Seorang anak perempuan dengan rambut hitam legam duduk di depan balkon kamarnya, memandangi beberapa bintang yang ada pada langit malam saat itu. Telinganya mendengar teriakan dari luar kamar, tepatnya dari lantai bawah rumahnya. Malam ini, anak perempuan itu kembali mendengar hal-hal yang seharusnya tidak ia dengar. Malam ini, anak perempuan itu kembali mendengar pembicaraan penuh emosi yang seharusnya tidak ia dengar. Malam ini, malamnya kacau. Oh, mungkin tidak hanya malam ini, tapi sudah 6 bulan ini malamnya selalu kacau.
Ia bangun dari duduknya saat ini, melangkahkan kakinya masuk ke kamar. Berjalan mendekati saklar lampu, mematikannya. Kemudian berjalan menuju tempat tidurnya, menarik selimutnya sampai menutupi seluruh bagian tubuhnya dan berusaha terlelap ditemani dengan teriakan-teriakan marah dari orang tuanya.
--
Anak perempuan itu kini sudah tumbuh menjadi gadis dewasa. Dia tubuh dengan sangat baik, dia tumbuh menjadi gadis dewasa yang sungguh cantik. Rambut hitam legamnya masih sangat menawan, senyumannya sangat mempesona, juga cara dia tertawa terdengar sangat menyenangkan. Dia benar-benar tumbuh dengan baik dalam kesendiriannya.
Matanya menyusuri sekitar tempatnya berdiri, mencari teman-temannya. Ah, sebelumnya, perkenalkan, gadis dengan tawa menyenangkan ini bernama Naila Leta Lovata. Dia seorang murid kelas 11 di salah satu SMA Swasta di Jakarta. Sedikit gambaran lagi tentang dirinya, tubuhnya tidak terlalu tinggi, tidak juga terlalu pendek, dia ada pada rata-rata.
"Naii!!" panggil seseorang dari balik tubuhnya.
Ia menoleh, menghembuskan nafas lega karena akhirnya temannya menemukannya, "Raaaaa!" sapanya balik, "kelas kita dimana sih?" lanjut ia bertanya.
Dia menunjuk salah satu gedung, "disana, di lantai tiga."
Naila mengangguk, kemudian mulai berjalan menuju kelas barunya. "kalau disana, berarti koridor kita nyambung sama gedung kelas 12 IPS dong?" tanyanya.
Kali ini temannya yang mengangguk, "iyaa, gua tau lo gak suka."
Naila hanya sedikit tertawa, "bukan gak suka, hanya terlalu berisik aja. Yang lain mana, Ra?"
"udah pada di kelas, tumben ya? Haha biasanya lo yang selalu dateng duluan." Ia tertawa menanggapi kalimat dari Rara.
Rara Latashia, satu-satunya teman Naila sejak sekolah dasar, entah kebetulan atau hanya takdir, tapi mereka selalu masuk kesekolah dan kelas yang sama.
Naila mengedarkan pandangannya, kemudian pandangannya jatuh pada seseorang yang berada pada gedung yang akan segera ia datangi. Matanya menatap seseorang diatas sana, tatapannya kebingungan. Laki-laki tersebut menatapnya juga cukup lama, kemudian setelah itu dia berhenti menatap Naila dan beranjak dari posisinya sekarang.
"kenapa, Nai?" Tanya Rara, Naila menoleh sembari tersenyum simpul, "gak apa-apa. Tadi disana," tunjuknya, "ada Andera, ngeliatin kita."
"Andera Dinata?" Tanya Rara memastikan, yang dibalas dengan anggukan.
"ngapain ngeliatin kita?"
"gak tau, gua kan bukan cenayang."
"oh iya bener."
Andera Dinata. Seorang siswa laki-laki kelas 12 yang cukup membuat semua orang penasaran karena pembawaan karakternya yang cukup misterius. Tidak berbicara kalau tidak penting. Sekali bicara, ia membuat sakit hati lawan bicaranya. Tapi anehnya masih banyak adik kelas bahkan teman seangkatannya yang menyukai dia. Andera juga seseorang yang mampu membuat lawan bicaranya terpikat dengan cepat, entah apa yang ada dalam dirinya.
--
Naila akhirnya sampai pada kelas barunya, hari ini hari pertama sekolah setelah libur cukup panjang. "Gua duduk sama Angkasa." ucap Naila begitu sampai pada kelas dan melihat Angkasa duduk sendirian.
"Gua gak ingin duduk sama lo."
"Gua gak peduli." jawab Naila yang langsung duduk disamping Angkasa.Angkasa Mahendra. Teman Naila sejak Sekolah Menengah Pertama. Tinggi, manis, tetapi menyebalkan.
Angkasa menatap Naila, "apa?" tantang Naila.
"pindah, Nai."
"gua udah jawab, Kasa."
"susah ngomong sama batu."
"susah ngomong sama domba." balas Naila.
Rara yang duduk didepan mereka berdua menoleh kebelakang, "bisa diem gak? baru hari pertama jangan pake berantem kek." omelnya.
Angkasa mendelik, "temen lo, batu."
Naila juga ikut mendelik, "temen lo, domba."
"AH UDAH DEH DIEM."--
"Der, sore nanti lo langsung cabut atau mau ikut?"
Andera hanya menatap Rio, menunggu Rio melanjutkan kalimatnya. "maksud gua, ikut ngumpul sama bocah di tongkrongan."
Andera hanya menggelengkan kepalanya, tanda ia menolak untuk ikut. Rio menganggukan kepalanya tanda ia mengerti."Yo." panggil Andera tiba-tiba, "nape?" sahut Rio.
"lo ada kenal adik kelas kita, anak kelas 11 Ipa?"
"Ipa berapa?"
"gak tau."
"lah. apaansi." jawab Rio sewot.
"satu koridor sama kita."
"ohh, gak tau. kenapa emang?" tanyanya polos, Andera memilih untuk tidak menjawab lagi, percuma pikirnya.Andera tidak mengerti kenapa ia tiba-tiba saja ingin tahu tentang adik kelasnya tersebut. Tadi ia hanya tidak sengaja melihatnya, tidak sengaja memperhatikannya, namun saat Naila melihat juga ke arahnya, Andera tidak mengerti kenapa ia jadi seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
What I Can't Say
Teen FictionSejujurnya, saya belum nemuin rangkaian kata yang pas untuk ditulis disini, saya belum nemuin kalimat-kalimat yang cocok untuk mendeskripsikan tulisan saya. Yang jelas, ini adalah cerita klasik yang semoga saja mampu saya buat menjadi unik ya? saya...