ini adalah hari Minggu, ia pun memutuskan untuk membeli sisa bahan agar baju bonekanya bisa segera ia selesaikan.

"Maafkan aku, Kia," gumam Janu sambil menatap langit - langit studio dengan mata menerawang.

Meskipun samar, Citra dapat mendengar ucapan Janu. Rasa bersalah kembali muncul menguasainya. Puteri yang menyadari keresahan sang ibu pun kembali menangis.

Citra jadi teringat kebodohannya. Gara - gara keributan yang ia perbuat, Puteri lupa ia susui. Sekarang bayinya pasti merasa lapar.

"Maaf bolehkah aku duduk?"
Janu langsung berdiri dan Citra segera duduk. Tanpa merasa canggung ia segera membuka kancing blouse teratasnya dan mengeluarkan payudaranya untuk menyusui Puteri.

Dengan netranya, Janu dapat melihat benda padat, kenyal yang putih dan mulus itu. Ia terpana dan merasakan sesak di pangkal pahanya.
Semenjak kematian Kia, ia tidak pernah merasa tertarik dengan wanita. Deretan model cantik dan seksi yang memperagakan busana karyanya pun tidak mampu membangkitkan gairahnya. Tapi kenapa seorang Citra yang sedang menyusui anaknya itu sangat menggoda.

"Hey Junior, jangan tergoda. Cintaku hanya untuk Kia!"

******

"Kamu bisa menjahit?" Janu mulai mewawancarai Citra setelah ia menunjukkan kamar untuk wanita itu dan bayinya.

Citra menggeleng. "Aku hanya bisa mengurus rumah," jawab Citra. Hidup dalam kemiskinan membuatnya tidak memiliki banyak ketrampilan.

Citra sedikit beruntung sang nenek masih mampu menyekolahkannya hingga lulus SD. Setidaknya ia masih bisa membaca, menulis dan berhitung. Sedangkan ketrampilan mengurus rumah ia peroleh dari agen yang menyalurkannya menjadi ART. Pekerjaan itu ia dapatkan setelah sang nenek meninggal dunia.

Setelah beberapa kali berpindah majikan, Citra pun bekerja di rumah keluarga Prasojo. Beliau adalah seorang pengusaha berhati mulia yang mau mengangkat derajatnya dari seorang pembantu menjadi seorang menantu.

Namun apalah daya, kisahnya serupa Cinderela yang memiliki batas kadaluwarsa ketika lonceng tengah malam berdentang. Citra juga harus terbangun dari mimpi ketika kedua mertuanya meninggal dunia.

"Sekarang deskripsikan tentang dirimu!"

"Aku Citra, dan anakku bernama Puteri. Pagi tadi aku masih berstatus sebagai istri. Tapi beberapa saat yang lalu aku ditalak dan di usir oleh suamiku."

Janu mengangguk - angguk sambil mengelus dagunya. Mungkinkah perceraiannya itulah yang membuat Citra berniat untuk bunuh diri? Dalam hati ia membodoh - bodohkan lelaki yang telah menceraikan Citra. Jika ditilik dari usia wanita itu yang terlihat masih muda. Mungkin Citra adalah wanita korban pernikahan dini.

"Tugasmu adalah, setiap pagi menyiapkan sarapan dan membersihkan rumah. Kemudian pukul delapan tepat kamu harus membantuku di studio. Pukul sebelas kamu siapkan makan siang dan mengurus anakmu. Lalu pukul satu kamu harus kembali membantuku di studio." Janu membacakan jadwal untuk Citra.

"Ada pertanyaan?"

"Kenapa kau tidak menyuruhku menjadi pembantu saja, jadwal itu memberatkanku." Citra memprotes bos barunya bahkan mendiang mantan ayah mertuanya saja tidak membebani asisten rumah tangganya seberat itu.

"Jangan banyak protes! Itu konsekuensi yang harus kamu tanggung. Tanganku ini sangat bernilai, tahu!" bentak Janu yang membuat nyali Citra menciut.

Seandainya Citra tahu dirinya selamat dari mulut buaya tapi masuk ke gua Singa, ia memilih untuk melompat dari atas jembatan saja.

"Lalu bagaimana dengan anakku? Siapa yang akan menjaganya?"

"Kamu yang menggantikan aku menjahit dan aku yang menggantikanmu menjaga Puteri."

******

Citra berhasil menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu. Ketika masuk ke studio milik Janu, ia melihat pria itu sedang berbicara dengan salah satu pegawainya. Citra menggerutu karena kesal. Jika pegawainya saja ada sebanyak itu, mengapa ia yang awam dengan dunia jahit menjahit harus menggantikan tangan pria yang sedang terkilir itu.

Janu menoleh ke arah Citra. "Kemarilah!" pinta pria itu dengan nada tegas. Dengan langkah ragu, Citra berjalan mendekati Janu dan pegawainya.

"Dia akan mengajarimu menjahit. Berusahalah!"

Citra berusaha menahan tangis saat pegawai Janu sering memarahinya.

"Diajari malah nangis!" sindir pegawai Janu dengan nada sinis.

Citra memejamkan kedua matanya. Efek dimanjakan mendiang kedua mertuanya membuatnya berubah menjadi wanita manja. Karena Citra akui ia sangat merindukan kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tua kandung yang tidak pernah ia rasakan.

Kasih sayang yang ditunjukkan oleh pak dan bu Prasojo bagaikan oase padang pasir yang menyejukan hatinya. Saat itu Citra percaya ada masa depan untuknya. Sayangnya saat kedua orang baik itu pergi, ia jadi sadar jika oase tadi hanyalah sebuah fatamorgana.

"Kamu serius mau belajar tidak? Ingat, kamu itu punya anak. Ada satu mulut yang harus kamu beri makan. Jika kamu tidak mau berusaha, anakmu mau kamu beri makan apa?"

Citra bagai tersadar dari mimpi. Ucapan pegawai Janu yang sangat nyelekit itu benar adanya. Jika ia tidak berusaha? Kelak Puteri akan menjadi apa?

Citra mencoba fokus mengikuti arahan pegawai Janu. Hingga sebuah panggilan yang menyuruhnya untuk menyiapkan makan siang membuyarkan konsentrasinya.
"Sana masak dulu!"

******

Janu sudah selesai makan. Kini ia memperhatikan Citra yang lagi - lagi tanpa merasa malu tengah asyik menyusui anaknya.

"Tetap menjadi mataharinya Mama ya, Nak. Supaya hidup kita bisa lebih baik meskipun tanpa papa."

Janu seolah tersihir melihat pemandangan itu. Seandainya Kia nya tidak meninggal dalam sebuah kecelakaan, mungkin saat ini mereka berdua juga sudah menikah dan mempunyai banyak anak.

Sayangnya rasa mulas yang tiba - tiba menyerang perut, membuat Janu buru - buru berlari ke kamar mandi.

Fix. Janu terkena diare. Ia yang tidak terbiasa makan makanan pedas pun menginterogasi Citra.

"Berapa cabe yang kamu masukkan ke dalam masakan tadi?"

"Cuma dua biji, Mas. Sayur semur tanpa cabe kan kurang maknyus. Lagian masakanku tadi nggak pedas kok," jawab Citra tanpa merasa berdosa. Ia sendiri hanya menambahkan sedikit cabe karena sedang menyusui. Maklum, lidahnya sudah terbiasa makan pedas. Kalau tidak pedas terasa ada yang kurang. Jadi cabe 2 biji tadi hanya sebagai penggembira saja.

Tapi meskipun tidak pedas, perut Janu tetaplah sensitif dengan cabe. Ini salah Janu juga. Ia lupa memperingatkan Citra untuk memasak tanpa cabe. Apalagi rasa nikmat dari suapan pertama itu membuatnya lupa jika ia tidak tahan makan pedas.

"Dam it," Janu mengerang. Lengkap sudah deritanya. Tangan kiri yang terkilir ditambah perut mulas karena diare. Tolong ingatkan Janu untuk tidak mendzolimi janda.

Tbc

Dua bulan tidak menulis, tata bahasaku amburadul. 🤣🤣🤣🤣
Abaikan typo.


Panggung Untukmu (Sudah tersedia ebook di Playstore)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang