Kembali

251 14 6
                                    

*Laporkan jika menemukan typo🤩*



"Ayo."

Leo meregangkan otot-ototnya sembari menghirup udara segar dalam-dalam. Kali ini dia sedang berdiri di depan gerbang gedung rehabilitas. Karena hari ini dia sudah bisa pulang dan hari ini pula di resmi meninggalkan panti rehabilitasi.

"Ayo San," Serin memanggil untuk ke dua kalinya.

Leo tersenyum mengangguk. Dia membalikan badan menatap dalam gedung yang ada di depannya sana.
Dia sangat bangga, mengiangat Dokter Mila selalu memuji keberhasilan Leo yang sembuh dalam waktu cepat. Mengingat dirinya adalah pecandu yang terbilang lama. Namun kemauan dan tekat yang kuat dia miliki membuat semuanya terasa mudah.

Tin!!

Leo terhentak lantaran terkejut karena klakson mobil. Serin menunggu di dalam mobil.

"Kita mau pulang loh San," ajak Serin yang entah sejak kapan sudah duduk di balik kemudi.

"Iya." Leo lantas masuk dan duduk mengisi sisi tempat di sebelah kemudi.

"Pulang atau mampir dulu?"

"Mampir kemana?"

"Kemana tempat yang mau kamu kunjungi," tawar Serin lalu menyalakan mesin mobil.

"Nggak ada. Aku mau pulang saja. Karena besok aku nggak sabar buat sekolah.

"Okey. Permintaan tuan putri segera di laksanakan."

Keduanya tertawa bersama. Terkadang Serin fikir jika Leo akan menjadi sosok yang dingin terhadapnya. Namun sekarang? Serin merasa memiliki anak, yakni Leo.

"San," panggil Serin di sela-sela dirinya menyetir.

"Iya Ma, ada apa?" sahut Leo.

"Ada yang mau Mama omongin.

"Sekarang? Kan bisa di rumah ngomongnya."

"Coba kamu ambil tas Mama dan buka plastik kecil warna hitam."

"Ini," kata Leo meraih tas di atas dasboar.

"Kejutan kah?"

"Liat aja. Kamu jangan kaget ya?"

Antusias Leo membuka plastik hitam itu. Namun ekpresi wajah Leo mulai berubah. Serin hanya melihat anak gadisnya melalui ekor matanya. Serin fikir ini bukan waktu yang tepat.

"Sejak kapan?" tanya Leo datar.

"S-sejak dua bulan yang lalu."

"Oh!"

"San, Mam--"

"YEY! SEBENTAR LAGI GUE JADI KAKAK!!" seru Leo membuka kaca samping.

"Kamu... Nggak marah?"

"Kenapa harus marah."

Ada rasa lega di hati Serin mendengar jawaban Leo. Tidak disangka ternyata Leo justru sangat senang. Berulang kali tespack itu Leo genggam erat. Raut wajahnya sumringah. Tanpa sadar Serin pun senyumnya mengembang.

"Kira-kira mau aku kasih nama siapa ya nanti kalau sudah lahir?"

****

Gita berjalan gontai di koridor dengan pandangan menatap lantai. Banyak pasang mata dan ucapan sumbung telah ia dengar. Hatinya hancur. Dunia seolah bukan tempatnya lagi. Ingin rasanya untuk mengakhiri hidupnya. Baginya, sudah tidak ada lagi yang perduli kepadanya.

Siapa? Tidak ada orang yang tahu isi hatinya, baik senang maupun rasa sedihnya. Leo, sudah hampir delapan bulan tidak bertemu dengannya. Hanya Leo lah yang tahu perasaannya, andai dia ada di sini bersamanya. Mungkin semuanya kan baik-baik saja.

Gita memasuki ruang kelasnya. Sepi, hanya ada beberapa siswa siswi yang duduk bergerombol mengingat sekarang masa-masa akhir sekolah.

"Ekh eh... Lo tau gak? Di sekolah kita ini lagi viral sekarang. Mending kalau viral karena prestasi. Lah ini viral karna vidio naked," sindir siswi yang duduk di belakang Gita.

"Ah... Iya gue tau vidionya. Malu-maluin aja!" saut siswi lainya.

Gita sangat peka tentang maksut mereka. Karna sudah beberapa hari ini rekaman dirinya tersebar luas. Sengaja di sebarkan olah Vina.

"KALIAN NGGAK TAU APA-APA. SEMUANYA NGGAK SEPERTI YANG KALIAN KIRA!!" Gita berkata lantang sambil berdiri dengan tatapan mengarah kepada mereka.

"Mana ada maling ngaku!" itu suara Vina yang baru datang.

Vina mendekat, melipat tangan di dada berjalan angkuh.

"Dengar! kalian tahu, baru kali ini gue tau ada cewek yang udah jelek muka dan jelek kelakuan juga," cerca Vina tajam.

"Vin, kok kamu sejahat itu. Apa salah saya?" air mata Gita tumpah.

"Salah Lo!?" Vina mendekat.
"Salah lo karna udah hadir di kehidupan gue. Andai gue ga liat muka lo yang ancur itu, mungkin gue gak akan ngelakuin ini ke lo!"

Vina mengibaskan rambutnya lalu berbalik dan akan pergi, baru saja beberapa melangkah, Vina menghentikan langkahnya bersamaan dengan Gita yang mulai bersuara.

"Kamu lupa kenapa muka ku cacat kayak gini. Ini semua karena aku nyelametin kamu dulu."

Vina berbalik, matanya mentap Gita tajam. Lalu mempertipis jarak antara dirinya dan Gita.

"Gue sangat inget! Dan lo juga harus ingat. Selama ini bokap gue juga yang kasih donatur di panti asuhan tempat lo tinggal. Lo inget kan?" desis Vina.

"Aku--"

"Gue belum selesai bicara," geram Vina.

"Gue harap lo nggak lupa akan hal itu. Gue juga dulu nggak pernah minta lo nolongin gue. Dan sekarang lo ungkit- ungkit kebaikan lo dulu!? Lo harusnya mikir kalau mau itu-itungan dengan gue," ucap Vina lalu menonyor kening Gita dengan jari telunjuk.

Gita menatap punggung Vina pilu yang menghilang di balik pintu kelas. Ada benarnya juga ucapan Vina, di akui memang jika ayah Vina lah yang selama ini berbaik hati menjadi donatur di pantinya. Namun bukan ini maksud dari ucapan Gita.

****

Gita berdiri di bibir tembok pembatas rofftop sekolah. Yang mana sekali melangkah otomatis dia akan jatuh ke bawah dan tubuhnya pasti akan di sambut bebatuan di bawah sana.
Siang itu sangat terik. Sampai-sampai ia menyipitkan matanya saat mendongak menatap langit. Hari ini dia akan mengakhiri segalanya, mengakhiri penderitaan dan hidupnya.

"Aku udah nggak tahan lagi," ucapnya pada dirinya lalu menatap pakaiannya yang kotor.

Hari ini dirinya di olok teman-temannya lalu ia di siram air parit. Busuk dan kotor.

"Kenapa hidupku begitu berat. Maafkan aku Tuhan. Aku telah mendahului takdirmu. Maafkan aku, Leo. Karna aku sudah menyerah."

Perlahan Gita memejamkan mata. Terasa lembut sapaan angin yang menerpa wajahnya, hingga membelah helaian rambut yang menutupi wajah dan memperlihatkan wajahnya yang cacat. Perlahan ia mulai melangkahkan kaki kanannya di udara. Ia masih memejamkan matanya. Menyiapakan segalanya. Dan mulai menjatuhkan tubuhnya.

"BODOH!! TOLOL!!"

******

Kira2 apa yang nanti terjadi??

Met ketemu di bab selanjutnya...

Aku si pecandu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang