aku akan membacakan sebuah buku tentang kita. buku kosong, sebenarnya. hampir penuh dengan warna putih dan banyak noda. terserah bagaimana kamu mendefinisikan itu; entah suci atau kosong. namun sekali lagi, biarkan aku membacanya.
bagian pertama ialah malam pertama aku menulis tentang kita. saat itu aku berpikir, aku ingin abadi dalam prosa bersamamu hingga nanti halaman ini dijumpai entah oleh siapa. otak imajinatifku sudah membayang pertemuan pertama antara kita; hal yang harusnya biasa saja menjadi konsumsi romansa jika salah satu atau keduanya jatuh cinta. aku hampir saja menautkan tinta jika kucingku tidak menumpahkan kopi yang berada persis di meja yang sama dengan tempatku menulis.
saat itu aku membiarkan halaman itu kering, dan tidak ditinta satu bagian pun.
aku mencoba menulis bagian selanjutnya. melewati bagian perkenalan dan menulis momen bahagia kita. siapa peduli dengan perkenalan, jika kita bisa menghangat karena satu pelukan setiap malam dan perbincangan yang menggelikan perut. tentunya akan jauh lebih baik jika tinta-tinta itu tidak macet dan berhenti bekerja tepat saat kata pertama selesai dituliskan.
aku mencoba menulis dengan hati-hati kali ini; sadar bahwa tinta bisa sesensitif wanita saat masa haid. setelah mengamankan kucing dan puasa minum untuk beberapa jam akhirnya tulisanku bisa dibaca. namun terhenti di detik-detik menjelang akhir cerita dituliskan. mataku teralihkan pada hujan di luar rumah yang baru saja menggantikan tugas si matahari. aku menyambutnya dengan suka cita lantas berlari ke luar dan bermain-main dengan air hujan.
ternyata aku masih membawa buku itu.
tidak terhitung berapa banyak sumpah serapah keluar dari bagian tubuh yang bisa digunakan untuk menyumpahi kejadian-kejadian jelek. aku panik setengah mati saat sadar tinta itu luntur dari buku. tuhan, jika bisa aku mengulang waktu aku akan memilih kucingku menyenggol kopi di atas meja atau pena dengan tinta yang macet.
tapi sepertinya hujan—atau semua elemen—tidak suka melihat buku kosong penuh dengan goresan tinta kasmaran; hujan—mereka—melunturkan ukiranku.
malam terakhir dimana aku mencoba menulis kita adalah malam dimana aku menjelema menjadi paling bahagia. tidak ada lagi malam-malam penuh kesedihan karena tinta yang luntur terus-menerus. tidak ada lagi imaji tentangmu kutuangkan dalam tulisan penuh pengharapan akan kita. aku hanya perlu membubuhkan tanda titik di akhir yang tak sempat dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
vide
Poetryjika kamu melihat sebuah buku kosong yang hanya bisa dibaca olehku, maka buku itu adalah tentang kita. [ warning : lowercase ]