Tambahan.

5K 359 64
                                    

Fyuh! Lelah sekali bermain dengan pistol sore ini. Kukeluarkan segala jurus, demi menembak sesuai sasaran. Ah, aku pamer sedikit kalau aku cukup hebat dalam menembak. Percayalah.

Tapi kali ini aku harus menjalankan peran sebagai Bapak. Dimana aku harus pura-pura kalah di depan anak-anakku. Bermodal ranting kayu yang disulap jadi postol, anak-anakku menodongku. Bukan aku tak mampu membelikan pistol mainan, cuma aku ingin mengenalkan manfaat alam pada mereka.

aku melepas kaos lorengku sembarangan. Masih duduk menyelendeh di kursi rotan teras belakang. Masih ingat? Iya, tempat paling romantis untukku dan istriku tentunya.

Anak pertamaku yang sudah masuk Sekolah Dasar itu menaiki pahaku, mendudukinya dengan mulut cemberut. "Baba nggak seru! Masa nyerah?"

Aku tak menanggapi. Bukan menyerah, tapi kelewat lelah. Baru pulang dari kantor sudah ditarik ke belakang untuk melayani mereka main.

Atthat, anak lelaki keduaku menyusul. Duduk di sebelahku lalu menggelendot, "Baba! Main lagi!" Dia sudah semakin pintar. Usianya sudah hampir lima tahun. Oh, Anakku, jadilah penerusku!

"Stop, Sayang. Baba capek." Kupasang wajah lelah. Mereka malah menyebik, "Ih nggak kuat!" Wah, ajarannya siapa itu?

"Kalau nggak mau main, makanya beri Kak Al adik lagi!" Aku mengecup puncak kepala Alfath. Pintar sekali kau, Nak. Dengan senang hati Babamu akan menuruti apa maumu. Hahaha, tunggu saja.

"Minta sama Allah, ya!"

"Udah, Baba. Al setiap habis shalat di Masjid sama Baba selalu minta. Tapi nggak datang. Yang datang malah adeknya Akbar." Aku terkekeh mendengarnya. "Emang gimana mintanya?"

Alfath menengadahkan tangannya, diikuti oleh Atthar. "Ya Allah, beri Alfath teman baru, adik baru, cowok buat gantiin Baba main tembakan sama perang."

Astaga, anak siapa kamu ini? Kupeluk erat tubuhnya, membuat Atthar mendelik iri. Akhirnya kudekap keduanya sama erat.

"Kalau Adek Atthar doa nggak?"

"Ya. Atthal bilang mau adik yang banyak!" Haduh, mulutnya mencong-mencong kalau ngomong. Atthar mirip Risel. Tingkahnya tak banyak omong, tapi sekalinya ngomong menggemaskan. Tapi tetap, wajahnya sembilan puluh delapan mirip denganku. Ya Allah, tampannya anakku.

Akan kubuktikan kalau aku ini lelaki yang paling bisa membahagiakan mereka. Lelaki pertama yang dibutuhkan oleh mereka. Ck! Lupakan kisah lalu. Aku puas kalian caci. Bukankah aku sudah pernah bilang di awal kalau aku mencintai istriku. Mana bisa aku berpaling? Bodohnya, aku tak pandai menciptakan komunikasi yang baik. Marahi saja aku.

Kalau dulu tanpa sepengetahuanku Risel selalu menangis, tidak untuk sekarang. Aku tak pernah sedetik pun membiarkannya terluka. Siapapun yang melukainya, akan berhadapan denganku. Waktu itu Ayu tak sengaja bertemu dengan Risel di Toko Kue. Aku nggak segan-segan untuk melabrak perempuan nggak tau akhlak itu kalau dia sambai menyakiti istriku. Untungnya tidak. Risel bercerita kalau Ayu hanya menatapnya sinis, tak lebih dari itu. Selamat kau Ayu!

Tiada perempuan lain dengan senyum memabukkan selain Risel. Dia selalu mengantar dan menyambutku dengan senyum. Lelah seharian mengurus anak-anak dan rumah, tetap tersenyum menyambutku. Malamnya dia selalu menawari, "Mau cerita, Mas? Biar aku dengarkan."

Siapa yang mau berpaling dari istri super baik seperti dia? Merugi!

Sebagai ganti air mata yang kuciptakan, aku berusaha untuk membuatnya tersenyum. Tak sungkan-sungkan aku selalu menggodanya, merayu dengan kalimat cinta. Tak peduli usiaku yang lewat kepala tiga.

Hobiku sepertinya merayunya. Pipi merahnya selalu membuatku bangaa. Ah, dia selalu menggemaskan.

Hebatnya lagi, dia selalu berusaha tampil cantik di depanku. Padahal dia memang cantik sekali. Dia memakai daster, tapi... You know lah. Selalu membuatku jatuh cinta dan tentunya menggebu.

ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang