***
Lapangan dengan panjang 28 meter dan lebar 15 meter, menjadi tempat berkumpulnya siswa dari tiap kelas. Belum lagi suara gaduh dari pinggir lapangan dengan teriakan menyuarakan yel-yel yang hampir saja bisa ia hapal.
Dentuman dari bola basket menabrak papan ring memancing keributan lain. Tak jarang, siswa laki-laki menggeram dan berteriak kesal karena kapten dari tim mereka gagal memasukkan bola tersebut.
Kirani Jovanka, duduk pada kursi panjang berbahan semen yang keberadaannya tidak jauh dari lapangan basket. Netranya mengedar mengikuti pergerakan kapten basket dengan seragam corak hijau tua, nomor punggung sebelas tercetak jelas di sana. Semakin sering ia memantulkan bola di tangannya, semakin histeris pula siswi-siswi yang mengagumi anak laki-laki itu.
Setelah seminggu para siswa menjalani ujian penilaian akhir semester (PAS). Akhirnya, seperti biasa sekolah akan mengadakan class meeting. Satu kegiatan yang membangun kerja sama antar teman.
"Kiran!" teriak si kapten basket melambaikan tangannya dengan heboh saat menemukan keberadaan Kirani.
Trishan Sakhala, anak laki-laki berusia enam belas tahun itu, sudah banyak menghabiskan waktunya bersama Kirani. Menjadi sahabatnya sejak masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, menemani dan melewati semua badai yang si gadis punyai.
Kirani mengangsurkan satu botol minuman isotonik pada Trishan. Tidak ada alasan bagi anak laki-laki itu untuk menolak, apalagi yang memberi sahabat yang ia sayangi.
"Gimana? Menang nggak?" tanya Kirani saat Trishan sudah benar-benar menjatuhkan bobotnya di bangku sebelahnya.
Trishan menjauhkan botol minum dari bibirnya setelah meneguk air berwarna putih keruh tersebut. Sensasi sedikit asam mewarnai indera pengecapnya.
"Menang dong, tapi masih harus tanding di final lagi," jelasnya sembari melanjutkan meminum.
Trishan mengubah posisi duduknya, sedikit menyerong menghadap Kirani. "Seruni dan Seno jadi datang?"
Kirani menggeleng lemah, dua nama yang Trishan sebutkan adalah teman masa kecil Kirani, jauh sebelum ia mengenal sosok Trishan. Gadis itu sangat merindukan kedua temannya, ia berharap bisa bertemu mereka lagi. Bisa memperkenalkan Trishan pada temannya tersebut.
Tangan Trishan terulur mengusap puncak kepala Kirani, mengacak-acak poni si gadis berambut sebahu tersebut. Kemudian kembali berujar, "Nggak apa-apa. Mereka pasti punya alasan kenapa mereka pergi."
Gadis itu menarik garis senyum samar. Meski samar, tetapi tetap saja manis di mata Trishan. Katanya, senyum Kirani lebih manis dari cokelat yang meleleh di atas kue brownies.
"Omong-omong, nanti sore jadi, kan? Kita ketemu papaku di kliniknya."
Kirani mengangguk. Ia ingat bahwa hari ini sudah ada janji bertemu dengan papa sahabatnya ini. Setiap bulan, anak laki-laki itu meminta pada papanya untuk mengosongkan satu hari khusus untuk bertemu Kirani. Betapa istimewanya persahabatan yang mereka jalin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Das Marchen
Historical FictionDas Marchen adalah sebuah dongeng dalam bahasa Jerman. Tempat ini adalah kumpulan cerita pendek yang akan saya tulis.