Three

222 17 0
                                    

Sesampainya dirumah, Maudy segera menuju ruang keluarga mencari Yasmin,ibunya. Setelah mengucapkan salam dan mencium kedua pipi ibunya, Maudy segera berlari menaiki anak tangga menuju ke kamarnya di lantai dua. Manisnya bau vanilla langsung tercium ketika pintu jati berwarna coklat dibuka. Maudy sengaja berdiri di pintu kamarnya sekedar untuk melihat dekorasi kamar barunya. Salah satu dindingnya ditempeli berbagai macam hasil gambaranya. Kamar bernuansa soft chocolate itu dilengkapi dengan tempat tidur berukuran king size yang berlapis seprei krem dan sebuah meja belajar lengkap dengan rak bukunya. Tak hanya itu, di kamar ini juga terdapat sebuah tv flat berukuran 21” dan sebuah kamar mandi. Ia tak henti-hentinya berterima kasih kepada sang ayah yang telah mendekorasi kamarnya hingga sedemikian indahnya. Dan ia menempatkan kamar barunya ini di urutan nomer satu pada “Maudy’s favorite place”.

Maudy segera meletakkan tas jansport merahnya di sebelah meja belajarnya. Ia mengganti seragam sekolah lamanya dengan t-shirt biru dongker bertuliskan angka 89 serta celana pendek putih. Ketika ia sedang mengikat rambutnya, terdengar ketukan pintu yang cukup keras dibarengi dengan suara seseorang yang memanggil namanya. Dengan tergesa-gesa Maudy segera membuka pintu kamarnya untuk melihat siapa sebenarnya orang yang sudah mengganggu kegiatannya. Dalam waktu kurang dari lima detik ia sudah mengetahui sang pelaku dan buru-buru ia memasang wajah kesalnya didepan sang pelaku.

“Buruan turun, lo di tunggu mamah di ruang tengah. Mau di introgasi lo sama mamah tentang sekolah lo.” Setelah mengucapkan mandat dari sang ibu, memanggilkan adiknya, Kalva segera masuk ke kamarnya dan sibuk dengan dunianya sendiri. Sedangkan Maudy masih setia berdiri di tengah-tengah pintu sambil memandang pintu kamar kakaknya dengan kesal.

“Hai mom, kata Kalva mama nyariin Maudy. Ada apa?”

“Gimana sekolahnya? Enak nggak? Mama denger kamu sekelas sama anaknya om Bara, siapa namanya? Aldi? Eh salah, Aldo maksud mamah.” Yasmin segera meletakkan berkas-berkas pasiennya di meja ketika putrinya duduk di sebelah kirinya.

“Serius mah Aldo anaknya om Bara?? Kok Maudy nggak pernah tau sih, mama juga nggak pernah ngasih tau Maudy.” Maudy yang tadinya kaget langsung berubah menjadi kesal dan melipat tangannya didepan dada.

“Ngapain mama bohong sama kamu? Nggak guna. Yang ada nambahin dosanya mama. Mama pernah ngenalin kamu ke Aldo waktu peresmian perusahaannya papa yang disini. Mama juga ngenalin kamu ke kakaknya Aldo, Bang Tama. Kamunya aja yang terlalu cuek waktu itu.”

“Kalo Bang Tama sih aku tau mah.. Kok aku agak nggak yakin ya kalo Aldo adiknya Bang Tama, soalnya nggak mirip gitu mah… Dia juga nggak mirip-mirip banget sama om Bara, tapi kalo sama tante Rani, enggg… Mirip ding mah. Hehehe..” Maudy menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

“Makannya lain kali kalo diajakin ke acara begituan, diperhatiin dan di inget-inget siapa aja yang mama, atau papa, atau kak Kalva kenalin ke kamu. Masa orang tuanya terkenal gini anaknya nggak kenal siapa-siapa.”

“Ih mama mulai deh sok pedenya, papa aja yang—“ belum selesai Maudy berbicara, tiba-tiba HPnya berbunyi, tanda ada panggilan masuk.

“Bentar ya mah, aku jawab telfon dulu” pamit Maudy ke Yasmin dan dibalas dengan anggukan anggun serta senyuman khas milik seorang dokter gigi yang tak lain dan tak bukan adalah ibunya, Yasmin Arianti.

Maudy berjalan menuju halaman belakang rumahnya untuk menjawab telefon. Tanpa melihat caller ID nya ia segera menjawab telefon tersebut. “Halo selamat siang, Maudy Keyza speaking.” Ucapnya dengan satu tarikan nafas.

Selamat siang Maudy… Hari ini, eh sore ini, eh malem ini maksudnya lo ada acara nggak? Abis ashar, jam segituan sampe abis isya.” Suara ceria terdengar di telinga Maudy, menandakan bahwa si penelefon adalah seorang perempuan.

Tentang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang