KARENA ACARA SEKOLAH (01)

8 2 0
                                    

TRAGEDI

'Dingin mungkin menyelimuti bersama dengan air hujan yang jatuh menghantam sebagian kecil dari bumi, tapi tubuh ini tak merasakan dingin, bersama balutan tawa, aku, kamu, kalian dan mereka, semuanya berubah hangat dalam waktu seperkian detik'.
5 Februari 2010

"Itu saat acara festival musik tahunan di sekolah bukan?" Gadis dengan balutan baju yang bermodel sama dengan adik kembarannya itu bertanya, atau lebih tepatnya memastikan jika teman-teman disekelilingnya tidak kehilangan suara mereka setelah dua jam penuh seluruh ruangan yang didominasi warna hitam dan putih yang mereka tempati saat ini senyap tanpa suara.

"Semua orang di sini tahu jika yang kau tanyakan adalah pertanyaan bodoh," celetuk sang adik setelah helaan napas berat terdengar nyaring sebelumnya.

Semua mata mengarah pada sang pemilik helaan napas setelahnya, saling menatap sebelum pada akhirnya saling menunjukkan senyum tipis. Benar apa yang dikatakan sang kakak, foto dan beberapa deretan kalimat yang tertulis di atas buku itu diambil saat acara festival musik tahunan di sekolah mereka beberapa bulan lalu.

Pukul tujuh pagi bertepatan pada tanggal 5 Februari, gerbang sekolah tertutup rapat tanpa membiarkan satu orang pun masuk kecuali mereka yang telah memiliki tiket masuk yang sudah dijual para panitia acara jauh-jauh hari sebelumnya. Sepatu kets putih dengan kerudung berwarna lembut bersatu padu dengan indah membalut tubuh seorang gadis yang membiarkan tubuhnya bersender pada dinding di depan gerbang sekolah, empat gadis lainnya berjongkok tak jauh dari tempatnya, mereka sudah membuat janji untuk masuk bersama semalam.

"Sepertinya kami masuk lebih dulu, beberapa kakak kelas di grup ekskul sudah merecoki junio-juniornya ini untuk siap-siap membuka acara", celetuk salah satu dari mereka yang dijawab anggukan kepala oleh gadis berkerudung hitam di sampingnya.

"Uuu yang mau tampil pertama, semangat!" Itu suara Amel, senyumnya merekah dan hal itu berhasil menularkan senyum pada teman-temannya yang lain.

"Mau tetap menunggu yang lain datang di sini? Lebih baik menunggu di dalam, beberapa menit lagi kita dikira tidak punya tiket untuk masuk."

"Lima menit lagi deh."

"Ya sudah, kita duluan."

"Semangat Lisa, Dila. Jangan kecewakan abang-abang kalian di Korea Aelatan sana!" Itu Nina, gadis kembar yang sedari tadi membiarkan tubuhnya bersender pada dinding.

"Idih apaan abang? Bukan abang, tapi calom suami," Lisa menyangkal, matanya yang bulat melirik sinis ke arah Nina sebelum tertawa dan masuk ke dalam sekolah setelah mempertihatkan tiket mereka dan diperiksa oleh panitia pasal isi tas punggung yang mereka bawa.

Masih di tanggal yang sama dengan jam yang berbeda. Pukul empat sore tepat pada saat puncak acara, hujan mengguyur sebagian kecil dari bumi ini. Puluhan remaja tanggung di bawah pangung itu tidak menghiraukan baju dan tubuh mereka yang basah terkena guyuran hujan, alunan gitar, bas, drum dan suara sang vokalis yang menjadi bintang tamu utama menggema di lapangan yang setiap hari senin dijadikan tempat upacara bendera.

Udara dingin pecah oleh teriakan para penonton, genangan air di lapangan ikut berjoged bersama para remaja pria yang sibuk berloncat-loncat di atasnya. Sepuluh gadis diantara puluhan remaja tanggung itu, lebih tepatnya Nina, Neni, Amel, Lisa, Dila, Destia, Sani, Ira, Mila dan Febri ikut bernyanyi bersama yang lain meski boleh dikatakan jika mereka tidak tahu lagu apa yang mereka nyanyikan, semua yang keluar dari mulut mereka saat ini hanya mengikuti kegembiraan yang mengelilingi mereka.

"Ini menakjubkan!" Destia berseru dengan sisa tawa bersama Neni yang berdiri di sampingnya, keduanya saling bergandengan, mengajak yang mainnya untuk saling berpegangan tangan dan berloncat-loncat di atas lapangan yang becek.

Namun siapa sangka akan ada tragedi setelah acara festival musik yang diadakan sekolah selesai. Saat para remaja itu keluar dari gerbang sekolah semuanya masih baik-baik saja, namun satu jam setelahnya duka menyebar dipenjuru sekolah, berita akan kecelakaan seorang gadis berhasil merenggut kegembiraan selama satu hari penuh di tanggal itu, terutama sembilan gadis berumur lima belas dan enam belas tahun yang merasa mati rasa begitu mendengar kabar salah satu dari mereka telah pergi untuk selamanya.

"Seharunya acara itu tidak pernah ada," satu gerakan berhasil menutup buku yang tergeletak di depan sembilan gadis yang sejak dua jam yang lalu tertunduk lesu, delapan pasang mata menatap sang pemilik tangan yang telah menutup buku dihadapan mereka tanpa aba-aba dengan tatapan hampa. Seruan Neni beberapa detik lalu benar adanya, dan tentu saja hal itu dibenarkan oleh yang lainnya.

"Kalian kenapa? Aku minta jangan bersedih lagi untuknya," seruan dari arah pintu membuat sembilan pasang mata itu menoleh dalam waktu kurang dari satu detik. Sudut bibir mereka tertarik membentuk senyum, bukan senyuman penuh kegembiraan seperti tahun lalu melainkan senyuma hampa karena saat ini dan kedepannya akan ada bagian kosong saat mereka semua berkumpul bersama.

"Kalian terlambat Puri, Ayu," ucap Sani dengan menggeser posisi duduknya dan menyisakan bagian kosong untuk dua orang yang baru saja datang tadi. Mereka adalah Puri dan Ayu, dua gadis yang bersekolah di sekolah yang berbeda dengan yang lain.

"Maaf," ucap Ayu setelah mendudukan tubuhnya di atas karpet putih yang tergelar di lantai.

"Baiklah, karena semuanya sudah hadir kita akan mulai acaranya. Semoga Destia dapat melihat semua ini di tempatnya".

●●●

Fade AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang