Lelaki seram itu bertopang dagu di satu sudut ruang selnya. Ruangan berbentuk kubus yang tak berperabot, remang-remang, dan berventilasi kecil—berupa lubang-lubang sebutir beras di dekat langit-langitnya. Dua sosok menemaninya menghabiskan waktu di sana, seorang pria paruh baya yang duduk santai dan tak acuh, dan seorang—atau sebuah—robot wanita.
Ketiganya tampak tenggelam dalam dunia masing-masing, tak hendak berinteraksi satu sama lain. Entah apa yang menyebabkan mereka terkurung di sel yang sama.
Si lelaki seram melirik pada si robot. Entah dari mana asalnya, tetapi mungkin Erika namanya. Atau mungkin bukan. Yah, nama itu kerap digumamkan si robot sambil menoleh-noleh, mengerang, dan memukul-mukul lantai seolah kesakitan. Tetapi robot tidak merasa sakit, jadi entah mengapa si Erika berlaku begitu. “Jimmy ... awas, kalau kau nakal lagi, Mama Erika usir kau ...,” adalah salah satu kalimat yang sesekali meluncur dari mulutnya. “Charles, dari mana saja kau ... kenapa akhir-akhir ini selalu terlambat pulang ... Erika sudah memasakkan semur daging ... susah payah ....” Itu tentu terkesan seperti omelan seorang ibu rumah tangga, seorang istri. Si robot ini apakah terserang virus, atau kepalanya terpukul keras, kok tidak beres begitu, heran si lelaki seram.
Si seram sendiri bukanlah pria normal. Di balik seragam abu-abu berkode PEF3342-nya adalah kulit menyeramkan yang penuh bekas luka dan tato. Rambut kepalanya cepak bak tentara, matanya dihiasi lingkaran hitam legam—bukan karena ia kurang tidur. Lengan dan tangan kirinya dari baja, mengkilap, dan tentunya sangat keras. Kau tidak ingin menatap wajah bengis bak kriminal kambuhannya, kecuali kalau kau kriminal kambuhan pula. Di luar sana ia dikenal dengan macam-macam nama, tetapi jika kau tak ingin membuatnya marah atau “tertarik” padamu, panggillah ia “Genesis”.
Yah, sel itu memang dihuni oleh makhluk-makhluk unik. Pria kedua pun tidak kalah aneh dari Erika dan Genesis, dan bahkan mungkin yang teraneh di sana.
Ia tidak sudi memperkenalkan dirinya. Genesis akhirnya menyebutnya “Orang Tua Aneh”. Pria paruh baya itu tampak tak peduli akan sekitarnya. Sesekali ia bahkan berani memandang wajah Genesis lekat-lekat, dengan senyum sinis dan tawa kecil meremehkan. Seolah ia tak peduli jika Genesis bangkit dan menghajarnya dengan tinju bajanya. Genesis sendiri berulang kali terdorong untuk melakukan itu, tetapi selalu tidak jadi. Kenapa? Karena bingung. Dan takut.
Sebenarnya Genesis pernah sekali melayangkan tinjunya pada si Orang Tua Aneh. Keras. Hingga dinding sel sedikit bergetar. Tetapi si Tua menelengkan kepala setelahnya, tertawa geli. Wajahnya tampak masih seratus persen utuh. Terhenyaklah Genesis. Apakah pukulannya meleset? Mungkin saja, ia tak yakin, agak sulit melihat di sel yang remang-remang. Tetapi kapan terakhir kali ia memukul wajah orang dan meleset? Selama ini, kepalannya—yang baja maupun yang tulang dan daging—selalu dapat diandalkan untuk menyakiti orang lain. Sebelum terdampar di sel itu pun ia meninju seseorang hingga tewas mengenaskan.
“Apa yang kaulakukan, dungu?” ejek si Tua Aneh.
Genesis pun berjingkat mundur. Bergidik.
Ada yang salah dengan si Tua Aneh. Sejak saat itu, Genesis hanya melirik dan memandangnya dengan curiga. Ia tak berani lagi dekat-dekat si Tua. Apalagi setelah Erika berujar datar, “Erika tidak paham, siapa yang dimaksud?” setelah Genesis berbisik padanya, “Orang itu siapa, kau kenal?” Siapa yang dimaksud. Bukankah sudah jelas siapa? Tentunya sosok ketiga di sel itu! Masa si robot rabun matanya? Mengapa ia berlaku seolah tidak melihat si—
Si robot tidak melihat si Tua Aneh? Padahal ia ada di sana. Padahal Genesis bisa melihatnya.
Si Tua Aneh tergelak saja menyaksikan kebingungan Genesis. “Hei, Anak Dungu,” panggilnya. “Sudah berapa orang yang kaubunuh, heh? Pasti banyak sekali, kan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Genesis
Short StoryIa tidak memiliki hal lain yang bisa dikerjakannya. Maka, mungkin kau mau mendengar kisahnya?