Bagian Sembilan

676 66 3
                                    

Baru saja keluar dari gothakan kakaknya, Gus Atmi bertemu Ning Tantri dan seorang lagi yang ia yakin sebagai Mbak Galuh. Kedua gadis itu menatap kesal ke arah Gus Atmi.

"Assalamualaikum, Ning," sapa Gus Atmi. Sayangnya masih ditanggapi cuek oleh gadis yang sudah ia sukai sejak pertama bertemu itu.

"Waalaikumsalam, Kang. Kita segera pergi ya? Sudah nunggu Kang Qary dari tadi," balas Mbak Galuh.

Punggung tangan Gus Atmi tiba-tiba terasa gatal. Padahal tidak ada nyamuk yang hinggap. Ragu-ragu Gus Atmi berpikir, harusnya ia sekarang keluar dari pondok ini. Tapi kepalang tanggung karena Ning Tantri sudah ada di depannya, ini kesempatan untuknya bisa mengenal lebih jauh gadis manis itu.

Setelah beberapa kali celingak-celinguk, Gus Atmi mengikuti dua gadis di depannya menuju mobil. Apa boleh buat? Saat ini ia harus mengantar Ning Tantri pergi, urusan kemarahan Gus Atma dipikir belakangan. Ia juga sudah terdesak dan tidak bisa mundur.

"Tap, tapi, Ning."

"Sudah, nggak usah tapi-tapian, Kang. Saya malas debat. Saya lagi badmood!" gertak Ning Tantri tidak memberi jeda sedikitpun. Gus Atmi hanya bisa mengembuskan napas, tapi ia juga tidak ingin kehilangan kesempatan berduaan, eh salah bertigaan dengan Ning Tantri dan Mbak Galuh.

"Yasudah, saya akan mengantar kemanapun Ning pergi." Gus Atmi menunduk, menyembunyikan rona merah di pipinya.

Ketiganya lantas menuju mobil. Setelah bersiap-siap, tak lupa Gus Atmi menanyakan tujuan hari ini. Yang cukup mengejutkan, ternyata Ning Tantri akan menemui budenya, yang berarti Gus Atmi akan mengantar ke rumahnya sendiri.

"Memangnya kenapa harus ke pondok Darul Hikmah, Ning? Sepertinya kemarin juga sudah dari sana?" Gus Atmi bertanya hati-hati, jangan sampai karena suasana hati Ning Tantri tidak baik, lantas ucapannya menambah kekesalan Ning Tantri.

"Aku mau minta nasehat lagi, Kang," balas Ning Tantri suaranya sedikit melembut yang artinya emosinya mungkin juga sudah mulai reda.

"Memangnya Ning ada masalah apa?" Gus Atmi mengeraskan rahangnya, menyesal keceplosan bertanya seperti itu. Kesannya ia sangat kepo dengan orang lain.

"Masih persoalan yang kemarin, Kang. Soal nikah." Ning Tantri menundukkan kepalanya. Tak pernah ia bayangkan jika hatinya akan serumit ini.

Kemarin, setelah ia mendapat mauidzoh dari uminya karena ucapan Kang Qary, ia sepenuhnya sadar telah melakukan kesalahan. Ditambah nasehat budenya, bahwa kalau sudah jodoh tidak akan kemana. Dan bude Sysy juga menegaskan kalau tidak akan mempertemukan Ning Tantri dengan putranya sebelum usia mereka sudah pantas menikah.

"Aku kok nelangsa, Kang," keluh Ning Tantri. Ia sudah tidak peduli mencurahkan perasaannya kepada Kang santri yang baru beberapa bulan ia kenal ini.

"Ning, jangan mengumbar aib sendiri." Mbak Galuh yang setia menemani kemanapun Ning Tantri pergi, menyentuh punggung tangan Ning-nya. Saat ada kesempatan, ia memberi kode kepada Ning Tantri untuk menghentikan keluh kesahnya. Apalagi sampai didengar Kang santri yang saat ini menyetir.

"Sudahlah, Mbak. Toh Kang Qary sudah tau dari awal. Aku hanya ingin beban ini usai," tepis Ning Tantri.

Mendengar jawaban itu, Mbak Galuh hanya bisa pasrah. Mungkin gejolak darah muda dalam diri Ning Tantri tidak dapat dikendalikannya sendiri.

"Tau dari awal?" ulang Gus Atmi bingung. Sejujurnya ia tak menyangka kalau Gus Atma begitu dekat dengan Ning Tantri, sampai-sampai Ning Tantri begitu percaya mencurahkan segala perasaan padanya.

"Jangan pura-pura, Kang. Ini semua juga karena ulahmu." Ning Tantri memperingatkan.

Gus Atmi masih tak mengerti, hingga akhirnya Ning Tantri kembali menceritakan tentang awal mereka bertemu. Saat Ning Tantri menangis ingin dinikahi, hingga saat Kang Qary keceplosan mengatakan kejadian itu di depan umi Ning Tantri.

"Kang Qary ini pura-pura lupa atau memang sudah pikun?" tanya Ning Tantri sebal bercampur heran. Tak mungkin secepat itu melupakan kejadian hari itu. Atau mungkin hanya Ning Tantri yang tak bisa berhenti memikirkan hari itu, sedangkan bagi laki-laki di depannya hal itu sangat tidak penting? Entah mengapa perasaan Ning Tantri sedikit kecewa karena Kang Qary melupakannya.

"Maaf, Ning. Habis kepentok tembok, jadi lupa," timpal Gus Atmi mencari alasan. Syukurlah Ning Tantri tidak terlihat curiga, keduanya lalu sama-sama terdiam.

Tak ada percakapan. Padahal dalam hati, Gus Atmi sangat menanti Ning Tantri kembali mengajaknya berbicara.

"Em, sebentar lagi kita sampai, Ning." Akhirnya Gus Atmi membuka suara. Kembali melirik ke spion, menanti respon Ning Tantri.

"Mbak Galuh nggak pernah kepikiran nikah?" tanya Ning Tantri tiba-tiba, membuat Mbak Galuh yang sedari tadi tidak banyak bicara terkejut mendapat pertanyaan seputar menikah.

"Saya masih pengen ngaji, Ning. Fokus mencari ilmu dan mencari barokah." Mbak Galuh tersenyum sambil memperlihatkan deretan giginya yang rapi.

"Atau gini saja, Ning. Sambil menunggu saat yang tepat, Ning Tantri mondok saja dulu. Tahfizh mungkin, biar keinginan kuat untuk menikah bisa dialihkan." Gus Atmi menghentikan mobil di depan pondok.

"Betul, kata Kang Qary, Ning," sahut Mbak Galuh menjentikkan jari tanda setuju dengan ide dari Kang Qary.

"Tapi mondok kemana?"

"Di pondok bude Ning sini saja." Wajah Gus Atmi sangat berbinar dan cerah. Ia tak sabar membayangkan kalau Ning Tantri menetap di pondoknya.

Sayangnya, Ning Tantri segera menggeleng. Kalau teringat respon bude Sysy tentang permasalahannya, tak mungkin ia diijinkan mondok di sini.

"Bude nggak akan ngijinin, beliau nggak ingin aku ketemu anaknya."

Mendengar jawaban itu, Gus Atmi hampir terlonjak. Lalu membasahi bibirnya dengan istighfar. Bagaimana bisa ia lengah menjaga imannya. Selama bersama Ning Tantri, ternyata pikirannya telah kotor. Cinta yang ia gadang-gadang menjadi cinta sejati, telah tercampur dengan birahinya melihat kecantikan Ning Tantri. Tak bisa dipungkiri Gus Atmi ternyata belum bisa menjaga dirinya. Alangkah lebih mudahnya jika Gus Atmi mengintip kedatangan Ning Tantri dari kejauhan saja.

Setelah Ning Tantri dan Mbak Galuh turun dari mobil, Gus Atmi menundukkan wajahnya. Bersedih karena ternyata setan begitu leluasa menggodanya.

Setelah cukup lama beristighfar, Gus Atmi meraih ponselnya dan segera mencari kontak kakaknya untuk memberitahu keberadaannya kini.

|Assalamualaikum, Mas saya tadi mengantar Ning Tantri dan Mbak Galuh ke Darul Hikmah, sampeyan ke sini ya.|

Tak lama kemudian pesannya itu telah dibaca oleh Gus Atma. Terlihat Gus Atma sedang mengetik balasan untuk adiknya.

|Yo|

Tanpa sadar, Gus Atmi memanyunkan bibir. Kakaknya begitu cuek. Mungkin keterguncangan jiwa Gus Atma saat mengetahui umi Sysy bukan ibu kandungnya yang menyebabkan perubahan sikap pada Gus Atma. Semoga Gus Atma segera terketuk hatinya untuk pulang. Abah dan umi pasti akan menjelaskan semua yang menjadi tanda tanya dalam benak Gus Atma.

|Pulango, Gus. Umi dan Abah rindu.|

Terkirim. Tapi tidak ada jawaban. Sepertinya Gus Atma masih begitu terluka karena ketidakjujuran Abah dan umi padanya. Padahal menurut Gus Atmi, tindakan Abah dan uminya itu sudah sangat beralasan.

Assalamualaikum warahmatullahi wa barokatuh teman-teman

Maaf ya kemarin nggak update, tiba-tiba paketan habis. Hehe.

Jangan lupa vote dan komennya ya 😍😍

Di Persimpangan Sirr Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang