W/ Bang Farqa.

215 23 15
                                    


"Kenapa kita ke sini sih, Bang? Kenapa nggak ke caffe kita aja?"



"Di sana ada Adlan sama Mecca."



Aku diam, tak lagi menjawabnya.



"Lo mau makan apa? Lo kan mau cerita tentang hancurnya hati lo, lo butuh tenaga yang banyak, jadinya lo harus banyak makan." Ucapnya yang terdengar meledek.



"Lo tuh ngeledek mulu, Bang, kesel banget gue!" Kesalku sembari menamparnya dengan buku menu yang aku pegang.



"Gue tuh kasih lo semangat, Dek."




Setelah memesan makanan dan minuman, aku mengumpulkan kekuatan hatiku untuk bicara dengan Bang Farqa yang saat ini masih membalas pesan pacarnya.





"Udah belom ngebucinnya?" Sindirku pada Bang Farqa yang terus menerus tersenyum lalu tertawa hanya karena ia sedang chatingan dengan pacarnya.



Memang benar, cinta itu bisa membuat gila. Gila hanya karena chatingan. Entah apa isi chatingannya sampai membuat tertawa.



"Sabar dong. Mentang-mentang cinta tak bersatu jadi sirik gitu."



"Cihhh... bentar lagi juga putus."



Seketika Bang Farqa menatapku dengan mata melotot lalu tertawa. "Akhirnya lo ngedoain mereka putus ha ha ha. Udah sakit hati banget?" Tawanya.



"Lo yang putus bukan mereka!"



"Ckk... sialan lo! Janganlah! Cewek gue yang sekarang udah di restuin Papah. Baru sekarang Papah dukung gue punya cewek." Bebernya.



"Iyalah, dari dulu cewek lo nggak pernah bener." Ketusku. "Dari cewek bondol. Lidahnya di tindik lah. Rambutnya macem ayam esde. Sama yang terakhir pake jilbab tapi badan ke bentuk. Nggak pernah bener lo cari ceweknya." Paparku jelas dengan nada kesal.



Aku memang selalu di minta berkomentar oleh Bang Farqa jika ia punya pacar dan pacarnya tidak pernah ada yang waras, sungguh. Bahkan Buti sampai pusing menghadapi pacar-pacar Bang Farqa.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tinggal KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang