PISAU

3 0 0
                                    

Sinar redup matahari memberitahuku bahwa ini sudah sore. Aku tidak tahu sekarang ada dimana, tetapi rasanya tempat ini tidak asing. Tidak ada orang yang bisa kutanyai juga. Benar-benar sepi. Ah, biar kuceritakan tentang tempat ini, mungkin kalian tahu. Ini seperti sebuah desa yang kecil, sangat kecil. Hanya ada delapan rumah di sini. Sisanya adalah bangunan tanpa tembok yang menyerupai aula atau pendopo. Oh ya, ada juga sepetak tanah lapang yang terlihat tidak rata.

Ada apa sebenarnya? Mengapa aku seakan lupa tentang segala hal? Hal terakhir yang kuingat adalah ...

Ups! Apa ini? Seseorang membekap mulutku. Apa ini semacam skandal penculikan? Tapi seingatku, aku bukanlah anak orang kaya. Hei, aku juga cukup dewasa untuk menjadi korban kasus penculikan.

"Stt ..."

Semuanya gelap. Aku baru sadar bahwa sejak tadi mataku terpejam. Sepertinya orang itu ada di depanku. Bagus, mungkin aku bisa menendangnya atau apapun itu jika dia benar penculik.

"Al?"

Dia mengenalku? Siapa? Ah mungkin hanya tahu namaku. Seorang penculik tentunya tahu sesuatu tentang targetnya, kan? Kubuka mataku perlahan. Tempat ini lebih gelap dari sebelumnya. Mengerjap, aku berusaha mengenali wajah orang didepanku ini.

"Mat?"

Ia mengangguk. Aku memandang sekeliling. Ini bukan seperti kisah sinetron dimana aku bisa bertanya, "Aku dimana?" kepada orang yang pertama kutemui, karena dialog itu hanya untuk adegan di rumah sakit. Sedangkan ini adalah sebuah ruangan dengan penerangan yang minim. Tunggu, ada seseorang lagi di sini.

"Kin?"

Ia mengangguk. Tidak salah, mereka bukan penculik-meskipun telah membawaku ke tempat yang terasa culikable-mereka teman kecilku. Aku bisa mengenalinya. Ada apa ini?

"Kamu ingat Mas Sidar? Kita sedang bersembunyi darinya," jelas Mat setelah kuberi pandangan bertanya.

"Kenapa?"

"Kamu tahu tanah lapang di dekat aula sana? Mas Sidar adalah pembunuh. Lebih tepatnya seorang psikopat. Kukira hanya aku dan Kin yang masih hidup di sini. Untunglah aku menemukanmu lebih dulu dari pada dia."

Aku masih belum mengerti. Mas Sidar adalah pembunuh. Bagaimana bisa? Dan kenapa polisi tidak menangkapnya? Atau penduduk lain bisa mengurungnya, mungkin dipasung seperti hukuman di sinetron-sinetron jaman dulu.

"Sudah kukatakan, kukira hanya aku dan Kin yang tersisa. Seluruh warga telah menjadi korban Mas Sidar. Sisa tubuh mereka dibuang di tanah lapang itu dan ..."
Mat tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia memberi isyarat untuk diam. Uh, bagaimana bisa aku kehilangan ingatanku dan berakhir di situasi seperti ini? Menegangkan.

Sepertinya ada yang lewat di luar sana. Langkahnya sangat hati-hati. Oh tidak, kurasa ia menuju pintu. Aku memandang Mat dan Kin. Mereka juga saling pandang, tetapi seakan mendiskusikan sesuatu lewat tatapannya. Sebelum orang-yang kuduga Mas Sidar-itu mencapai pintu, Mat menempatkan beberapa barang untung mengganjalnya. Ia juga memposisikan dirinya untuk menghalangi pintu. Kin melakukan hal yang sama.

Brak, brak, brak.

Pintu diketuk dengan sesuatu yang menimbulkan suara keras. Kurasa itu sebuah tongkat besar atau balok kayu yang cukup kuat. Mat memberiku isyarat untuk mengambil sesuatu di laci meja. Mengangguk, kulaksanakan perintahnya.
Pisau yang cukup besar. Kepalaku pusing dan telinga berdenging saat melihatnya. Terlihat menakutkan namun juga seru. Ini terasa seperti film-film tentang survival.
Brak, brak, brak.

Terdengar gebrakan keras lagi. Kali ini sepertinya orang itu lebih tergesa. Aku semakin yakin itu Mas Sidar.

"Mat, Kin, aku tahu kalian di dalam. Aku tahu ada Al juga. Cepat keluar!"

Mat dan Kin mempertahankan posisinya. Mereka masih menahan pintu dengan tangan dan barang-barang lain. Jadi Mas Sidar mencariku? Untunglah aku aman bersama Mat dan Kin di sini. Aku mendekati mereka. Pisau masih tergenggam erat di tanganku. Mungkin Mat ingin aku menggunakannya untuk melawan Mas Sidar jika mereka tidak bisa menahan pintu lebih lama.

Jarak kami semakin dekat. Aku sudah siap dengan pisau ini.

"Mat, Kin, dengarkan! Dugaan kalian salah. Bukan aku pembunuhnya." Mas Sidar berteriak lagi dari balik pintu. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus segera melakukan sesuatu.

Tanganku bergerak ke depan. Dalam sekali ayunan, pisau itu telah mengenainya. Bukan, maksudku mengenai mereka. Aku harus berterima kasih pada pisau ini karena telah mengembalikan ingatanku. Sekarang aku aman. Tinggal Mas Sidar yang perlu kubereskan. Oh, haruskah aku membereskan kalian juga, pembaca?

PISAU (1/1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang