Tentang perih, aku teringat sebuah frasa yang tertulis dalam catatan harianku.
It hurts real bad when you know what you want but you just can’t have it.
Begitulah yang kurasakan setiap kali mengenang dirimu… dan kita.
Banyak hal yang kuinginkan dulu. Tapi begitu banyak pula yang akhirnya tak pernah kusampaikan, dan kuwujudkan. Entah apa yang menghalangiku. Dan akhirnya hanya perih yang kurasa.
Aku tahu, atau setidaknya sedikit paham, apa yang dulu selalu menjadi hasrat dan ketakutanmu. Hidup di mana kita lahir dan dibesarkan memang tak selalu nyaman.
Aku tahu kamu bahkan kerap merasa lingkungan itu tak memberimu cukup ruang untuk sayap-sayap hasratmu yang terus tumbuh dan berkembang.
Karena itulah aku paham betul ketika kau pergi begitu saja pada hari itu. Aku memang merasa ada yang tiba-tiba hilang tercabut dari hidupku. Tapi toh kehidupan berjalan terus.
Biarpun setiap malam meranggas dihajar panas sendirian, aku tak bisa begitu saja terbang dan mengikuti jejakmu.
Mungkin aku terlalu enggan meninggalkan lingkungan yang membesarkanku. Barangkali lantaran aku terlalu menyukai segala keriuhan dan kebrengsekannya — sesuatu yang kadang justru menantang dan membuatku bergairah.
Tapi seperti yang kau percaya, aku pun yakin jarak suatu saat kelak pasti bisa dilipat oleh teknologi. Ruang menjadi sesuatu yang relatif. Dan kita menjadi sesuatu yang bisa bersama di mana saja dan kapan saja, meski tak secara fisik.
Pada jarak yang memisahkan mungkin kita justru merasakan keindahan. Setidaknya dalam lamunan.
______________________________________________
Yuk beri support pada tulisan ini, tinggalkan komentar atau vote agar penulis lebih semangat lagi. Terimakasih 🙏🏻
______________________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
SENANDIKA [Monolog]
Non-Fiction[Ongoing] Menceritakan hubungan yang rumit dan kisah hubungan jarak jauh yang berakhir kandas sebab diamnya sebuah hubungan tanpa kata.