37. Papa

184 26 21
                                    

Dua hari sudah deka tertidur pulas di ruangan ICU. Seiring dengan perkembangannya yang mulai membaik dari layar komputer yang menghubungkan dengan detak jantungnya, kini deka sudah mulai melewati masa kritisnya. Hanya saja menunggu waktu, untuk deka kembali pada kesadarannya.

Botol infus yang hampir setengah itu, terus mengalir dengan perantara selang yang di tancapkan di punggung tangannya. Juga, hidung dan mulutnya yang masih tertutup oleh alat bantu pernafasan. Matanya, yang terpejam perlahan terus bergerak ke kiri dan kanan, di sertai jari-jarinya juga yang berkutik.

Setelah cukup lama dengan pergerakan itu, deka mulai membuka kelopak matanya. Cahaya lampu terang yang menerangi ruangan serba putih itu pertama kali masuk ke dalam retina matanya. Sejenak ia mengerjapkannya beberapa kali, dan berujung menatap langit-langit ruang ICU.

"Dokter pasien sadar". Seru salah satu perawat yang kebetulan tengah memeriksa keadaannya bersama dokter yang biasa menangani deka.

Dokter itu segera menghampirinya dan mengecek keadaan deka dengan stetoskop yang ia kenakan di telinga dan alat pendektesinya di dada deka.

"Pasien sudah melalui masa kritisnya sus. Segera beritahu keluarganya". Suruh dokter pada suster yang mengangguk.

Di luar ruangan ICU, sudah ada fika dan bobby yang setia menunggu deka di kursi tunggu. Terlihat juga, mata fika yang bengkak karena dua hari ini juga ia tak henti-hentinya menangis dengan keadaan deka.

Suster membuka pintu, dan menghampiri keduanya.
"Keluarga Deka Ramadian?". Kata suster pada mama deka.

"Iya sus. Saya mamanya". Sahut fika sambil berdiri.

Suster tersenyum tipis dan mengangguk.
"Pasien sudah melalui masa kritisnya bu, dan sekarang dia juga sudah sadar. Kalo ibu mau menemuinya, bisa nanti di ruang rawat setelah di pindahkan". Kata suster.

Fika menghela nafas panjang dan bersyukur mendengar kabar baik ini, begitu juga bobby yang tersenyum lantas mengusap pundak fika lembut. Setidaknya, deka sudah melalui masa-masa kritisnya dan itu membuat dirinya sedikit lega. Anak satu-satunya itu, yang sangat ia sayangi.

"Baik suster. Saya akan segera menemui anak saya". Balas fika yang di angguki suster.

Setelah menunggu cukup lama, deka kini sudah di pindahkan ke ruang rawatnya. Seperti biasa, ruang rawat itu hanya deka sendiri yang menempati karena fika memang selalu memesan kamar VVIP.

Fika masuk ke dalam kamar deka sendirian, karena bobby pamit untuk mengisi perut terlebih dahulu di kantin rumah sakit. Di lihatnya, deka yang sudah duduk bersandar di brankar yang sedikit di naikkan agar deka merasa nyaman dalam posisinya. Namun, tetap saja selang oksigen masih terpasang di hidungnya.

Fika menyunggingkan senyumnya dan mendekati deka.
"Alhamdulillah akhirnya kamu sadar sayang". Kata fika mengusap lembut rambut deka.

Deka hanya diam, tatapannya menuju ke arah jendela dengan tatapan kosong. Fika yang menyadari itu, hanya tersenyum tipis dan duduk di bangku samping ranjang deka.

"Mau minum gak? Biasanya kamu haus kalo udah lama tidur panjang". Tawar fika mencoba mengajak anaknya berbicara.

Namun, tetap saja deka masih bungkam. Bahkan ia enggan untuk menatap sang mama.

Fika menghela nafasnya panjang.
"Mama tau kamu marah sama mama. Tapi, asal kamu tau deka. Mama menutupi itu semua karena mama gak mau buat kamu sedih". Ucap fika. "Mama sebisa mungkin, buat kamu selalu senang jalani hari-hari kamu seperti biasanya. Main sama teman-teman kamu, jemput pacar kamu, ngajak pacar kamu jalan-jalan, semuanya mama lakuin biar kamu gak sedih sayang. Tolong mengerti ya". Bujuk fika dengan lembutnya.

Romantic (Donghyuk-Lisa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang