Bagian Enam

742 67 5
                                    

"Ning?"

"Hem?"

Gus Atma mengembuskan napas dalam. Melirik ke spion, Ning Tantri masih asyik dengan handphonenya. Sedari tadi ia berusaha berbicara dengan penumpangnya, tapi respon Ning Tantri masih saja begitu singkat.

"Ning?"

"Hem?"

"Ning?"

"Opo to, Kang. Celak celuk wae."

Gus Atma tersenyum geli. Wajah manyun Ning Tantri begitu lucu. Ia jadi membayangkan kalau nanti ia punya istri, mungkinkah istrinya seperti Ning Tantri saat merajuk?

"Mbok yo 'dalem' kalo dipanggil itu, Ning," tegur Gus Atma memberanikan diri.

"Saya ini lho mau minta maaf sama Ning," lanjut Gus Atma melembutkan nada ucapannya. Tak pantas kalau minta maaf tapi nadanya tetap tinggi. Bisa-bisa ada perang jilid dua.

"Halah, pret!" Ning Tantri masih memandang ke kaca mobil. Jawaban Ning Tantri langsung menyeret ingatan Gus Atma pada neneknya, nenek yang selalu mengatakan hal yang sama ketika ia minta maaf telah menjahili Gus Atmi.

"Saya serius, Ning. Saya tahu tadi salah mengatakan tentang kita pada uminya Ning." Gus Atma membagi perhatiannya antara melihat perubahan ekspresi Ning Tantri dan menyopir.

"Tentang kita?" ulang Mbak Galuh yang dari tadi menutup mulut dengan tangannya, barangkali menahan tawa melihat kelakuan Ning-nya dan Kang santri yang memang terlihat berbeda dari Kang santri biasa. Mbak Galuh pun tak bisa menutupi rasa penasarannya pada kang santri yang tampan ini.

"Jangan dengerin, Mbak. Kang Qary sedang mengkhayal." Ning Tantri segera menyahut, berusaha menepis anggapan Mbak Galuh.

"Apa perlu saya katakan yang sebenar-benarnya?" pancing Gus Atma. Entah kenapa sulit sekali mengendalikan ucapannya ketika berbicara dengan Ning Tantri. Semakin Ning Tantri menutupi kebenaran, semakin Gus Atma ingin meyakinkan gadis itu.

"Katakan apa, Kang?" balas Ning Tantri sengit. Ia sudah benar-benar muak dengan Kang Qary. Baru saja ia mendapat teguran keras dari uminya karena perkataan Kang Qary.

"Nggak jadi wes, Ning. Intinya saya minta maaf dengan segenap hati dan jiwa saya." Akhirnya Gus Atma mengakhiri candaannya pada Ning Tantri.

Sedangkan Ning Tantri masih merenung. Perlahan, perkataan laki-laki yang berada di depannya terserap. Mengembuskan napas dalam, lalu menyiapkan kata untuk menyelesaikan kemelut di dadanya sendiri.

"Sudahlah, Kang. Aku juga minta maaf. Sebenarnya aku yang salah. Waktu itu aku sedang kalut," terang Ning Tantri. Terlihat matanya yang berkobar kini terlihat layu.

"Benar kata umi, aku ini masih kekanakan. Hanya karena nafsu, aku merendahkan diriku sendiri." Ning Tantri mengerjap, bulir bening jatuh di pipinya. Teringat betapa kecewa uminya mendengar penuturannya tentang usaha Ning Tantri mencari jodoh. Padahal usianya masih sangat muda.

"Menurut saya, Ning itu masih sangat muda. Bahkan usianya di bawah saya dan Mbak Galuh, kok sudah kepengen nikah?" tanya Gus Atma hati-hati. Sejujurnya ia penasaran dengan alasan Ning Tantri ingin segera melepas masa lajang. Walau memang wanita segera dinikahkan, itupun dengan syarat sudah memiliki jodoh yang sekufu.

"Dari kecil, Abah selalu mengatakan nanti aku kalau besar akan menikah dengan anaknya Bude."

"Tapi Ning kan masih sangat muda, bahkan kalau sekarang Ning nikah harus beli umur," tandas Mbak Galuh ikut nimbrung kalimat Ning-nya. Ia memang lebih tua setahun dari Ning Tantri, dan Mbak Galuh sama sekali belum terpikir untuk menikah.

Di Persimpangan Sirr Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang