Langkah 1 - Ih, Gemas!

1.4K 108 8
                                    

🎶

"Kamulah detakan nyawa pada tiap denting nada yang kucipta."

.
.
.

"ADITHHH!!!"

Lengkingan suara nyalang seketika menusuk ke dalam rongga telinga, berasal dari Pak dosen bermuka masam saat semua jurnalnya berhamburan di lantai koridor.
Bahkan, rata-rata dari mereka menjadi lusuh, terbercak oleh noda kopi susu yang sengaja Adith bawa untuk Adin.
Namun, jadi gagal melenggang lancar di kerongkongannya, sebab itu sudah jatuh terlebih dulu --saat gadis itu menginjak sendiri tali sepatunya yang terlepas, hingga berakhir menumbuk tubuh Adin dan membuat keduanya hilang keseimbangan.

"Sekarang jika sudah begini, apa kamu mau tanggung jawab?!?" Netra Adin benar-benar tajam, menghunuskan kemurkaannya di pagi ini.

Maka, gadis itu hanya akan terus meladeninya tanpa rasa jengah apalagi sakit hati. "Tidak akan terjadi jika Bapak tidak menolak kopi pemberian saya tadi, tinggal diterima lalu bilang 'iya, makasih' aja susah banget." Bibir Adith cemberut lucu. "Lagipula saya hanya menyodorkan minuman bukan menodong untuk menikah dan melegalkan hubungan. Dan, Bapak juga tidak perlu khawatir, segala apa yang saya kasih tidak akan pernah mengandung pelet atau sejenisnya, apalagi sianida," ocehnya pelan kemudian, dengan panjang kali lebar.

Adin mengembuskan napasnya teramat lelah, entah dia harus berbicara berapa juta kali lagi pada mahasiswinya ini yang terus saja berusaha memberinya perhatian kecil. Terhitung sudah berjalan tiga semester sejak hari di mana Adith tanpa ragu, akhirnya, mengakui bahwa dirinya memang menaruh rasa ketertarikan sebagai lawan jenis pada Adin.

Padahal, kontrak perbaikan nilai yang mereka sepakati telah rampung di semester lalu, setelah dengan bujuk rayu Adin, Adith betulan serius menyelesaikannya. Dengan harapan lain, interaksi mereka akan jadi berkurang. Sayangnya, itu tidak mengubah banyak keadaan, justru membuat gadis itu semakin bebas sebab tak lagi bisa diancam dengan ketertinggalan. Benar, Adin telah kehilangan senjatanya. Benar-benar, simalakama!

Memijit pelipisnya, laki-laki berdarah jawa tanpa campuran ini spontan menunduk, membereskan kembali bawaannya yang sudah tercerai-berai amat mengenaskan. Gerakan tangannya begitu lincah sebab dia sangatlah benci melihat ketidakteraturan dalam waktu yang lama.

"Sini deh saya bantuin kalau gitu," ucap Adith lembut seraya berjongkok, akan turut menumpuk sayang jurnal milik Adin untuk kembali ke dalam boksnya.

"Tidak perlu! Tangan kamu hanya akan menambah 'tragis' mereka," ketus Adin menghalau tangan gadis itu tanpa menoleh sedikitpun.

Kedua tangan Adith langsung mendekap di atas lutut, sementara bibirnya mengulas senyum dengan kepalanya yang sedikit mendongak agar dapat membingkai utuh wajah kesal yang teramat lucu baginya itu. Wajah pria matang yang juga menyiratkan kesan keimutan di waktu bersamaan. "Tadi katanya disuruh tanggung jawab, giliran mau dibantuin malah tambah marah, gemesss ih Bapak."

Lelaki itu terbelalak. "Adith! Jaga sikap kamu yaa!" Bisikan penuh penekanan itu pun terdengar

"Iya iyaa." Lalu, dengan hiperbola Adith merogoh ponsel dan membuka catatan kramat di dalamnya. "Ini sudah ke-765 kali loh Pak Adin bilang seperti itu. fyi saja."

Kembali lelaki itu bereaksi menaikkan sebelah alisnya, benarkah gadis di hadapannya ini serius menghitung itu? Kurang kerjaan!

Memeluk erat kotak biru tua miliknya di depan dada, dengan langkah lebar-lebar Adin beranjak menuju ruangannya, tak ada minat banyak menanggapi lebih lanjut gadis yang belum genap berusia 21 tahun itu. Gadis yang secara kasat mata mempunyai wajah cantik, namun tertutupi oleh penampilannya yang terlalu cuek dan santai.

Mengejar Mas DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang