Burger

309 27 2
                                    

"Mbak, Bergernya dua berapa, ya?"

"Tujuh puluh ribu."

Terdengar seorang nenek di depan aku mengantri, menanyakan harga makanan.

"Bukannya lima puluh ribu dapet dua?"

"Maaf, Bu. Itu kemarin pas lagi promo, sekarang udah gak ada."

"Ya, udah. Gak jadi, deh." Nenek itu berbalik dengan wajah yang entah, sambil kembali memasukan uang recehan dua ribu banyak. Sepertinya nenek itu mengumpulkan uang lebih dulu, agar bisa membelinya.

"Nek!" panggilku. Nenek itu langsung menoleh padaku.

"Iya."

"Nenek mau makan burger?"

"Nggak."

"Terus kenapa mau beli burger."

Nenek itu tampak sedih, kulitnya yang mulai keriput membetulkan posisi kerudungnya yang sedikit merosot. "Itu, buat cucu. Kasian dia, kemarin-kemarin liat temennya makan burger. Ini nenek baru ada uangnya, tapi udah naik harganya."

Masya Allah. Hatiku langsung terenyuh. Ku minta nenek itu agar mau menunggu sebentar, dengan bingung ia pun menuruti permintaan ini.

Kulangkahkan kaki kembali ke meja pesan, restoran cepat saji itu. Anakku juga kebetulan pesan padaku agar pulang beliin makanan yang seperti ada di film kartun kesukaannya.

"Silakan, Pak," sambut pelayan itu. Dia menunjukkan beberapa varian burger. Aku pun bingung, kupanggil nenek tadi agar mendekat.

Dengan langkah pelan nenek menghampiri.

"Nek, cucu nenek mau burger yang kaya mana." Kutunjukkan menu-menu yang berderet di atas meja.

"Mana aja, kali. Tapi uang nenek gak cukup," jawab nenek sambil melihat isi dompet yang terus digenggamnya. Ada rasa malu dan juga sedih terlihat di wajahnya.

"Uang nenek simpan aja, ya." Kembali pada pelayan restoran, kutunjuk salah satu varian burger dan memesan dua.

"Nenek cucunya sama siapa di rumah?"

"Berdua aja."

"Oh, ada ibunya."

"Nggak, berdua sama adiknya. Ibunya mah, udah gak ada."

Lidahku langsung tercekat, tidak berani tanya lebih jauh.

"Mas ini, semuanya tujuh puluh ribu."

Kubayar dan ambil makanan itu. Lalu kuserahkan pada nenek tadi.

"Lho!" ucapnya kaget. "Kenapa buat saya. Buat Masnya mana?"

"Saya gak makan itu. Ke sini cuma liat-liat," bisikku pada nenek. Ia terlihat mengusap ujung mata, berkali-kali mengucap terima kasih. Aku hanya mengangguk, sama-sama.

Dengan wajah penuh semangat, nenek itu berjalan pulang. Segera memberikan makanan untuk cucunya.

"Mas, yang buat sendiri yang seperti biasa, ya?" tanya pelayan.

"Maaf, Mbak. Gak jadi beli, anak-anak udah biasa makan ini. Maaf, ya."

Baru kali ini hati senang, walau tidak dapat seperti yang diinginkan.

***

"Papah!"

Anak-anak menghambur melihat kepulanganku. Si sulung yang berumur sepuluh tahun langsung melihat cantolan motor, melihat apa yang dibawa ayahnya.

Sedang yang kecil berumur tiga tahun, belum terlalu mengerti hanya melihat dari depan pintu. Menunggu aku masuk.

"Pah, kok beli ini, sih?" protes si sulung, saat melihat kantong plastik tidak sesuai pesanan.

"Hehe, gak apa-apa, Kak. Itu juga enak."

"Pokoknya Kaka mau burger, gak mau serabi!"

Diletakkannya bungkus plastik itu di lantai, dan langsung berlari mencari ibunya di dalam. Adik yang sedang berdiri di pintu kugendong mengikuti kakanya masuk.

"Lagian Papah, anak minta burger malah serabi. Mama juga gak mau kali." Istriku muncul sambil melipat tangan.

"Tadi uangnya gak cukup, Mamah."

Dengan berat hati wanita yang hampir dua belas tahun mendampingi, mengambil bungkusan itu, dan diletakkan di meja.

"Mah, bikin teh manis. Biar enak makan serabinya," pintaku. "Ya, kan Dede. Dede suka serabi gak?" Lanjutku pada si adek.

Dengan penasaran si Ade membuka plastik itu, mengambilnya satu potong serabi dan langsung memasukkan ke mulut. "Enak!"

"Yeah, Dede suka!" seruku riang. Dan anak sulungnku langsung menoleh, rasa penasaran pun menghampiri. Ia pun mendekat.

"Kaka juga mau, dong!"

"Ambil."

Tidak lama ibunya anak-anak datang dengan dua gelas teh manis hangat, di letakkan samping serabi aneka rasa itu. Istri tampak heran, anak-anak pada suka.

"Papah tumbenan beli serabi, biasanya kan burger." Istri duduk sampingku.

"Tadinya mau beli burger. Tapi ...." Mengingat nenek tadi, kerongkongan serasa tercekat.

"Tapi apa?"

"Ada nenek-nenek mau beli burger buat cucu-cucunya, uangnya dua ribuan, semua ada lima puluh ribu. Niatnya beli dua, tapi gak cukup."

"Terus?" Wajah istri mulai tegang.

"Nenek ngumpulin uang dua ribuan banyak, sampai lima puluh ribu totalnya, cuma buat beli burger cucunya dua, yang belum pernah makan itu. Papah gak tega lah, mana itu uang gak cukup, belum tentu nenek itu masih ada uang. Kasian Papah liatnya, gak bisa bayangin kalau nasib kamu tua nanti kaya gitu," jelasku panjang.

Kulihat istriku terdiam, mulutnya yang tadi semangat ngunyah, langsung berhenti.

"Maaf, Mah. Bukan maksud Papah."

"Gak apa-apa. Semoga bisa ketemu nenek itu lagi, ya."

"Mau ngapain?"

"Beliin dia serabi juga, biar tahu. Kalau serabi juga gak kalah enak sama burger."

"Oke!" seru anak-anak, membuat kami tertawa. Terima kasih atas rezeki yang kau berikan ya Allah.

Tamat.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang