4. Masa Ikut Kita Ke Rumah?

5.6K 646 8
                                    

Azka mengecup kening sang istri yang sudah lemas karena dirinya. Merebahkan tubuh ke samping dan memberi pelukan hangat ditambah dengan usapan di punggung Artha. Azka and his habit, such a gentleman.

Pelukan dan usapan dari Azka, membuat Artha merasakan hangat yang luar biasa. Menenggelamkan kepala ke dada bidang sang suami, Artha merasa benar-benar dicintai. Menghidu aroma tubuh mereka secara bersamaan, Artha yakin pernikahannya dengan Azka akan bahagia.

Dalam pernikahan, yang pertama memang cinta. Namun seterusnya hanya komitmen. Jika cinta sedang turun, komitmen bisa menguatkan hingga naik kembali. Namun jika komitmen turun mau cinta setinggi apapun, sebuah pernikahan bisa goyah. Dalam usahanya untuk tertidur, Artha teringat ucapan satu novelis dalam peluncuran buku dari karya terbarunya. Buku yang membahas cinta, pernikahan dan komitmen. Buku yang saat ini berada di antara buku-buku lain di sudut kamar. Awalnya Artha membeli buku itu hanya untuk bacaan saja, tentang dirinya yang akan menikah, waktu itu. Dan sekarang, buku itu bukan hanya bacaan, tapi juga pembetulan dari cara pandang dan sikap dirinya setelah menikah.

"Tidur, Tha." Suara Azka yang sudah sangat berat membuat Artha kembali mendongak.

"Belum ngantuk, lagian kamu kok langsung tidur? Ajak aku ngobrol dulu. Pillow talk."

Omelan Artha hanya dibalas dengan gumaman oleh Azka. Namun perlahan disertai usapan di punggung Artha yang berubah jadi tepukan pelan.

"Tha, kamu tahu? Setelah bercinta itu, pria mengeluarkan endorfin yang banyak, hormon yang bikin bahagia. That's why setelah happy sebanyak itu, kita kecapekan dan akhirnya bisa langsung tidur."

"Ya, bentaran, aku belum ngantuk," protes Artha. "Kita omongin ini aja bentar. Kita mau punya anak berapa?"

Artha membenarkan posisi tidurnya untuk lebih sejajar dengan kepala Azka. Dengan raut muka Artha yang terlihat sangat penasaran, Azka mendengkus pelan. Sang istri rupanya benar-benar ingin mengajaknya ngobrol.

"Sedikasihnya." Azka menggantung kalimatnya. "Tapi untuk sekarang, satu dulu kali, ya?"

Artha tertawa, mengecup pelan pipi Azka. "Ya, iyalah satu dulu, mana bisa langsung dua? Kecuali kalau gen dari Mbah Putri turun ke aku, bukan cucu yang lain."

Mata Azka yang sudah tinggal setengah watt sedikit terbuka mendengar ucapan Artha. "Kamu ada keturunan kembar?"

Artha mengangguk. Nenek dari pihak sang papa adalah kembar dan turun pada sang tante dan om yang kembar dampit. Karena sang papa hanya tiga bersaudara jadi kemungkinan gen itu akan turun ke sang cucu.

"Kamu mau kita dapet anak kembar, Ka?"

Sekarang mata Azka sudah tertutup sepenuhnya, walau begitu dia masih berusaha menjawab pertanyaan Artha, "Yang penting sehat. Lahiran itu penuh perjuangan, jadi mau satu atau dua, atau tiga sekalian, yang penting kamu dan anak kita bisa sehat dan selamat."

"Kok kamu udah fasih banget? Kayak udah pernah ngerasain lahiran aja."

"Ngawur kamu." Azka menepuk pelan punggung Artha. "Bukan aku yang lahiran, tapi Mba Niar. Aku nemenin dia waktu lahiran Dio."

Niar adalah kakak perempuan Azka. Memiliki suami seorang pilot membuat dirinya sering ditinggal pergi selama berhari-hari, bahkan ketika kelahiran anak pertama mereka.

"Walaupun aku bukan Mas Wisnu, tapi lihat Mba Niar yang nahan sakit sampai berjam-jam, buat aku ngeri dan nggak tega sendiri. Dan aku belum bisa bayangin itu ke kamu."

Artha tersanjung. Ia mengeratkan pelukan kepada Azka memberikan kenyamanan untuk bersama. "Kodrat wanita, Ka. Itu hebatnya kami."

"Hm."

Pillow Talk | Pindah StarrywritingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang