2. Cewek Memang Suka Cari Penyakit

9.7K 736 17
                                    

Bagi mereka yang sudah memiliki istri, sebuah bangku di antara sederet sepatu-sepatu atau baju-baju yang dijual di mal adalah harta karun. Dan itulah yang sekarang ini Azka rasakan. Bersama dengan beberapa pria lain yang juga tengah duduk dengan meluruskan kaki mereka, meregangkan otot kaki yang telah dipaksa berjalan berjam-jam untuk menemani sang nyonya. Kalau sekarang Azka sedang berada di area sepatu, maka sang istri ternyata keluar dari area kosmetik. Astaga, Artha sudah keliling sejauh itu rupanya.

"Yuk, aku udah." Artha datang dengan hanya membawa 2 paper bag. Hampir 3 jam berkeliling dan dia hanya kembali dengan 2 paper bag? Apa saja yang sebenarnya ia lakukan selama itu.

"Hm." Azka langsung berdiri dan pergi melewati Artha. Tidak lupa memberi senyum sebentar kepada seorang pria yang duduk di sampingnya.

"Suaminya bosan itu, Mbak," kata si pria kepada Artha yang sudah ditinggal jalan oleh Azka.

Artha hanya membalas dengan tersenyum singkat. Padahal sudah sangat terlihat jelas pula, kalau dia juga bosan kenapa malah mengomentari Azka. Artha yang sudah ditinggal jauh, terpaksa lari kecil untuk menyusul suaminya.

"Maaf, tadi lama." Tanpa basa-basi Artha langsung meraih tangan Azka dan menggandeng lengannya erat.

"Hm."

"Ya udah jangan hm hm aja, Ka. Kan aku udah minta maaf."

Azka menghentikan jalannya dan menghadap sang istri, mengacak rambut Artha sebentar lalu melanjutkan jalan mereka ke sebuah restoran. Azka marah, sedih, bahagia, patah hati bahkan nelangsa sekalipun, dia tetaplah Azka. Ekspresi muka yang dia tampilkan tetaplah kaku cenderung serius. Meski Artha memesan paket full honeymoon dengan Sule sebagai pemandu acara, Artha yakin muka Azka tetap tidak berubah. Suaminya itu, hanya berekspresi ketika mereka sedang eksekusi saja.

"Beneran cuma makan itu aja?" tanya Azka ragu. Istrinya hanya memesan sebuah makanan penutup dan minuman.

"Iya, Ka."

Azka mengangguk. "Ya udah itu aja, Mbak."

Berhubung ini adalah jam makan siang, tempat ini benar-benar ramai dengan pengunjung. Bahkan saat naik eskalator tadi, ada penumpukan orang. Hal yang menjadi wajar ketika weekend di sebuah mal, para pekerja 9-5 akan berbondong-bondong untuk membelanjakan uang yang setiap hari mereka kumpulkan. Bekerja dari Senin-Jumat dan uang akan ludes pada Sabtu dan Minggu. Begitulah siklusnya.

"Kita udah jauh-jauh ke Malang, kamu malah minta mal, Tha."

Artha mendengar dengkusan di akhir ucapan Azka. "Ka ... mau kita jauh-jauh sampai ke Paris pun, kalau nggak masuk ke mal mereka buat belanja, itu belum afdol."

"Kalau mal di tempat kita aja udah banyak, mal di pinggir kota juga udah ada." Azka menghembuskan nafas pelan untuk menjeda kalimatnya. Berdebat hal receh dengan Artha di hari ke-empat pernikahan mereka, bukan hal yang menarik sebenarnya.

"Kamu nggak tahu sense of belanja, Ka," Artha mencubit pipi Azka gemas. "Cowok mana yang paham begituan? Lagian dari kemarin kita juga udah kemana-mana, sampe ke Batu pula. Terus sekarang aku mau yang agak santai, salah?"

Debat argumen dengan wanita terkait hobi lumrah mereka adalah kesalahan besar. Wanita dengan belanja adalah mutlak. Namun masalah yang selalu terpikirkan Azka adalah untuk apa jauh-jauh ke kota orang hanya untuk berakhir di Mall.

Namun mau bagaimanapun wanita tetaplah wanita dan Artha tetaplah Artha. Susah didebat.

"Ka, habis ini kita keliling ke kampusmu, ya? Aku pengin tahu."

Azka menghentikan gerakan mengunyahnya, bukan karena pasta yang dimakan tidak enak, tapi karena ide yang keluar dari mulut Artha. Bisa-bisanya setelah keliling satu mal tidak membuat kakinya lelah. "Ngapain? Nggak usah."

Pillow Talk | Pindah StarrywritingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang