Urata ditemani dengan Sakata, saat ini sedang berkeliling di wilayah distrik 3 yang ada di kota Deathly tempatnya dan ke tiga temannya itu berada. Kota Deathly merupakan kota yang terbilang cukup kecil jika harus dibandingkan dengan Aquifer yang menjadi ibu kota kerajaan Atsumori. Di kota ini hanya ada 4 distrik saja, sedangkan di ibu kota terdapat 8 distrik.Dirinya tidak begitu mengenal wilayah distrik tiga ini, untunglah ada Sakata yang menemaninya berkeliling. Walau penampilannya terlihat cukup bodoh dimata Urata, namun Sakata ini masih termasuk siswa pintar diakademi yang selalu meraih nilai diurutan ketiga dalam mengingat pelajaran. Informasi itu ia tahu dari Senra dan tentu saja Urata mempercayainya. Karena tidak ada alasan untuk ia tidak mempercayai perkataan Senra.
“Disini sepi sekali, apa semua orang sudah mati?” Tanya Sakata yang sudah terlalu lelah berjalan berkilo-kilo meter jauhnya-itupun jika dia memang benar-benar mengukur jalannya.
Urata melirik sekilas pada Sakata yang sudah seperti mayat berjalan itu dengan pandangan kasihan. Dirinya juga sama lelahnya dengan Sakata, tapi kondisinya tidak separah yang dialami Sakata. Dia masih sanggup berjalan untuk beberapa menit lagi.
“Kau tunggulah disini!”
Sakata menatap Urata heran, “Urata-san mau kemana?” Tanya Sakata yang melihat Urata mulai berjalan kembali menjauh dari tempatnya berdiri.
“Aku masih ingin berkeliling sebentar disekitar sini, aku akan kembali secepatnya! Jadi tunggulah disini!” Tanpa menoleh sedikitpun Urata menjawab pertanyaan Sakata. Ia lalu berjalan berbelok menelusuri jalanan kecil yang sama sekali belum dirinya dan Sakata periksa.
Sesampainya disana, hal pertama yang mengejutkan dirinya adalah sesosok perempuan yang sedang berlari, diikuti seorang lelaki yang tengah membawa anak kecil dalam gendongannya. Mereka terlihat seperti sebuah keluarga kecil yang sedang dilanda kepanikan.
Ketika melihatnya hal pertama yang Urata lakukan adalah mengucapkan syukur kepada siapapun itu yang kebanyakan orang menyebutnya 'kamisama'. Ternyata masih ada orang yang hidup di distrik tiga ini.
Dengan cepat Urata berlari menghampiri keluarga kecil itu. “Permisi, bolehkah saya bertanya?” Akibat kemunculan Urata yang tiba-tiba itu-padahal menurutnya kemunculannya ini biasa saja- membuat si perempuan yang tengah menenteng tas besar itu, menjatuhkan tasnya ke tanah dan menghasilkan bunyi yang cukup keras. Sehingga si lelaki yang juga sibuk memasukan beberapa barang kedalam mobilnya, menoleh ke sumber suara. Sedangkan sang anak yang masih berada di gendongan si pria, menangis dengan cukup kencang, yang mau tidak mau membuat lelaki berambut cepak itu berusaha menghentikan tangisannya dengan berbagai macam cara.
“Maafkan saya, gara-gara saya anak itu menagis.” Urata merasa bersalah sekarang.
Perempuan itu tersenyum, “jangan khawatirkan itu, yang perlu kau khawatirkan saat ini adalah kau harus segera meninggalkan tempat ini!”
“Maksudnya?”
“Kau belum dengar beritanya? Distrik tiga ini sudah tamat, kemarin kami mendapat kabar jika daerah sekitar gereja sudah menjadi korbannya. Hanya tinggal masalah waktu saja, sampai wilayah sekitar perbatasan ini juga kena. Tadi pagi semua warga disekitar sini, sudah pergi menuju distrik dua.”
Urata melirik ke sekelilingnya, terlihat sepi. Sepertinya apa yang dikatakan perempuan ini benar. Tapi ada hal yang tidak dimengerti olehnya. Mengapa mereka semua harus pergi ke distrik dua, bukannya lebih baik mereka pergi meninggalkan kota ini? Menurutnya itu lebih masuk akal ketimbang harus tetap berada di kota Deathly ini.
Melihat raut wajah pemuda dihadapannya yang terlihat kebingungan. Ia menoleh sekilas pada suaminya yang masih disibukan dengan tangisan anak mereka. Sang suami mengangguk, mereka berdua seakan tengah berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat yang tentunya hanya diketahui oleh mereka berdua.
Setelah mendapat ijin dari sang suami, ia lalu kembali fokus pada pemuda asing dihadapannya ini.
“Kau sepertinya benar-benar tidak tau apapun ya?”
Lagi-lagi Urata memasang wajah bingungnya. Perempuan yang lebih tua darinya itu, tiba-tiba saja merangkul dirinya.
“Baiklah, onee-san ini akan memberitahukan semuanya padamu.” Katanya tersenyum ramah.
“A-arigatou.” Urata merasa sedikit gugup, ini pertama kalinya ada seorang perempuan selain ibunya, berada begitu dekat dengannya.
Perempuan yang menyebut dirinya onee-san itu, mulai menceritakan semua yang ia ketahui mengenai kejadian akhir-akhir ini yang terjadi di kota Deathly. Dia juga memberitahukan alasan mengapa warga di kota ini, lebih memilih untuk pergi menuju distrik dua, dibanding dengan pergi menuju kota lain yang lebih aman. Alasannya ternyata sederhana, karena siapapun yang meninggalkan kota ini dia akan mati. Itu sudah terbukti!
Saat pertama kali ditemukan orang-orang mati tanpa sebab yang jelas di kota Deathly ini. Mereka yang takut akan mengalami hal yang sama, buru-buru pergi meminta bantuan kepada pihak kerajaan atau ada juga yang memutuskan untuk pergi menemui keluarganya yang lain-tentu saja alasannya sama, meminta bantuan.
Namun, ketika mereka menginjakkan kaki selangkah saja dari perbatasan. Mereka yang memutuskan pergi langsung mati seketika. Semua yang melihat itu berteriak histeris ada yang masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya, ada yang hanya diam mematung, dan ada yang berlari untuk memberitahukan apa yang dilihatnya itu pada semua orang.
“Apa?” Sama seperti kebanyakan orang, Urata juga merasakan semua itu. Antara percaya dan tidak Urata saat ini hanya bisa mempercayai apa yang di dengarnya dari perempuan asing yang baru ditemui itu. Entah mengapa hatinya mengatakan demikian, ia juga tidak merasakan bahwa perempuan itu berbohong padanya.
“Aku sudah memperingatimu, kalau kau mau, kau bisa ikut pergi bersama kami.” Sebelum kembali pergi menemui suaminya, perempuan itu menepuk pundaknya pelan. Senyuman ramah masih menyertai wajahnya yang cantik. Hal itu hampir membuat hati Urata meleleh untuk beberapa detik, untunglah ia ingat bahwa perempuan itu sudah berkeluarga. Kalau tidak bisa saja kan Urata benar-benar menyukainya.
Kau tau? Urata ini menyukai tipe perempuan yang ramah dan baik hati. Tapi yang paling penting itu, dia harus bukan merupakan keluarga kerajaan. Seperti perempuan asing yang baru beberapa menit di temuinya itu.
Urata tersenyum pahit. Kisah cintanya harus berakhir disini.
☆AS☆
“Ternyata firasat Ama-chan benar. Untunglah, aku memilih untuk pergi kesini terlebih dahulu. Saa... bagaimana caraku untuk menghancurkan semua ini?”
Luz memutar otak pintarnya itu, sedetik kemudian ia tersenyum menyeringai.
“Kenapa aku harus susah payah memikirkan hal itu? Aku hanya tinggal menghancurkannya saja kan? Itu hal yang mudah.”
Luz merentangkan kedua tangannya, dari sana ia mengeluarkan es dan mengarahkannya pada lingkaran sihir yang ada di hadapannya.
Sihir esnya membekukan semua yang ada di sekitar Luz. Sebelum es itu kembali mencair, lingkaran sihir itu sudah hancur berkeping-keping bagaikan batu kristal yang dihancurkan. Menurut Luz ini adalah pemandangan yang indah.
Ia suka menghancurkan sesuatu apalagi jika yang dihancurkannya itu adalah sesuatu yang berharga bagi orang lain. Menghancurkankannya akan membuat perasaannya menyenangkan.
“Matte nee! Aku pasti akan menghancurkan semua yang mencoba untuk membuat hidupmu menderita, walau hanya sedikit saja. Aku pasti akan menghancurkannya!”
_____
Sampai jumpa di chapter selanjutnya (*≧∀≦*)
Tsukihime Yozora
KAMU SEDANG MEMBACA
Akademi Sihir -Misi di Kota Kematian- [END]
NouvellesKisah ini dimulai saat kepala akademi tiba-tiba saja menambah hukuman kepada Urata, Shima, Sakata, dan Senra akibat kejadian kebakaran yang berlokasikan di asrama sihir putra beberapa waktu lalu. Mereka berempat harus pergi ke kota yang dijuluki den...